PROMISE

Najma Gita
Chapter #5

LIMA

Janji adalah suatu hal yang harus ditepati. Jika ada yang mengatakan janji dibuat untuk dilanggar, aku akan mengatakan kalau dia pengecut, tidak konsisten dan menye-menye. Mendapat kepercayaan itu sulit, sekali mengingkarinya pasti orang tidak akan lagi percaya.


Hal itu yang kutangkap dari sosok Raisa. Meskipun baru beberapa hari aku mengenalnya aku dapat menyimpulkan kalau dia adalah orang yang konsisten. Dia tidak akan bilang B jika sudah mengatakan A. Pada anak-anak kecil itu sekalipun. Apa yang dilakukannya sesuai dengan yang terucap dari bibirnya. Aku salut padanya. Sungguh.


Raisa akan mendengarkan dengan penuh perhatian jika orang lain bicara padanya. Siapa pun itu. Meskipun aku mengeluh di depannya pun, dia akan tetap tersenyum. Dia akan selalu tersenyum dan terus tersenyum. Sepertinya dia tidak punya stok rasa marah dalam dirinya. Terkadang aku heran, apakah dia tidak memiliki emosi jika ada suatu hal yang membuatnya kesal? Karena aku tidak pernah melihatnya marah, apalagi meninggikan suara. Meskipun terkadang tingkah Chiko dan lainnya benar-benar menyebalkan.


"Siapa bilang aku nggak bisa marah?" Dia menjawab dengan tertawa saat aku bertanya. "Aku manusia biasa, Erlan. Aku bisa marah kalau kesal, nangis kalau sedih, aku juga bisa ngomel."


"Tapi aku nggak pernah lihat kamu kayak gitu?" Jawabku.


Dia menarik nafas kemudian tersenyum. "Aku ingin ninggalin kenangan manis pada mereka semua yang kenal aku. Suatu hari nanti jika aku sudah nggak ada, aku ingin dikenal sebagai Raisa yang selalu ceria. Aku ingin mereka mengingat aku yang tertawa, bukan aku yang lagi sedih."


Meskipun dia mengatakannya dengan ringan dengan tertawa, namun aku merasa ada nyeri di dalam sini saat mendengarnya. Perasaanku langsung tidak enak. Aku merasa seolah-olah dia sedang mempersiapkan diri untuk pergi. Tidak tahu kenapa, namun aku merasakan firasat tersendiri dalam ucapan Raisa. Semoga saja aku salah. Dan kami akan kembali bertemu di liburan mendatang saat aku kembali kesini.


Aku sering diam-diam mengamatinya setelah dia mengatakan hal itu. Aku tidak ingin melewatkan sedikitpun waktu bersamanya. Entah sejak kapan Raisa menjadi istimewa. Yang jelas dia sudah menjadi bagian dari hidupku sekarang.


Tawa Raisa terdengar sampai kamarku. Aku tertidur setelah makan siang, jadi aku tidak tahu sejak kapan dia datang. Kelihatannya dia hanya bersama eyang di ruang tengah. Suara berisik keempat bocah itu tidak terdengar. Mungkin mereka masih tidur atau sudah bermain entah kemana. Eyang sudah memberi ijin mereka bermain agak jauh karena mereka sering merengek pada eyang. Eyang yang tidak tahan akhirnya mengijinkan mereka.


Aku mendekat dan duduk di kursi sebelah Raisa. Raisa yang menyadari kedatanganku langsung tersenyum. "Lihat, deh. Lucu banget kamu waktu kecil."


"Apa?" Aku melongo. Dan langsung protes pada eyang. "Eyang, foto-foto begini kenapa dikeluarin, sih?"


"Memangnya kenapa?" Eyang menyesap teh dari cangkirnya.


"Astaga, Eyang. Malu dong."


"Kenapa malu, Lan," eyang terkekeh. "Raisa bilang kamu lucu."


Eyang menyebalkan.


"Lihat, nih!" Raisa menunjuk sebuah foto. "Kamu gemesin banget."


Kalau tahu begini, aku tidak akan keluar kamar tadi. Lebih baik melanjutkan tidur sampai sore. Huh.


"Tapi…," Raisa menopang dagunya dengan tangan. "Meski nggak pakai kacamata nggak berubah, ya?"


Aku tertegun mendengarnya. Kalimat yang sederhana namun bisa menimbulkan rasa hangat dalam hati. Sepertinya ide bagus. Aku ingin melepaskan diri sebentar. Disini aku akan menjadi seperti yang aku inginkan.


Aku meraba kacamataku dan menatap Raisa. Raisa juga menoleh menatapku dan kami bertukar senyum. "Lepasin saja. Ini liburan, kan? Saatnya mencoba sesuatu yang baru." Kedengarannya tidak buruk. Baiklah, aku akan memulainya dengan melepas kacamata.


***


Hari ini aku menepati janjiku pada Raisa. Awalnya dia menolak karena soal yang dikerjakannya tidak benar seluruhnya. Namun aku bersikeras mengajaknya pergi. Sepertinya mengajak mereka pergi ke pantai bukan ide yang buruk. Sekaligus mengajak anak-anak itu agar dia tidak terus merengek pada eyang. Aku memang tidak berpengalaman menjaga anak-anak, tetapi mereka sudah terbiasa dengan Raisa. Aku yakin bersama Raisa, kami dapat menjaga mereka dengan baik. Anak-anak itu memang bukan tipe penurut, namun mereka selalu menjadi anak manis jika bersama Raisa. 


Sebelumnya, Eyang berulang kali mengingatkan kalau aku harus benar-benar menjaga Raisa. Dan aku harus segera mengajaknya pulang kalau matahari sudah sangat terik. Aku mengerti maksud Eyang, dia pernah bilang padaku kalau fisik Raisa tidak sekuat remaja seumurannya. Makanya eyang menyuruh kami berangkat pagi-pagi sekali, meskipun dengan drama anak-anak itu yang sulit sekali dibangunkan.



Aku tidak mengira sebelumnya jika liburanku kali ini jauh lebih menyenangkan dari yang kubayangkan. Aku bisa tertawa dengan puas dan melakukan apa pun yang aku suka. Seperti kata eyang, tidak ada yang mengomel. Bersama Raisa liburanku kali ini lebih istimewa.

Lihat selengkapnya