Aku belum pernah merasa sebebas ini. Rasanya aku seperti terlahir kembali. Aku bisa berbuat sesukaku tanpa omelan mama. Aku akan memanfaatkan waktuku sebaik mungkin selama disini. Aku harus bersenang-senang.
Aku merentangkan tangan menghirup udara segar. Hirupan yang panjang dan rakus, sepertinya aku tidak berniat membaginya dengan siapapun. Maruk, biarlah. Tidak setiap hari aku bisa seperti ini, kan? Ini seperti aji mumpung. Mumpung aku sendirian, mumpung nggak ada mama, mumpung aku disini.
Semburat merah di langit timur membuatku semakin semangat menjalani hariku disini. Cerah warnanya dengan cepat menulariku. Ya, aku sangat bersemangat.
Wa..ha..ha…," tawa mereka memenuhi halaman. Berlari, berkejaran, kemudian terjatuh di rerumputan. Melihat mereka saja sudah membuat senyumku terbit. Ternyata bahagia itu mudah. Asal merasa nyaman maka kebahagiaan itu akan mengikuti.
"Kakak, ayo jalan-jalan." Aku terkejut saat sebuah tangan kecil tiba-tiba menggandeng tanganku. Mata bulat dan jernih itu mengerjap. Senyum tercetak di bibirnya. Salah satu dari anak kembar itu.
"Chika?" Aku asal menyebut saja karena aku belum hafal yang mana Chika dan yang mana Chiki.
"Chiki," dia mengoreksi. Bibirnya maju tiga senti ke depan. Cemberut. "Dari semalam salah sebut terus." Tangannya bersedekap.
Aku tertawa. "Maaf, aku kan belum bisa bedain yang mana Chika yang mana Chiki."
"Hafalin dong, Kak. Masa salah sebut melulu."
"Kasih clue biar gampang bedainnya," aku memberi saran.
Chiki menunjuk pipi sebelah kirinya. "Nih, lihat. Kalau Chiki ada tahi lalat kecil disini. Chika nggak punya."
Aku memperhatikan pipi kirinya. Memang ada tahi lalat kecil disitu, tetapi tidak terlalu kelihatan. Aku hanya mengangguk. Bisa-bisa Chiki cemberut lagi kalau aku memprotesnya. "Chiki," ulangku.
"Iya, jangan salah sebut lagi," dia memperingatkan.
"Iya."
"Jalan-jalan, yuk?"
"Kemana?"
"Kesana," tangannya menunjuk jalan sebelah kanan rumah Eyang.
"Ada apa disana?" Aku bertanya lagi.
Chiki menghentakkan kakinya. Suaranya terdengar sebal. "Mana aku tahu, Eyang nggak pernah kasih ijin kalau kami berempat pengin jalan-jalan pagi. Eyang takut kami nanti kesasar dan nggak tahu jalan pulang."
"Aku juga nggak tahu, kan? Sama saja."
"Kak Erlan sudah besar, kan?" Sahutnya. "Seenggaknya kalau nanti kita nyasar masih bisa cari jalan pulang. Beda kalau cuma kami berempat, kan?" Dia menggoyang-goyangkan tanganku.
"Hemm."
"Cepetan," goyangannya bertambah keras. "Keburu siang. Nanti kita kepanasan."
Mau tidak mau aku menuruti kemauan anak kecil itu. "Panggil yang lain gih, sekalian ijin eyang dulu."
"Oke," sahutnya cepat kemudian berlari memanggil yang lain.
Aku merapatkan jaket. Hari sudah terang, namun hawa dingin masih sedikit menusuk. Daun dan bunga di halaman rumah sedikit basah oleh embun. Kacamata minusku pun buram terkena embun.
Suara anak-anak kembali mengalihkan perhatianku. Gelak tawa mereka terdengar memenuhi telinga. Tertawa gembira dan tanpa beban. Tanpa tahu hidup mereka kedepannya seperti apa. Melihat mereka, membuatku ingin kembali ke masa anak-anak. Aku sendiri bahkan tidak ingat, apa aku juga mempunyai masa kecil yang ceria seperti mereka. Yang kuingat hanya sebagian sekarang. Memori otakku sudah penuh dengan berbagai rumus dan teori-teori yang kupelajari di sekolah dan tempat les. Tidak ada lagi tempat menyimpan kenangan masa kecil. Bisa dibilang hidupku memang semenyedihkan itu.
Aku berjalan di belakang mereka. Sampai langkah mereka berhenti di rumah besar berpagar tinggi. Rumah Raisa. Gerbangnya terbuka sehingga aku dapat melihat perempuan itu berdiri di halaman.
"Raisa," Chiko berteriak dengan melambaikan tangan. Raisa menoleh mencari asal suara. Kemudian berjalan menghampiri kami.