Promise, That You'll be Promise Me

Andhika Rivani
Chapter #1

When I See the Skies Again

Siang terik itu, untuk pertama kalinya setelah lima tahun lamanya aku bisa melihat langit lagi. Lagi ? Tidak juga sebenarnya, tiap hari aku juga masih bisa melihat langit. Tapi kali ini berbeda, langit yang kulihat lebih cerah, langit yang dibawahnya bersahutan deru mesin mobil dan motor. Langit yang dibawahnya dipenuhi oleh polusi kotor, langit yang dibawahnya dipenuhi oleh berbagai masalah dari makhluk-makhluk bernama manusia dengan segala baik dan buruknya.

Ya, untuk pertama kalinya dalam lima tahun aku kembali menghirup udara busuk perkotaan setelah sekian lamanya aku berada di balik jeruji penjara. Udara penuh polusi ini seakan menjadi udara segar dibanding dengan pengapnya sel penjara yang membuat badan untuk sekedar berbaring saja susah karena berjubelnya para manusia penghuni sel.   

“Jadi, mau makan di mana nih ? udah bosen kan lu sama makanan cadong di penjara bang ? Haha……” Anton, adikku bertanya.

Ya, dia satu-satunya yang menjemputku keluar dari penjara, sekaligus satu-satunya keluargaku. Kilianton Dwi Satria, yang biasa dipanggil Anton. Dia sosok bertubuh tinggi dengan rambut hitam pendek dan berkacamata. Tampilanya sekilas mirip pegawai bank, karena ia selalu berpakaian rapi, padahal bukan sama sekali. Anton bekerja di perusahaan advertising, setidaknya itu yang aku tahu dari ceritanya selama aku di dalam penjara. Maklum, saat pertama kali aku masuk, dia masih kuliah. Dengan tubuh tingginya aku pernah menyarankan untuk menekuni basket saat dia SMA, karena hobinya memang main basket, tapi dia malas jika harus bermain basket dengan berbagai tuntutan, dan juga dia menganggap dirinya tidak jago-jago amat, sehingga dia sama sekali tidak tertarik untuk itu, padahal dengan penampilanya dan tubuh tingginya, dia mirip Galank Gunawan saat masih muda, pemain basket IBL, tapi versi yang berkacamata.

 Sedangkan aku ? Aku, Brian Pratama Putra, perawakanku agak kurus, tinggi, namun tidak setinggi Anton, dengan muka Jawa tulen dan rambut hitam yang aku potong seadanya, karena, ya, kau tidak bisa meminta apa-apa di dalam penjara kan ? aku juga tidak hobi bermain basket sama sekali, hanya sebagai penikmat saja sambil lewat, aku lebih menyukai bermusik. Aku sudah mulai belajar gitar dari kecil, diajari oleh almarhum ayahku, dan kini bisa dibilang menjadi satu-satunya hobiku.

Aku bisa dibilang hampir sebatang kara. Ayah dan ibu kami sudah tidak ada lagi di dunia ini, begitu juga kakek dan nenek kami, semua sudah meninggalkan dunia ini, saudara dari ayah dan ibu pun sedikit, itupun semua keluarga jauh. Hal ini masih diperparah dengan pribadi anti sosialku yang membuat aku tak memiliki sahabat satupun. Yah seperti inilah aku. Tapi bukan berarti aku tak punya teman sama sekali, aku punya beberapa cirle pertemanan, walaupun kecil, seperti teman-teman dari komunitas musikku dan beberapa teman kuliahku yang masih menjalin komunikasi, walau begitu tak ada yang bisa dibilang dekat, atau kata orang, sahabat.

“Apa ajalah, eh tapi daging boleh deh kayanya, apa aja sate, steak, yang mahal pokoknya. Haha…..” ujarku.

“Sialan, keluar-keluar langsung nagih yang mahal, kan kalo sate juga sering gue bawain pas kunjungan dulu” jawab Anton

“Tai ah lu belakangan ngunjungin gue juga ga mesti sebulan sekali” kataku ketus.

“Haha….. sorry bang, tau sendiri kan kerjaan gue, susah ditinggal. Oke deh ayo gue traktir makan enak” sahutnya.

“Nah gitu kan enak haha… btw gimana kerjaan? lancar? “ tanyaku.

“Ya, gitulah bang, naik turun haha…., kadang gue mikir enakan kerja jadi gamer profesional ya, main game doang bisa dapet duit…… eh, lu kaga tau ya kalo sekarang main game bisa jadi kerjaan, kelamaan di penjara sih ya.” Ledek Anton.

“Sialan, gue juga taulah ! di dalem bukanya gue ga tau perkembangan di luaran !” Sanggahku.

Lihat selengkapnya