PROMISE

Najma Gita
Chapter #8

DELAPAN

Hidup adalah pilihan. Begitulah sebagian orang mengatakan. Namun dalam hidup nyatanya aku tidak mempunyai banyak pilihan. Aku harus melakukan hal yang sudah dipilihkan untukku. Ya, hal yang sudah dipilihkan. Apa saja keinginanku mereka tidak pernah mau tahu. Apa lagi bertanya. Aku seperti sebuah robot yang sudah disetel dengan program tertentu. Tidak ada yang menarik dalam hidupku. Bisa dikatakan aku tidak pernah melakukan hal-hal yang menantang yang membuat adrenalin meningkat. Hidupku lurus dan monoton. Sangat membosankan. Seandainya ada orang yang bisa aku ajak bertukar posisi, aku yakin tidak sampai satu hari dia akan menyerah.



Aku merasa malu pada Raisa. Dia berani membuat pilihan dalam hidupnya. Dia berani mengambil resiko dengan tetap pergi bersamaku malam ini. Aku tidak begitu mengerti dengan kejadian sebenarnya. Yang dapat aku pahami hanya Mbak Suci, orang yang bertugas menjaga Raisa sangat khawatir dengan keadaan Raisa. Dan jelas dia akan mendapat omelan karena pergi diam-diam. Raisa memang mengagumkan. Dan aku kagum padanya. 


Sudah sering aku bilang kalau aku sangat menyukai senyumnya. Apakah ini sejenis rasa suka? Entahlah, yang jelas aku tidak dapat melepaskan pandanganku darinya saat dia tersenyum dan tertawa.


Lapangan sudah penuh saat kami tiba. Raisa tampak bersemangat. Tampaknya dia sudah tidak sabar. Aku heran, dia mudah sekali terpesona pada suatu hal. Termasuk hal kecil sekalipun. Raisa memang pribadi yang menarik. 


"Hei, sudah mulai ya?" Dia memindahi sekeliling dengan senyumnya yang melebar. "Aku senang banget. Kayak mimpi aku bisa disini sekarang."


Nah, sudah aku bilang, kan? Dia tipe orang yang mudah sekali disenangkan. Orang lain akan menganggap melihat kembang api adalah hal yang biasa. Namun tidak bagi Raisa. Dia memandang takjub sekeliling seolah dia makhluk asing yang berasal dari planet lain. Dan ini pertama kalinya dia menginjakkan kakinya di bumi. 


"Raisa, ingat jangan lama-lama ya. Udara dingin nggak baik buat kamu," suara laki-laki yang tadi menyopiri kami menghentikan langkah Raisa. Tampak jelas kalau dia khawatir. Raisa berbalik, kemudian mengangguk. "Nak, titip Raisa, ya?" Katanya beralih padaku.


Aku mengiyakan sebelum menyusul Raisa yang lebih dulu berjalan. Langkahnya ringan dan cepat. Menyelinap diantara orang-orang yang berkerumun di lapangan. Aku mempercepat langkah menyusulnya. Kami bisa terpisah kalau aku terlalu lamban bergerak.


"Raisa, tunggu!" Aku meraih tangannya. Aku dapat merasakan tubuhnya sedikit menegang karena sentuhanku. Tangan halus dan hangat. Matanya mengerjap pelan menatapku, lalu beralih pada tangan kami yang bertaut. "Ramai banget. Jangan sampai terpisah."


Raisa tidak menjawab, dia menurut saja. Kami bergandengan tangan mencari tempat yang bagus untuk melihat kembang api.


"Sa, kamu beneran nggak apa-apa?" 


Dia mengernyit padaku, kemudian menggeleng.


"Tanganmu hangat. Aku takut kalau…"


"Ayo kita cari tempat yang bagus," sambarnya memotong kalimatku. Raisa… aku semakin yakin dia menyembunyikan sesuatu. Perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak.


"Kalau kamu nggak enak badan sebaiknya kita pulang saja."


"Disana." Tangannya menunjuk tempat kosong diantara orang-orang yang duduk menunggu pesta kembang api dimulai.


"Sa…"


"Ayo, nanti kita nggak kebagian tempat. Orang yang datang makin banyak," katanya seolah tidak mendengarku. 


Kami baru saja duduk di rumput saat pesta kembang api dimulai. Tangan kami tetap bertaut.


"Indahnya," Raisa menatap takjub ke langit. Suara letupan disusul warna-warna pelangi berpendar menghiasi langit di atas lapangan. 


Aku tidak dapat melepaskan pandanganku pada Raisa. Bukan cahaya warna-warni di langit yang menarik perhatianku. Aku lebih tertarik menatap wajah Raisa yang terlihat begitu cantik malam ini. Aku pasti merindukannya nanti.


