PROMISE

Najma Gita
Chapter #4

EMPAT

Aku menghembuskan nafas panjang setelah akhirnya dapat menemukan Raisa. Dia berjongkok dengan memeluk lututnya di pinggir jembatan dekat tikungan yang tidak jauh dari rumah eyang. Dia sibuk memperhatikan aliran air sungai kecil di depannya sehingga tidak menyadari aku berdiri di sampingnya. 


Aku diam tidak menyapanya. Hanya mengamatinya dari samping. Dress tanpa lengan yang dipakainya memperlihatkan lengannya yang kecil. Postur tubuhnya memang lebih kecil dari remaja seusianya. Badannya juga agak kurus. Aku jadi merasa bersalah sudah membentaknya tadi.


"Er…lan," akhirnya dia sadar juga aku berdiri di sampingnya. "Ngapain disitu?"


"Seharusnya aku yang tanya, ngapain kamu disitu?" Jawabku sambil terus memperhatikannya. "Kamu nggak merasa kalau matahari sedang panas-panasnya?"


Raisa kembali berpaling. Dia tampak menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Ada soal yang nggak aku ngerti," katanya pelan. "Makanya aku senang banget waktu eyang bilang kamu akan datang liburan kesini. Eyang sering cerita tentang kamu. Dari semua cucunya, kamu yang paling sering diceritakan. Jadi saat kamu datang aku sepertinya sudah nggak asing lagi."


Apa saja yang sudah eyang ceritakan padanya? Pantas saja dia tidak merasa canggung sama sekali berada di dekatku meskipun kami baru pertama kali bertemu. Aku bukan tipe orang yang mudah akrab, apalagi dengan orang yang baru saja kenal. Di sekolah aku tidak mempunyai banyak teman. Aku bukan tipe orang supel yang pandai bergaul dan langsung bisa beradaptasi dengan lingkungan. Aku hanya punya beberapa teman dan satu teman akrab. 


Rasanya sulit membuka mulut untuk sekedar membagi perasaan dengan mereka meskipun kami sudah lama saling mengenal. Aku lebih suka menyimpannya sendiri. Bukan tidak ingin, aku hanya bingung harus memulainya dari mana. Aku hanya bisa menatap iri pada mereka yang bisa dengan mudah mengeluarkan semua hal yang memenuhi isi kepala. Seandainya aku bisa seperti mereka, pasti di pundakku tidak akan bergelantungan begitu banyak beban.


"Ajari aku, dong!" Raisa berkata tiba-tiba.


"Eh…," aku langsung melongo. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari Raisa yang mendongak menatapku dengan senyumnya yang lebar. Lekukan di kedua ujung bibirnya lagi-lagi mempesona ku. Astaga, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan itu semua. Aku mencarinya untuk meminta maaf. Bukan untuk mengagumi senyumnya ataupun hal lain yang ada pada diri Raisa.



Aku ikut berjongkok di sebelahnya. "Belajar itu nyebelin."


"Masa, sih?" Raisa menelengkan kepala menatapku.


"Aku nggak bohong," jawabku. "Kalau kamu melakukan survey pada sepuluh anak, aku yakin hanya satu dari mereka yang bilang belajar itu menyenangkan."


"Eyang bilang kamu suka belajar?"


Aku menopang dagu dengan tangan. Menatap lurus ke depan. Entah apa yang menarik di sana, aku hanya tidak ingin terpaku pada sosok Raisa yang membuat perasaanku mendadak aneh. "Iya," sambutku. "Mata jadi rusak."


Raisa tidak menjawab. Dia ikut menatap ke depan ke tempat aku melayangkan pandangan. "Aku berusaha keras waktu ujian supaya bisa diterima di SMA favorit seperti yang mama inginkan. Karena kakakku dulu sekolah disana, makanya orang tuaku ingin aku pun bisa diterima disana."


Aku mendesah pendek, kemudian melanjutkan, "Aku nggak sehebat dia. Bagaimanapun kerasnya aku berusaha, tetap saja aku nggak diterima disana."


"Orang tuamu marah?" 


Aku menggeleng. "Nggak bisa dibilang marah juga, tapi yang jelas aku sudah mengecewakan mereka. Meskipun berhasil masuk ke pilihan ke dua karena pilihan pertama gagal, sama saja, kan? Aku nggak berhasil memenuhi ekspektasi mereka. Aku tahu mereka kecewa, tapi aku bisa apa? Aku memang nggak sehebat kakakku. Bagaimana bisa melampauinya? Menyamainya saja nggak akan bisa."


Aku memejamkan mata sebentar. Rasanya aku ingin berlari. Aku ingin lari. Hanya itu yang aku rasakan. Aku lelah terus-menerus dibandingkan dengan Wisnu. Seharusnya mereka menyadari jika kemampuan kami berbeda. Aku tidak bisa menjadi seperti Wisnu. Tuntutan mereka berat, namun aku tidak bisa bersuara dan menolak. Aku hanya bisa pasrah dan mengikuti saat masa depanku sudah ditentukan. Ya, lebih baik begitu kalau itu bisa membuat mereka senang.


"Aku juga belum tahu mau kuliah dimana," aku melanjutkan. "Aku juga nggak tahu mau jadi apa nanti. Bagaimana aku setelah lulus kuliah." Aku menoleh pada Raisa. "Aku nggak mau belajar lagi."


Raisa menoleh padaku dan melongo. Tatapannya berganti menatapku dan buku yang dibawanya. Kemudian menatapku lagi. "Tapi, aku hanya ingin tahu waktu mau beli apel seharga seribu tiga ratus, dan jeruk seharga seribu, semuanya tiga belas buah dengan harga kurang dari sepuluh ribu. Dan sebisa mungkin apelnya harus dapat lebih banyak. Jadi masing-masing harus berapa buah?" Dia menatapku dengan tatapan polos. "Ini juga nyebelin, ya?"


Giliran aku yang melongo menatapnya. Namun sedetik kemudian tawaku menghambur keluar. Astaga, ternyata dia hanya ingin menanyakan soal sesederhana itu. Aku menjadi semakin merasa bersalah berkata kasar padanya. Kalau aku tahu sejak awal, pasti dia sudah menemukan jawaban untuk soal matematikanya. 

Lihat selengkapnya