Langit di Matanglau baru-baru ini selalu gelap. Setiap hari hujan turun dengan lebat. Nini terlihat sibuk mengangkat jemuran padi di depan rumah. Saat itu juga sesosok pria muda mendekati Nini. Dia memegang Nini dari belakang secara cepat. Namun, Nini lebih cepat menghindar darinya. Kemudian terdengar suara pria itu meringis karena pergelangannya ditahan erat oleh wanita renta yang masih kuat itu.
“Ampun! Ampun, Ni!” teriaknya meminta dilepaskan.
“Kau selalu kalah. Jadi pria kok lemah! Sana angkat jemuran padinya!” Nini melepaskan tangannya, seraya terkekeh.
“Baiklah!” pria itu berjalan dengan cepat membawa karung padi dipungggungnya. Dua melakukan hal yang sama hingga jemuran padi tersusun rapi di lumbung.
“Bris, apa kau sudah mendapatkan ingatanmu?”
Nini membawakan secangkir kopi dengan gorengan pisang untuk pria yang telah membantunya barusan.
Dia adalah Bris, pria yang tinggal di belakang rumah Nini. Dia menyewa sebuah ruangan kosong dengan harga rendah. Bris pun kerap membantu Nini bekerja. Bris sangat menyayangi Nini begitu juga sebaliknya. Layaknya hubungan antara Nenek dengan cucu kandung.
Bris menggeleng dan terus menyusun karung-karung itu. Setelah semua tersimpan rapi di tempat penyimpanan, dia mendekati Nini dan duduk di sebelahnya.
Tangannya meraih pisang goreng yang Nini sajikan. Sontak Nini menepisnya dengan kuat. Hingga membuat Bris meringis.
“Ah, sakit!”
“Sana cuci tanganmu dulu!”