PROMISE

Najma Gita
Chapter #10

SEPULUH

Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Aku semakin tidak menyukai kalimat itu. Entah siapa yang mencetuskan kalimat itu pertama kali. Mungkin dia telah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan sehingga muncullah kalimat seperti itu. Untuk apa dipertemukan kalau akhirnya dipisahkan lagi. Hanya akan meninggalkan jejak luka dan kepedihan. Tidak bisakah pertemuan menjadikan sebab mereka selalu bersama? Sehingga tidak meninggalkan jejak suram dalam kehidupan. Kalau pertemuan hanya meninggalkan kepedihan, untuk apa dipertemukan? 


Namun aku tidak pernah menyesali pertemuanku dengan Raisa. Aku malah merasa bersyukur. Dengan mengenal Raisa aku menjadi memahami arti menghargai hidup. Dia tahu sejak awal kalau kesehatannya beresiko, namun dia tidak pernah berhenti tersenyum dan tertawa. Semangatnya yang tinggi ikut menular pada orang-orang di sekitarnya. Termasuk aku.


Aku tidak menyangka pertemuan singkat kami akan menyisakan kesedihan yang sangat mendalam untukku. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi saat pintu ruangan tempat Raisa ditangani tiba-tiba terbuka dan seorang perawat muncul kemudian berkata dengan terburu-buru, "Siapa yang bernama Erlan disini?" Wajahnya yang tegang membuatku tubuhku semakin kaku. Jantung pun bekerja di atas garis kenormalan. Aku tidak bisa menyuruh otakku untuk berpikir yang baik-baik saja. Kepalaku penuh dengan pengandaian terburuk yang bisa saja terjadi. Tidak, Raisa pasti baik-baik saja. 


Aku berdiri dengan kaku. Tatapan perawat langsung tertuju padaku. "Apakah anda yang bernama Erlan?" Aku mengangguk. "Pasien memanggil anda. Masuklah!"


Aku menoleh pada Mbak Suci. Dia mengangguk dari bangkunya. Tangannya mengusap pipinya yang lagi-lagi basah. Entah sudah berapa lembar tisu yang dihabiskannya selama menunggu denganku disini. Tangisnya tidak berhenti sejak dia tiba.


Aku berusaha menahan kesedihan saat melihat Raisa lemah terbaring di ranjang rumah sakit. Raisa tidak akan suka melihatku bersedih. Benar saja, dia langsung menoleh dan tersenyum begitu tahu aku datang. "Erlan." Suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Tangannya menggapai ke arahku. Aku langsung menyambut tangannya dan menggenggamnya. Raisa…


"Sa, kamu…" Aku tidak bisa lagi meneruskan kalimat melihat wajah pucat Raisa. Dengan keadaannya seperti itu dia masih saja tersenyum.


"Erlan… jadi guru yang baik, ya? Kamu… pasti bisa." Pelan, lirih dia mengatakannya. Mata beningnya diselimuti kabut tipis. Sedetik kemudian buliran bening menggenang di sudutnya. "Jan…ji."


Aku tidak bisa mengatakan apapun. Rahangku rasanya kaku untuk sekedar menjawab 'ya'. Kejadiannya begitu cepat. Aku merasa kerja otakku menjadi lebih lambat dari biasanya. Aku hanya mematung menatapnya. Menatap senyum Raisa yang selalu ku kagumi. Cantik, dalam keadaan apapun dia selalu terlihat cantik. Aku merasa genggaman tangannya pada tanganku melemah. Matanya perlahan terpejam. 


"Raisa?" Monitor di samping ranjang Raisa berbunyi sekali diikuti layarnya menampilkan garis lurus. Mungkinkah Raisa?


Dokter dan perawat langsung mendekatiku. "Tolong keluar dulu."


"Enggak, Raisa… Raisa dia…" 


"Kami akan melakukan yang terbaik. Percayalah." 


Aku tahu dokter mengatakan itu hanya untuk menghiburku. Namun aku bisa apa selain menurutinya. "Selamatkan Raisa. Saya nggak mau tahu. Pokoknya dia harus selamat." Dokter hanya mengangguk dan tersenyum mendengar kalimatku yang lebih terdengar seperti ancaman.


Tubuhku didorong keluar. Aku bersandar pada tembok dengan air mata yang bercucuran. Aku tidak bodoh. Aku tahu hal sebenarnya yang terjadi pada Raisa. 


"Erlan, janji, ya?"  Kalimat-kalimat yang pernah Raisa ucapkan berputar-putar di kepala. Tawanya, senyumnya melekat erat dalam memori otakku. 

Lihat selengkapnya