Promise, That You'll be Promise Me

Andhika Rivani
Chapter #4

My Guilty, and You

Lima hari sudah dari saat penangkapan terjadi. Lima hari, atau mugkin enam hari ? Entahlah, aku tak perduli lagi, dalam beberapa hari ini semua terasa begitu tak nyata. Mulai dari penyelidikan yang lama, dibawa kesana kemari, bentakan, cacian, entah apa lagi semua terasa bagaikan ruang hampa di otakku. 

Tidak lama setelah aku ditangkap, aku melihat Freedy digelandang juga ke kantor polisi. Dia ditangkap berdasarkan keterangan dariku. Dia sepertinya sempat kabur karena aku baru melihatnya di kantor polisi esok harinya setelah aku bermalam di sana. Dia kabur, namun tidak cukup pintar untuk bisa lari dari kejaran para reserse itu.

Anton tiap hari mencoba mengunjungiku, walau belum tentu dia bisa menemuiku, dengan segala pertanyaan dan kekesalannya seperti berlalu di kepalaku. Aku ingat saat pertama kali Anton menemuiku di kantor polisi setelah penyelidikan. Dia datang dengan wajah yang marah dan kecewa, seakan tidak percaya pada apa yang baru saja aku perbuat.

“Bang, lu gila ya bang ?!! Sejak kapan lu terlibat ginian ??!” teriak Anton.

“Gue juga ga tau Ton kalo itu isinya sabu ! Gue cuma dititipin temen buat nganterin itu, udah, gue ga tau itu paket isinya apaan !” jawabku keras juga.

“Ya, lu mikir ga sih bang ??? ngapain lu mau dititipin barang ga jelas ??? sejak kapan lu jadi sebaik dan sepeduli itu sama temen kampus lu ?!” tanya Anton heran.

“Gue ga mikir Ton, gue Cuma dititipin, terus dia ngejanjiin gue duit, ya udah gue terima !” jawabku.

“Aduh….. makin bego lagi deh lu bang. Ga curiga apa ?? Anak SMP juga tau kali bang kalo dititipin barang ga jelas dan lu dikasih duit itu udah pasti barang ga beres !” Anton semakin kesal.

“Ya mau gimana lagi Ton, gue juga lagi bingung, gue juga lagi ngeblank dan butuh duit ! gue kepikiran Karen, kepikiran papanya, dan gue ga pingin dia ngerasain kejadian kaya kita dulu, waktu ayah sama ibu meninggal…” ujarku meratap.

“Dan lu liat sekarang, lu ga mikir gimana perasaan Karen liat kondisi lu sekarang bang ? gara-gara kesembronoan lu, jangankan bantu, lu malah ga bisa nemuin dia sekarang, di saat-saat paling kritisnya dia !” tekan Anton.

Aku terdiam. Aku menyadari itu semua, dan aku benar-benar menyesali kebodohanku saat ini. Aku benar-benar melakukan kesalahan yang sangat fatal, kesalahan yang tidak termaafkan.

“Dan lu ga mikirin gue bang ? gue sendirian sekarang, bener-bener sendirian bang…” kata Anton lagi.

“Sorry…..” jawabku lirih. Kata-kata Anton membuat rasa bersalahku semakin berlipat-lipat. Aku tidak tahu lagi harus bilang apa.

“Oke.. gini… sorry udah teriak-teriak bang, jujur gue bener-bener marah sama lu, tapi gue bakal lakuin apa aja buat ngeringanin hukuman lu” ujar Anton mulai menurunkan emosinya.

“Lu jadi kurir tanpa lu tau, lu dijebak kan ? Habis ini gue bakal cari pengacara ke LBH, semoga dapat pengacara yang bagus. Gue bakal rutin nengokin lu bang, kalo lu butuh apa-apa bilang, ntar gue bawain pas kunjungan berikutnya.” Tambahnya lagi.

Sejak itu Anton selalu rutin menemuiku, membawakan barang-barangku dan mendiskusikan tentang kasusku. Namun entah kenapa rasanya aku sudah tidak perduli…

Aku benar-benar merasa duniaku sudah berakhir. Rasa bersalahku terhadap semuanya terasa sangat besar, dan bila waktu bisa kuulang, aku ingin sekali menolak kebodohanku waktu itu. Selain itu pikiranku hanya tertuju ke Karen, bagaimana dia sekarang ?

