Tidak terasa sudah satu Minggu aku disini. Satu Minggu lagi semester baru akan dimulai. Mama tidak bosan mengirim pesan dan menelponku supaya aku segera pulang. Bimbingan belajar akan dimulai tiga hari lagi. Malas sekali rasanya membalas pesan mama ataupun telepon darinya. Tapi mau bagaimana lagi, dia pasti akan bertambah kesal kalau aku mengabaikannya. Stok alasanku sudah habis. Kalau dia menelepon lagi nanti aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Aku tidak biasa berbohong. Namun aku masih berat jika harus pulang. Aku masih ingin bersama Raisa.
Kalau aku tidak membalas pesan mama atau menjawab teleponnya dia pasti akan menelepon eyang. Dan aku sangat mengandalkan eyang dalam hal ini. Hanya eyang harapanku satu-satunya supaya aku bisa tetap disini sampai liburan selesai.
"Lan, mamamu barusan menelepon lagi." Aku mendesah bosan mendengarnya. "Kalau jadwal bimbingan belajarmu sudah mau dimulai, sebaiknya kamu pulang."
Aku menatap eyang dengan memohon. "Aku ingin disini sampai liburan selesai, eyang."
"Tapi mamamu ingin kamu pulang, Erlan."
"Eyang…"
"Liburan nanti kamu bisa kesini lagi, kan? Jangan kecewakan orang tuamu. Mereka berharap banyak sama kamu."
"Apa yang bisa mereka harapkan dariku, Yang," aku tertawa pelan. "Aku bukan apa-apa dibanding Wisnu. Sedikit menyamainya saja nggak bisa, apalagi bisa kayak dia. Wisnu sudah memenuhi semua harapan mereka. Seharusnya mereka nggak usah menuntut apa-apa lagi dari aku, kan?"
"Erlan," eyang mengusap punggungku. "Mereka nggak punya tujuan lain selain demi kebaikan kamu. Semuanya demi kamu, Lan. Meskipun mereka bilang kamu harus bisa begini, kamu harus bisa begitu, kamu harus kayak Wisnu, itu semua supaya kamu menjadi lebih baik. Wisnu contoh nyata buat kamu, Lan. Kalau Wisnu bisa kenapa kamu nggak? Eyang nggak minta kamu menjadi kayak Wisnu. Enggak. Eyang hanya ingin kamu menjadi diri kamu sendiri. Lakukan semua sesuai kemampuan kamu. Jangan jadikan beban. Eyang yakin, kamu pasti bisa. Kamu cucu eyang yang hebat."
Eyang benar. Aku adalah Erlangga. Bukan Wisnu. Mereka tidak bisa mendikte ku menjadi seperti Wisnu. Aku akan melakukan semuanya sesuai kemampuan Erlan. Aku tidak mau memaksakan diri lagi. Aku tidak ingin membebani diri sendiri.
Aku membuka jadwal les. Benar. Bimbingan belajar dimulai tiga hari lagi. Masih ada waktu untuk memikirkannya. Aku tidak ingin tergesa-gesa memutuskan.
"Hei, Erlan." aku menutup buku yang kubaca dan mengembalikannya ke dalam tas. Kemudian menghampiri Raisa yang sedang bersama eyang di ruang tengah.
"Ya, ada apa, sih?"
"Hei, lihat sini." Aku mengambil tempat di dekatnya. Raisa mengulurkan tangannya ke depan. "Lihat, nih! Ini dress eyang waktu masih muda. Lucu banget. Diberikan padaku, lho."
"Memangnya eyang pernah muda juga?" Jawabku asal.
Eyang menoyor kepalaku pelan. "Dasar cucu nggak sopan."
"Memangnya kamu mau pakai, Sa? Modelnya sudah ketinggalan jaman, kan?"
"Nggak apa-apa," dia mengedik lalu tersenyum senang. "Aku mau menyimpannya."
"Serius?" Aku menatapnya tidak percaya. Untuk apa dia menyimpan baju jadul seperti itu. Melihat rumahnya yang besar dia pasti tidak akan kekurangan satu apa pun. Jangankan hanya selembar baju model lama, dia bisa mendapatkan sekarung baju model terbaru kalau dia mau.
"Iya, serius," jawabnya mantap. "Aku bakalan menyimpannya dengan baik."