BOGOR 2018
Siang hari, entah pukul berapa, tiba-tiba saja ada seseorang mengetuk pintu rumah Dilara. Kebetulan saat itu, Dilara tengah berada di ruang tamu.
"Sebentar!" teriak Dilara.
Dilara terdiam sejenak saat mengetahui siapa orang yang sedari tadi mengetuk pintu rumahnya.
"Halo, Dil. Apa kabar? Lama nggak ketemu. Aku kangen kamu," ucap Sunny dengan tampilan yang sangat berbeda.
Sekarang, Sunny telah menjadi seorang direktur di sebuah perusahaan, terlihat dari gaya dan penampilannya. Betapa tampannya dia dengan setelan jas putih yang dikenakannya saat ini, ditambah lagi senyum manisnya yang sedari dulu tak pernah berubah.
"Dil, aku kangen sama kamu..." lirih Sunny, tiba-tiba memeluk Dilara.
Rasa senang bercampur sedih. Setelah hampir tujuh tahun tak jumpa, akhirnya Dilara dapat melihat kembali Sunny dengan keberhasilan yang ia bawa. Itu adalah hal yang sulit dipercaya olehnya. Setelah mereka berdua puas melepas rasa rindunya, Sunny pun melepas pelukannya dan mengeluarkan sebuah kotak berisi cincin.
"Dilara Ayu Kenanga, anak pertama dari Bapak Hartanto Raharja, aku Sunny Rahardian, dengan ini ingin—"
KRING....
Lagi-lagi, musuh terbesar Dilara mulai mengibarkan bendera perangnya. "AH... Kenapa ngajak ributnya sekarang sih?" gumam Dilara sambil menutup telinganya dengan bantal.
Batal sudah lamaran tersebut terjadi, itu semua karena musuh bebuyutan Dilara, apalagi kalau bukan jam weker miliknya. Padahal ia sendiri yang mengatur waktu di mana setiap harinya, pasti jam tersebut akan membangunkan Dilara di waktu yang sama.
KRING....
Karena jam tersebut terus saja berbunyi, akhirnya Dilara memilih untuk bangun dari tidurnya dan memusnahkan suara tersebut, hanya dengan satu pukulan di bagian atas jam tersebut.
"Cuma mimpi, tapi tetap aja aku mau tahu endingnya... dasar Sunny bisa-bisanya buat aku jadi kaya gini!"
Setelah sadar sepenuhnya, Dilara langsung pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Betapa terkejutnya ia mendapati wajahnya yang semeraut seperti benang kusut, ditambah lagi bekas ilernya yang meninggalkan bau di berbagai titik yang dilewatinya.
"AAHH!" teriak Dilara, yang berhasil membuat Seraphina panik hingga harus lari menuju kamar mandi. "Kenapa, Kak?" tanyanya sambil mengatur napasnya.
"Pina, aku sudah bangun kan, dari tidurku?" tanya Dilara sambil menepuk kedua pipinya.
Seraphina benar-benar menyesal telah mengkhawatirkan kakaknya yang sekarang tampak setengah waras. "Kakak, kalau kamu masih tidur, kamu nggak mungkin ada di sini!" ucap Seraphina, mencoba menyadarkan kakaknya dengan satu cipratan air.