Karen, apakah dia mengunjungiku ? harapan itu sebenarnya yang sedikit memberiku harapan untuk menanti hari esok, sebelum terhapus oleh pertanyaaan, jika dia datang apa yang harus ku katakan ? jika dia datang hanya untuk mengucap perpisahan, apa yang harus kulakukan ? dua pertanyaan ini saja sudah cukup membuatku untuk menghapus eksistensi Karen dari ingatanku. Lebih baik anggap saja dia tidak ada daripada harus menghadapi hal yang lebih berat lagi di depan mata.

BODOH !!!!

Lagi lagi hanya ucapan itu yang ada di benakku. Sebuah ratapan dengan penyesalan dan kesedihan yang tak ada henti-hentinya. Sesal yang sudah terlanjur terjadi dan tak bisa diperbaiki lagi. Amarah dari kebodohan yang mengesampingkan logika.

Hanya satu langkah, namun saat melangkah di atas jurang, akan jatuh juga. Itu yang aku rasakan saat ini. Dan jurang ini, terasa sangat dalam. Terlalu dalam….

Saat kunjungan ke berapa aku lupa tepatnya Anton datang bersama kuasa hukumku dari LBH. Pak Reno namanya. Dia pengacara yang masih muda, mungkin umurnya masih tiga puluhan jika aku tebak.

“Bang ini aku udah dapat pengacara abang. Namanya Pak Reno. Dia kenalan abangnya temenku, dan dia udah bersedia untuk jadi pengacara abang.” Kata Anton.

Aku menjabat tangan Pak Reno, dan hari itu kami mulai berbincang, Pak Reno memintaku untuk menceritakan kronologi lengkap kejadian kasusku dari awal. Aku menceritakan semuanya, tak ada yang aku tutup-tutupi.

Kesan pertamaku saat bertemu Pak Reno, dia orangnya cerdas, dan professional. Dia mendengarkan ceritaku secara seksama, sesekali dia mencoret-coret sesuatu di notesnya sembari merekam segala pembicaraan kami di hpnya.

Dia menjelaskan akan membantu semaksimal mungkin agar aku bisa mendapat keringanan hukuman. Dia berjanji akan mempelajari kasusku dan menyiapkan strategi agar meringankan hukumanku. Setelah pertemuan pertama itu, dia cukup sering datang bersama Anton untuk mendiskusikan kasusku. Satu hal yang membuatku sedikit bersemangat.

Entah hari keberapa tepatnya. Ada kunjungan datang, dan aku sangat tidak siap untuk kunjungan itu. Awalnya kupikir itu Anton, seperti hari-hari biasanya. Namun hari itu berbeda, saat aku memasuki ruang kunjungan, yang aku lihat…. Karen…

Aku hanya bisa mematung. Aku tidak siap, apa yang harus aku katakan ? 

“Hei….. maaf, aku baru bisa datang sekarang beb” dia membuka kata-kata.

Saat itu juga seakan aku hancur, ingin menangis rasanya, tapi aku tahan, aku harus terlihat kuat saat ini.

“Ya, ga apa-apa…” jawabku seraya akhirnya duduk di hadapannya.

“Bukan ingin aku datang temuin kamu setelah sekian lama, tapi aku baru bisa datang sekarang.” ujarnya agak bergetar.

“Tapi aku nyelesaiin semua urusan dulu, papa meninggal pasca operasi. Keadaannya tak kunjung membaik dan meninggal.” Ujar Karen.

“Jadi maaf aku baru bisa datang sekarang” sambungnya.

Aku tercekat….

“Karen…. Maaf, aku sedih mendengarnya……” ujarku lirih dan agak terbata-bata karena syok mendengarnya.

“Ga apa-apa, aku, mama sama Arin sudah ikhlas, mungkin ini yang terbaik buat papa. Papa udah tenang sekarang di sana.” Kata Karen.

Lihat selengkapnya