Aku berencana mengatakan padanya kalau aku akan pulang besok. Namun saat melihat rautnya yang berseri membuatku bingung. Jujur, aku masih ingin bersama Raisa. Setidaknya sampai liburan sekolah usai. Tetapi aku tetap tidak bisa mengabaikan janjiku, kan?


Aku menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. "Sa…" Genggaman tanganku padanya mengerat. Raisa menatapku dengan senyumnya. "Aku… besok pulang." 


Senyum di bibirnya langsung menghilang. Dia tidak berkedip menatapku. Suara letupan yang disusul pendar warna-warni di langit tidak lagi menarik perhatiannya. Aku tahu dia kaget. 


"Aku sudah harus masuk bimbel, mama sudah berulang kali menyuruhku segera pulang," aku melanjutkan. "Sekarang ini, aku… merasa mampu melakukannya. Aku nggak mau lari lagi."


Raisa menunduk menekuri rumput di bawahnya. Dia tidak bersuara sedikitpun. Pegangan tangan kami pun terlepas. Dia tidak memandang kembang api lagi sampai pesta kembang api selesai.


***


Sudah menjadi hukum alam setiap pertemuan pasti akan berujung perpisahan. Dan yang pasti aku tidak terlalu menyukainya. Kebersamaan ku dengan Raisa sangat singkat. Seandainya waktu mengijinkan tentu saja aku ingin bersamanya lebih lama lagi. Setidaknya sampai liburan sekolah selesai. 


Wajah murungnya saat aku mengatakan akan pulang hari ini tetap saja terbayang sampai aku benar-benar pulas. Seharusnya aku tidak merusak kegembiraannya tadi malam. Aku bisa menunggu sampai pesta kembang api selesai, kan? Kenapa aku ceroboh sekali. Astaga!


Aku berkemas dibantu keempat anak-anak itu yang tidak berhenti bertanya. Sampai pada pertanyaan Chiki yang membuatku tercenung. "Aku bertemu Raisa tadi pagi waktu ikut eyang ke pasar. Dia tanya kapan kakak berangkat. Kelihatannya Raisa sedih banget. Kak Erlan, sih, pulangnya tiba-tiba banget. Pasti Raisa kaget. Dia jadi sedih, kan?"


Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Aku semakin merasa bersalah kalau mendengar namanya disebut. Tetapi aku memutuskan pulang hari ini karena dia. Melihatnya semangatnya yang begitu besar membuatku yakin kalau aku juga bisa melakukan segala hal seperti yang Raisa lakukan. Semangatnya dengan cepat menulariku. Awalnya aku mengira kalau beban yang kusandang terlalu berat untuk anak seusiaku. Namun setelah bertemu Raisa aku sadar kalau masalah yang selalu kuanggap besar tidak ada apa-apanya dibanding beban di pundaknya. Meskipun aku tidak tahu dengan pasti, namun aku dapat merasakan Raisa sedang menyembunyikan masalah besar di hidupnya. Dia saja selalu bisa tersenyum, melangkah ringan dengan tertawa, lalu kenapa aku masih terus saja mengeluh? Aku malu pada Raisa.


"Raisa mengantar Kak Erlan ke stasiun?" Chika menggoyangkan lenganku. 


"Enggak," aku menggeleng. "Tapi aku sudah kasih tahu dia tadi malam."


"Raisa pasti sedih, ya?" Deo ikut bersuara yang bagiku lebih ke sebuah pernyataan dari pada pertanyaan. 


Aku tahu. Kami tidak bicara lagi sampai pesta kembang api selesai. Raisa tetap diam dan menunduk, aku pun tidak tahu harus memulai obrolan dari mana. Dan Raisa tetap diam sampai kami tiba di rumah. Hanya ucapan selamat malam yang singkat dan akhirnya kami berpisah. 


Aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada Raisa. Tetapi aku juga tidak mungkin tiba-tiba datang ke rumahnya. Mbak Suci, perempuan itu jelas-jelas melarangku bertemu dengan Raisa. Aku ingin bertemu Raisa sebelum aku ke stasiun. Apakah sebaiknya aku meminta tolong pada Chiki untuk menyampaikan pesan pada Raisa? Tidak! Aku bisa meneleponnya nanti. Aku tidak mau melihat wajah sedih Raisa. Aku tidak tega.


"Selesai." Aku menepuk tas ranselku kemudian menyandang ya di pundak. "Aku pulang dulu. Kalian jangan nakal, jangan ngrepotin eyang. Ngerti, kan?" Aku menatap mereka satu per satu yang dibalas anggukan mereka bersamaan. 


Lihat selengkapnya