Masih pagi, tapi sekolah sudah ramai oleh keributan yang dibuat oleh Abang. Berawal saat kami baru saja tiba di sekolah dan berpapasan dengan Abi. Abang yang naik pitam langsung saja memukulnya di sudut bibir—telak dua kali. Membuat beberapa siswa yang ada disana turut membantu untuk memisahkan mereka. Sedangkan yang lain sibuk mengambil potret untuk dibagikan ke sosial media.
Aku sudah berusaha sekuat tenaga menghentikan amarah Abang yang masih setia dipegangi oleh tiga orang sekaligus. Tampak mereka sudah kewalahan dengan Abang yang terus berontak, aku jadi tidak tega.
Perhatianku beralih pada Abi yang tergeletak ditanah. Bibirnya berhasil dibuat robek oleh kekuatan Abang yang tidak main-main. Aku mengisyaratkan Abi untuk segera pergi dari sini karena itu jalan yang terbaik. Aku akan meredakan dulu emosi yang masih terasa menguar-nguar disekitar, pun takut ada guru yang melihat.
Disudut lain ada geng Anne yang mengejekku dengan tatapan. Dan disisi lain ada Sofia yang menatapku penuh kekhawatiran. Namun aku sama sekali tak peduli, urusan menenangkan Abang masih jadi yang terpenting.
"Bang, udah!" bentakku.
"Tapi itu anak—“
Aku menyela kalimat yang belum sempat selesai, "Udah! Gak usah sok jagoan disini! Rebel!"
Kemudian aku mengajaknya pergi ke kantin untuk membalut tangannya yang sedikit terluka dengan plester. Aku menyuruhnya membolos saja hari ini karena bila ia masuk masalah tidak hanya selesai sampai disitu. Karena Abang dan Abi sekelas, aku tidak mau terjadi keributan selanjutnya.
Sesudah memastikan Abang pulang aku segera ke kelas. Mata pelajaran pertama adalah olahraga, aku yang sedang dalam masa period ijin pergi ke UKS karena kram yang ku alami. Namun ternyata di dalam UKS sudah ada siswa yang menempati berjumlah dua orang. Abi dan satu siswa lain yang sedang berdiri dihadapannya.
"Bi, maaf ini teh gapapa ditinggal? Da sekarang ada kuis."
"Ngga apa-apa saya sendiri saja. Sana kamu balik ke kelas, terima kasih sudah mengantar kesini," balas Abi terdengar tulus.
"Ta—tapi ini teh.."
"Sama gue aja."
"Lho, ini kamu teh adeknya si Gani bar-bar tadi 'kan?" tanya siswa itu setelah berbalik melihatku.
"Yang tadi bantu nahan Abang ya? Makasih ya kak."
"Gapapa atuh santai aja, sudah kewajiban. Titip Abi ya sekalian oleh atuh itu salepnya, susah dia kalau sendiri."
Aku hanya mengangguk sembari menerima salep yang dimaksud. Perlahan aku menghampiri Abi yang hanya diam. Perlahan aku mengolesi salepnya menggunakan jariku. Abi tampak meringis tapi aku tetap saja mengolesinya tanpa berhenti.
Selesai, aku segera menjauh dan menaruh salep itu pada kotak obat yang tersedia. Lalu pergi ke ranjang yang ada disebelahnya dan merebahkan diri disana.
"Maaf."
Aku tidak mau menanggapinya.
"Ratih, saya minta maaf."
Aku belum mau memberi respon.
"Sungguh, saya minta maaf."