Masih terpaku aku di sudut kamar selku yang pengap. Suara berisik dari sesama penghuni sel ini tidak mempengaruhi lamunanku. Aku, masih dengan tatapan nanarku dan pikiran kosongku seakan menciptakan duniaku sendiri yang sunyi dan hitam.
Beberapa hari sudah vonis itu turun, semua itu masih terasa tidak nyata bagiku. Masih terbayang raut wajah penuh kekecewaan dari mereka yang sudah berjuang demi aku, ya, Karen dan Anton…
Semakin kuingat kembali, semakin besar rasa bersalahku pada mereka, semakin dalam rasa sesalku akan kebodohanku ini dan membuatku kembali menyalahkan diriku sendiri. Semua ini aku ingin cepat berlalu, tetapi waktu yang kurasakan sangat lambat berjalan.
Lima tahun…
Selama itu aku akan menghabiskan waktuku di dinding sel berlumut ini, dengan para tahanan yang ada di sekelilingku ini, dengan denting piring cadong yang disuguhkan tiap hari. Membayangkanya saja sudah membuatku merasa kebebasan adalah hal yang sangat jauh, sangat berharga. Di saat seperti inilah aku merasa harga mahal sebuah hirup nafas kebebasan, betapa berharganya satu langkah kecil di luar sana, dan aku merasa menyesal kurang mensyukuri saat-saat dulu. Saat di mana aku bisa berada di sekitar orang-orang yang aku cintai.
Matahari terasa semakin tinggi, waktu kunjungan mulai tiba. Waktu yang dulu sangat aku tunggu-tunggu. Dulu…
Kini, aku seakan malas jika waktu kunjungan datang. Seperti saat awal-awal masuk tahanan dulu, aku tidak tahu bagaimana harus berekspresi apabila mereka mengunjungiku. Rasa bersalahku membuatku merasa tidak tega menemui mereka, terutama tentu saja Karen.
Masih terbayang mereka berusaha menyemangatiku setelah vonis hakim. Namun, ekspresi wajah tak bisa berbohong, mereka kecewa, sedih, dan aku tau pasti itu.
Langkahku terasa berat menuju ruang kunjungan. Aku tidak tau siapa yang mengunjungiku hari ini. Anton ? Karen ? atau pak Reno, kuasa hukumku ? aku lebih berharap bertemu dengan kuasa hukumku dan berdiskusi mengenai kemungkinan melakukan peninjauan kembali atas vonis hakim padaku. Namun aku agak pesimistis itu terjadi, karena kuasa hukumku sepertinya menyarankanku untuk menerima putusan hakim karena ada kemungkinan setelah mengajukan peninjauan kembali malah akan membuat hukumanku semakin berat, ini seperti semacam menarik lotere, bisa saja masa hukumanmu berkurang, atau malah bertambah.
Memasuki ruangan kunjungan, kudongakan wajahku. Kulihat Anton ada di sana, sendiri, tanpa kuasa hukumku, tanpa Karen.
“Sehat bang ? ko muka kaya belum tidur sama sekali ? merah banget itu mata” sapa Anton.
Aku tahu dia mencoba memecah suasana suram yang terlihat dari aura wajahku.
“Lumayan sehat kok, cuman emang agak susah tidur, kamarnya makin sumpek nambah orang” jawabku mencoba santai.
“Ini bang, aku bawain rendang, dimakan ya, buat tambah gizi. Hehe…” Anton menyodorkan beberapa tumpuk Tupperware berisi makanan.
“Wah.. makasih ya” jawabku singkat.
“Bang…. “ Anton mencoba membuka pembicaraan yang sepertinya akan serius.
“Aku udah diskusi panjang lebar sama Pak Reno masalah pengajuan PK. Saran dari pak Reno sih lebih baik cukup sampai sini bang.” ujar Anton terasa berat.
“Liat dari keputusan hakim, pembacaan fakta-fakta dan tuntutan dari JPU, kalo kita ajuin PK takutnya kita kalah bang dan hukuman abang tambah lama.” tambahnya
“Lima tahun emang cukup lama sih bang, tapi ga selama itu. Anak SD aja lima tahun belum lulus kok bang. Hehe…” Anton mencoba menghibur dengan jokes garingnya.
“Kita akan selalu tunggu abang keluar. Kita akan selalu kunjungin abang, bawain apa yang abang mau, buku, makanan, kalo boleh PS juga bisa aku bawain” tambahnya masih berusaha menghibur.
“Gitu ya keputusannya…. Apa ga bisa dipikirkan lagi ? ditimbang lagi ?” tanyaku
“Dari Pak Reno sih pertimbangannya seperti itu bang. Tapi semuanya kembali ke kita, kalau kita tetep pingin PK ya kita maju, tapi balik lagi, kita harus siap terima segala resikonya bang, soalnya tuntutan JPU 12 tahun bang, takutnya vonis malah akan naik nanti.” Jawab Anton.
“Haaaahhhhhh….” Aku menghela nafas panjang.
“Masuk akal juga pertimbangan pak Reno. Tapi…… lima tahun…..” gumamku
“Kita coba pertimbangin dulu Ton, nanti kamu tolong diskusiin lagi sama pak Reno ya. Buat sekarang, kasih waktu aku buat pikir-pikir dulu” kataku
“Oke bang. Hari Kamis aku ada janji ketemu pak Reno lagi. Sebelum Kamis aku bakal mampir ke sini lagi” kata Anton
“Terus Ton, Karen gimana ?” tanyaku
Karen, yang terpikirkan hanya dia jika aku memutuskan menerima lima tahun masa tahanan ini. Aku merasa tidak tega jika dia harus menungguku selama itu, bahkan terpikirkan satu pertanyaan besar di hatiku, apa dia mau menungguku ?
