“Kalau kamu sudah bebas nanti, aku akan ada di sana, aku janji, kapanpun itu…”
Kata-kata itu, ya kalimat itu yang saat ini memenuhi pikiranku. Sebuah janji dari “dia” yang sesungguhnya tidak pernah aku iyakan. Sebuah kalimat yang sesungguhnya tidak pernah aku jawab, bahkan sebenarnya aku abaikan.
Sebenarnya, jika dipikir dengan nalar, dengan logika, kata-kata itu terasa hanya seperti sebuah pemanis saja. Tak lebih dari sekedar basa-basi. Mana ada orang yang benar-benar akan menunggu selama itu, konyol. Sekali lagi pikiranku berusaha menepis dan mencoba rasional, tetapi di satu titik kecil hati ini terasa ada sedikit harap, apakah “dia” benar-benar….
“Hoi bang, kok bengong lagi sih ? Habis makan juga, kalo ngantuk sih wajar, tapi ini malah bengong lagi, udah kangen apa pengen balik ke sel ? Hahaha…” kembali Anton membuyarkan lamunanku.
“Heh… amit-amit dah, cukup sekali aja, ogah balik lagi kesana ! “ sanggahku.
“Lah lu bengong terus sih dari tadi. Terus mau kemana lagi nih ? Gue anter, mumpung libur nih hari ini.“ tanya Anton.
“Balik aja ke rumah deh, kangen liat kamar.” Jawabku.
“Yah, emang deh, gak asik, bukanya pengen liat-liat kota dulu, malah pingin balik.“ seloroh Anton.
“Ok kita balik deh. Oh iya lu kan belum ada kegiatan, sempetin nengokin makam ayah sama ibu ya.“ Pinta Anton.
“Pasti…” jawabku singkat.
Mobil melaju pelan, mulai memasuki sebuah gang. Dari kejauhan mulai tampak rumah bercat hijau. Ya, rumah peninggalan orangtua kami yang saat ini aku dan adikku tempati.
Mobil berhenti di depan pagar bercat putih yang terlihat ada berkarat di beberapa sisi. Aku turun dari mobil, membuka pagar depan dan kulihat kembali rumah ini.
“Selamat datang kembali…” gumamku.
Lima tahun berlalu, dan tak ada yang berubah dari rumah ini, bahkan catnya masih sama walaupun tampak sudah dicat ulang. Aku melangkah memasuki rumah dan terhenti sejenak di depan foto keluarga kami yang terpajang di dalam ruang tamu. Cukup lama aku terpaku memandang foto ayah dan ibu, segumpal besar kerinduan terasa menyeruak di dalam dadaku yang perlahan berubah menjadi rasa bersalah.
“Ayah, ibu, aku pulang. Maaf sudah mengecewakan kalian, maaf sudah membuang waktu lima tahun ini dengan percuma, maaf..” gumamku dalam hati dengan perasaan bersalah yang terasa menyesakkan dada.
Ayah dan ibu kami sudah pergi mendahului kami. Mereka pergi saat aku baru mulai masuk kuliah, di pertengahan semester satu tepatnya. Ayah dan ibu kami meninggal karena kecelakaan. Aku ingat sekali kejadian malam itu, ayah dan ibu yang berangkat menghadiri acara pernikahan kolega ayah di kantor, terlibat kecelakaan beruntun di jalan yang melibatkan truk, bus, dan beberapa kendaraan pribadi lainnya. Masih jelas aku ingat bagaimana suasana malam itu yang membuatku dan Anton sangat syok karena ditinggal orang yang paling dekat dengan kami.
Mulai saat itu aku hidup berdua dengan Anton. Kami tidak memiliki kerabat dekat. Ibu adalah anak tunggal, sedangkan ayah tiga bersaudara, namun kedua adik ayah tinggal di luar negeri, satu di Belanda, satu lagi menetap di Malaysia, dan kami sangat tidak dekat dengan mereka. Kakek dan nenek kami semua juga sudah meninggal saat kami masih kecil, nenek terakhir kami meninggal saat aku kelas 2 SMA, jadilah kami benar-benar hidup berdua.