PROMISE

Najma Gita
Chapter #2

DUA

Sejak kecil aku tidak terbiasa memilih. Bukan aku tidak punya keinginan. Tidak. Aku pun sama seperti anak-anak yang lain yang menginginkan sesuatu. Memiliki rasa ingin memiliki seperti yang dimiliki anak-anak seusiaku. Namun sayangnya aku hanya bisa menyimpannya dalam hati. Semua yang aku perlukan sudah tersedia. Ya, orang tuaku terbiasa memilihkan segala sesuatunya untukku. Aku hanya tinggal menjalaninya saja.


Usia Sekolah Dasar, aku sudah disibukkan berbagai macam kegiatan les dan ekstra kurikuler lainnya. Jika anak seusiaku sibuk bermain dengan aneka macam mainan mereka, aku disibukkan dengan buku-buku pelajaran yang harus aku mengerti isinya. Tak jarang aku memandang iri pada mereka. Aku hanya bisa memandang mereka lewat jendela. Aku iri. Aku ingin seperti mereka. Namun tuntutan untuk menjadi yang terbaik mengharuskan ku untuk belajar dan belajar lebih giat. Nilaiku tidak boleh turun. Atau aku akan memperoleh omelan selama tujuh hari tujuh malam. Dan yang paling tidak mengenakkan saat aku mulai dibandingkan dengan Wisnu, kakak laki-lakiku.


Dia yang menjadi tolak ukur keluargaku. Aku pun ditargetkan harus bisa menyamainya, syukur-syukur kalau bisa melebihinya. Sulit kuakui. Wisnu sangat cemerlang. Dia adalah definisi sosok yang sempurna. Tampan, pintar dan jangan lupakan kebaikannya. Ya, meskipun kadang aku merasa membencinya karena aku selalu dibandingkan dengannya, dia adalah saudaraku yang terbaik. Pembelaku saat mama mulai mengeluarkan omelannya saat nilaiku tidak sesuai dengan harapannya.


Aku memang payah jika dibandingkan dengan Wisnu. Dia mengikuti kelas akselerasi waktu di Sekolah Dasar. Masa SD hanya dilaluinya dalam waktu empat tahun. Begitu pula SMP dan SMA, hanya dua tahun saja. Dia juga lulus Fakultas Kedokteran dengan nilai yang sempurna. Tidak heran jika diusia muda dia sudah mampu meraih gelar spesialisnya dan sekarang menjadi dokter kardiologi yang diperhitungkan namanya. Aku yakin waktu memproduksi Wisnu, orang tuaku pasti menghabiskan seluruh genetika pintar yang dimilikinya sehingga hanya tersisa sedikit untukku. Padahal mereka mengharuskan ku kurang lebih sama seperti dia. Menyebalkan memang.


Masuk Sekolah Menengah aku ingin belajar musik seperti teman-temanku yang lain. Namun kalian tahu apa jawaban mama saat aku mengutarakannya? Belajar musik hanya buang-buang waktu. Menghambat belajar. Bisa-bisa nilaiku turun karena konsentrasi ku terpecah. Alasan yang konyol menurutku. Segala macam cara aku lakukan untuk meluluhkan hati mama supaya mengijinkanku mengikuti les musik. Belajar lebih keras pun sudah aku lakukan. Percuma. Mama tetap pada keputusannya. Bahkan pembelaan dari Wisnu putra kesayangannya pun tidak mampu meluluhkan kerasnya hati mama. Sudahlah, setelah itu aku tidak punya keinginan lagi. Aku melakukan semuanya sesuai keinginan mereka. Menolak pun rasanya percuma. Dari pada aku sakit hati karena selalu dibandingkan lebih baik aku diam dan menuruti keinginannya.


Puncaknya liburan semester ini. Mama sudah menyiapkan jadwal berbagi macam kursus yang harus aku ikuti selama liburan. Entah setan mana yang merasukiku, ini pertama kalinya aku membantah keinginan mama dan kabur ke rumah nenek. Tidak bisa dibilang kabur juga, sih, karena akhirnya aku mendapat restu mama meskipun dengan raut yang tidak mengenakkan. Aku tidak peduli. Yang penting aku bisa lepas sejenak dari kejenuhan menjalani rutinitasku yang membosankan. Aku bebas disini. Aku bisa melakukan apa pun yang aku suka.


"Sudah sampai." Aku hampir lupa kalau aku sedang bersama Raisa sekarang. Terlalu sibuk memikirkan diri sendiri sehingga aku mengacuhkan keberadaanya.


Raisa memakai topi lebarnya lagi sebelum keluar. Sedetik kemudian aku menutup telinga karena teriakan kerasnya. "Eyaaangg...."


Ya ampun, aku kira dia tipe perempuan yang kalem. Ternyata ada juga punya sisi bar-bar dalam dirinya. Teriakannya bisa membangunkan ayam tetangga yang sedang tidur. Ada-ada saja!


Raisa mendahuluiku masuk ke halaman. Tampaknya sepi. Apa eyang sedang tidak di rumah? Pergi kemana?


"Lho," dia celingukan. "Sepi, mungkin eyang lagi di kebun. Masuk saja, yuk."


Aku membiarkannya berlagak sebagai tuan rumah, padahal aku cucu eyang yang sebenarnya. Mungkin karena dia tinggal satu desa dengan eyang, mereka sering bertemu, makanya Raisa tidak merasa canggung lagi.


Aku mendahuluinya duduk di kursi tamu, sedangkan dia langsung pergi ke belakang. Mencari eyang mungkin. Seingatku eyang mempunyai kebun kecil di belakang rumah yang ditanami berbagai macam sayuran dan buah. Untuk kesibukan masa tua, katanya.


"Raisa!" Suara gaduh di belakang membuatku terlonjak. Aku langsung berlari menyusulnya ke belakang. Seperti suara anak kecil. Tetapi ramai sekali. Apakah eyang sedang mengumpulkan anak-anak kecil disini? Acara apa? Rasanya tidak mungkin.


"Astaga!" Aku hampir terjengkang saat anak-anak itu berlarian dan menubrukku. "Hei... hei... Tunggu du..." Aku berusaha melepaskan diri, namun rangkulan empat bocah ini terlalu kuat.


Lihat selengkapnya