"Raisa beneran nggak datang lagi." Entah kesekian kali Chika membicarakan Raisa. Sejak bangun tidur sampai sekarang setelah makan siang tidak henti-hentinya dia menanyakan Raisa. Raisa belum datang lagi sejak peristiwa kemarin. Tidak hanya anak-anak itu, aku pun menunggu kedatangan Raisa. Aku sudah mengirim pesan padanya, namun sepertinya dia menonaktifkan ponselnya. Tanda pesan yang aku kirim tidak berubah sejak kemarin.
"Kita nggak bisa main sama Raisa lagi, ya?" Sahut Chiki. "Iya? Beneran nggak bisa, ya?"
Kami saling pandang, karena tidak ada satu pun dari kami yang tahu keadaan Raisa sekarang. Anak-anak itu sangat dekat dengan Raisa. Kalau sehari saja tidak bertemu mereka merasa ada yang kurang.
"Kok begitu, ya?" Deo cemberut. "Kita nggak nakal, kan? Kita nggak pernah ngrepotin Raisa. Jadi kenapa dia nggak boleh main sama kita lagi?"
Aku menarik nafas kemudian menyahut, "Bukan nggak boleh, Deo. Mungkin Raisa ada kepentingan sehingga dia nggak bisa kesini. Besok dia pasti kesini lagi, kok."
Sebenarnya aku tidak merasa yakin saat mengatakannya. Aku bilang seperti itu hanya untuk menghibur supaya mereka tidak bersedih lagi. Melihat ketegangan di wajah Raisa kemarin, aku yakin kalau masalahnya serius. Aku ingat kalau Mbak Suci mengatakan tentang rumah sakit. Dengan wajah panik Raisa memotong kalimat Mbak Suci. Raisa menyembunyikan sesuatu dari kami. Tetapi itu apa? Apakah masalahnya rahasia sehingga kami semua tidak boleh tahu?
Eyang pernah memberi tahu kalau fisik Raisa lemah. Apakah karena itu dia harus rutin check up ke rumah sakit? Kalau begitu dia sakit apa? Aku semakin penasaran karena waktu aku bertanya pada eyang, dia sendiri juga tidak tahu penyakit apa yang diderita Raisa.
Kami berlima tidak ada yang bersuara lagi. Suara yang terdengar hanya dari televisi yang menyala di depan kami. Tidak ada satu pun dari kami yang memperhatikan televisi. Pikiran kami semua tertuju pada Raisa.
"Hei, itu ayah Raisa," celetukan Chika mengagetkan kami semua. Spontan mataku memindahi televisi yang sudah dikerubuti anak-anak itu.
"Mana-mana?"
"Itu." Telunjuk Chiki menunjuk ke arah salah satu gambar di televisi.
Chika mendekat dan memperjelas maksud saudara kembarnya. "Yang ini, nih."
"Kamu tahu?" Tanya Chiko.
"Raisa yang ngasih tahu," kemudian Chika bercerita.
Selama ini Raisa tidak pernah membicarakan tentang keluarganya. Terkadang hanya sedikit mengatakan tentang ayahnya. Dia hanya bilang kalau ayahnya orang sibuk, jadi jarang sekali bisa pulang. Ayahnya tinggal di kota yang jaraknya sekitar tiga jam dari sini. Sedangkan dia tinggal berdua dengan Mbak Suci dan satu orang sopir. Aku tidak menyangka kalau ayahnya seorang pejabat daerah yang wajahnya sering wara-wiri di program berita di televisi. Raisa bilang bahwa udara di sini bagus untuk kesehatannya sehingga dia tidak ikut tinggal bersama ayahnya di kota.
"Besok kita ke rumah Raisa, yuk!" Ajak Chiki. "Kita tanya keadaan dia. Jangan-jangan dia sakit."
"Jangan," sambarku cepat. Mereka berempat langsung menatapku heran. "Siapa tahu Raisa sedang nggak enak badan. Takutnya kita bakalan ganggu kalau nanti kita beramai-ramai kesana. Raisa jadi nggak bisa istirahat."
"Jadi kita harus ngapain?" Chiki cemberut menatapku.
"Kita tunggu saja. Besok atau lusa pasti Raisa datang lagi kesini."
"Kak Erlan sudah mau pulang, kan? Apa Raisa sudah tahu?" Celetukan Chika membuatku tertegun. Akhirnya aku memutuskan pulang lusa. Aku belum memberitahu Raisa. Rencananya aku ingin memberitahunya kemarin. Tetapi dia keburu pulang karena Mbak Suci menyusulnya. Hari ini Raisa tidak datang. Aku khawatir kami tidak bertemu lagi sampai saatnya aku pulang lusa. Aku tidak bisa pergi tanpa berpamitan pada Raisa.
"Belum," aku menggeleng. "Aku belum ngasih tahu dia."
"Masa Kak Erlan nggak pamitan sama Raisa sebelum pulang?" Chiko beralih menatapku. "Nanti Raisa nyariin. Kak Erlan lama baru bisa kesini lagi, kan? Kasihan Raisa kalau Kak Erlan pulang tanpa pamitan sama dia. Raisa pasti bakalan sedih."
Chiko benar. Aku tidak mungkin pulang tanpa berpamitan pada Raisa. Namun bagaimana lagi? Raisa mendadak tidak bisa dihubungi. Sedangkan aku sudah terlanjur janji pada mama untuk segera pulang dan mengikuti bimbingan belajar yang sudah diaturnya.
"Kak Erlan tetap jadi pulang meskipun nggak pamitan sama Raisa?" Pertanyaan Chiki membuatku terdiam. Aku tidak bisa pergi tanpa berpamitan pada Raisa, namun aku juga tidak bisa melanggar janjiku pada mama.
***