“Lo mau ajak gue kemana sih, Lin?” tanya Rivan sambil mengemudi.
“Udah lo ikut aja apa yang gue arahin,” jawab Celline sembari mengarahkan jalan.
Rivan mengikuti arahan Celline menuju suatu tempat. Jarang sekali Rivan bepergian seperti ini dengan Celline. Biasanya juga Rivan lebih sering jalan dengan Nadira. Mobil yang dikendarai Rivan terhenti pada sebuah taman. Celline segera turun dan mengajak Rivan untuk menuju suatu tempat.
“Kita ngapain sih ditaman?” tanya Rivan.
Celline tidak menjawabnya dan tetap berjalan menuju suatu tempat. Setelah beberapa menit menyusuri jalan yang ada ditaman, Celline berhenti di sebuah kedai seseorang yang Celline kenal. Celline meminta Rivan untuk duduk di bangku panjang yang ada disebelah kedai tersebut. Celline masuk kedalam untuk mengambil beberapa makanan yang tersedia. Lalu ia kembali menemani Rivan yang masih terduduk bingung di bangku panjang sebelah kedai tersebut.
“Kita ngapain disini?” tanya Rivan sekali lagi.
Celline menyodorkan makanan yang dibawanya dari dalam dan meminta Rivan untuk menikmatinya sembari melihat pemandangan yang tak seberapa indahnya. Tak lama dari itu, pemilik kedai tersebut keluar dengan membawa dua gelas es teh kearah Celline dan Rivan yang biasanya dipanggil Budhe Tun.
“Nih minumannya datang,” ucap Budhe Tun sembari meletakkan minuman tersebut.
“Terima kasih, Budhe,” balas Celline.
“Tumben kesininya bawa temen, biasanya sendirian,” tanya Budhe Tun.
Celline tersenyum, “ini sahabat Celline, Budhe. Dia lagi galau, makanya Celline ajak kesini,” jawab Celline.
Rivan yang masih menikmati makanan yang ada itu tidak tergubris sama sekali dengan obrolan Celline dan Budhe Tun. Rivan lebih memilih untuk menyantap makanan yang ada di depannya itu.
“Budhe, ini Rivan. Dia itu sahabat aku sejak SMP. Oh ya Rivan, ini Budhe Bun. Budhe ini selalu nemenin aku kalo lagi nggak mood di rumah,” ucap Celline.
Namun Celline dibuat kesal oleh Rivan karena ia terfokus dengan makanannya sehingga tidak menghargai ucapan Celline.
“RIVANNN!” teriak Celline di telinga Rivan.
“Iya, iya, gue denger kok,” jawab Rivan sembari mengusap-usap telinganya, “makanannya enak sih, jadi nyaman banget makannya,” lanjut Rivan.
Celline menggelengkan kepalanya karena kesal dengan Rivan. Budhe Tun hanya bisa tertawa melihat tingkah Rivan yang terlalu menikmati makanannya.
“Budhe, kenapa nggak buka restoran aja. Makanannya enak-enak lho,” usul Rivan yang masih menikmati makanannya.
“Buka restoran itu bukan hal yang mudah, Nak Rivan. Lagipula Budhe juga tinggal sendirian dan nggak ada yang bantuin. Nak Celline juga sering kok minta Budhe buka restoran, tapi karna tenaganya nggak mencukupi, jadi Budhe cukup buka kedai aja, yang penting masih bisa memenuhi kebutuhan hidup,” jelas Budhe Tun.
Rivan kembali menikmati makanan itu dengan lahapnya. Tak peduli lagi dengan keberadaan Celline dan Budhe Tun. Rivan lebih memilih makanan yang nikmat itu.
Sesekali Budhe Tun mengajak Rivan bercanda setelah menghabiskan makanannya. Budhe Tun bercerita ketika Celline datang ke kedainya itu. Terkadang Celline juga membantunya di kedai. Budhe Tun sudah menganggap Celline seperti anaknya sendiri. Keberadaan Celline di kedai Budhe Tun tidak membuat Budhe Tun kesepian lagi. Semenjak anak satu-satunya menikah, anaknya tak lagi pulang ke rumah untuk menjenguknya. Tapi sekarang sudah ada Celline yang bisa menghapus kesepian Budhe Tun.
“Lin, sering-sering ya, lo ajak gue kesini. Nanti gue ajak juga kak Ranty, biar nggak capek ngurusin tugas kuliahnya,” pinta Rivan.