“Karen baik bang. cuma hari ini dia ga bisa ikut soalnya ada interview kerja. Dia lagi ngelamar kerja bang. Semoga panggilan hari ini bisa diterima” jawab Anton
Sedikit lega aku mendengarnya, jadi dia tidak ikut datang bukan karena tidak mau menemuiku. Namun, kelegaan itu membawa beban yang lebih berat lagi, perasaan bersalah semakin besar di hatiku. Karen, dia pontang panting mencari pekerjaan sementara aku masih terpuruk di sudut sel berlumut ini, tak bisa melakukan apa-apa.
Apakah aku rela membiarkan dia menghadapi kerasnya kehidupan diluar sana sendiri ? Bahkan aku yang seharusnya mensupportnya malah menjadi pihak yang disupport. Apa aku tega ? Dengan masa depanku yang tidak pasti, walaupun setelah lima tahun bebas, statusku sudah tercoreng dengan gelar mantan napi di belakang namaku, menggantikan gelar sarjanaku yang seharusnya sudah kuraih dalam waktu dekat ini.
Pertanyaan-pertanyaan itu keluar satu persatu memenuhi kepalaku dan membuat sesak hati ini. Tenggorokan serasa tercekat dan perut mual memikirkan hal ini. Obrolan dengan Anton sepanjang masa kunjungan hari ini terasa hambar, teralihkan oleh pikiranku, oleh pertanyaan-pertanyaan yang aku merasa takut untuk mencari jawabanya.
Malam itu aku kembali tidak bisa tidur. Memikirkan segala kemungkinan yang terjadi dari segala pertanyaan yang berkecamuk di hatiku. Perasaan bersalah merayap di seluruh tubuhku hingga membuat mataku susah terpejam.
Entah berapa lama hingga aku bisa jatuh tertidur juga. Tidak lama kurasa aku memejamkan mata hingga mentari kembali menampakkan dirinya di ufuk timur Bumi ini. Sinarnya perlahan menembus tembok luar penjara dan merayap menerangi sel yang sempit ini.
Wangi tanah yang basah karena hujan yang sempat turun semalam perlahan tercium seraya disinari oleh cahaya sang fajar. Sungguh pagi yang indah, untuk kalian yang ada di luar sana. Bersyukurlah walau selelah apapun kalian di luar sana, karena kebebasan adalah harga yang sangat mahal apabila hal itu terenggut dari kalian.
Hari itu, kembali aku mendapatkan kunjungan. Anton, pikirku. Akupun sudah siap memberi jawaban yang akan aku berikan ke Pak Reno.
Ya, aku sudah memutuskan akan mengikuti nasihat dari kuasa hukumku itu. Sudah cukup aku bertaruh. Sudah cukup aku berharap. Sudah cukup aku melihat wajah kecewa mereka mendengar hasil keputusan hakim.
Aku tak mau wajah itu kembali tergambar di mataku, untuk kedua kalinya, yang bahkan akan lebih dalam lagi kekecewaanya apabila keputusan hakim atas hukumanku bertambah lebih berat lagi.
Sudah cukup….
Kumasuki lagi ruang kunjungan itu, dan…..
Kulihat dia, ya, bukan Anton yang ada di sana, itu… Karen….
Terduduk dia di sana, matanya menatap ke bungkusan yang dia bawa, mungkin itu makanan, atau apa, entah aku tidak tahu. Sejenak kemudian dia mendongak dan menatapku, senyumnyapun mengembang saat matanya menemui mataku.
“Hei beb… sehat kamu ? kok keliatan kusut ?” tanya Karen
“Ah … ya aku sehat kok. Aku pikir Anton yang datang, ternyata kamu.” jawabku.
“Jadi ga seneng nih aku tengokin ?? aku pulang nih.” balasnya.
“Bukan gitu, ya aku jelas senenglah kamu yang datang. Aku pikir kamu masih ada interview kaya kemarin.” kataku
“Ooh itu… udah selesai kok kemarin. Tinggal tunggu pengumumannya minggu depan. Kayanya sih responnya bagus. Hehe… doain yah.” katanya sambil tersenyum.
“Pasti, semoga ada kabar baik minggu depan. Emang kamu daftar di mana ?” tanyaku
“Ada, di perusahaan E-commerce gitu, aku ngelamar jadi marketingnya. Perusahaanya udah punya nama sih, makanya kemarin yang ngelamar juga banyak, sempet agak pesimis sih soalnya banyak saingan, tapi liat respon dari yang wawancara kemarin sekarang aku lebih optimis. Hehe… semoga dapet deh di sini” kata Karen cukup bersemangat menceritakan .
Melihatnya bersemangat membuatku bahagia, dan sekejap melupakan semua beban pikiranku, termasuk beban pikiranku tentangnya.
“Udah sarapan belum beb ? aku bawain ayam asam manis nih, aku masak sendiri lho” tawar Karen
“Waah dengan senang hati, aku makan sekarang deh.” jawabku
“Boleehhh… habisin yaa.” ujar Karen riang
Akupun tenggelam dalam obrolan dengannya hingga waktu kunjungan habis. Entah berapa lama, namun terlalu cepat rasanya hingga waktu kunjungan usai.
“Minggu depan aku datang lagi ya, bakal aku bawain kabar gembira hehe….” Ujarnya
“Oke, aku tunggu ya. Hati-hati pulangnya, salam buat mama sama Arin.” balasku.
Diapun berjalan dan menghilang di balik pintu ruang kunjungan. Sejenak, momen itu seperti menghapus semua bebanku, hingga pikiran-pikiran itu muncul lagi hanya sekejap setelah aku meninggalkan ruang kunjungan. Entah bagaimana aku harus menjawabnya.
Waktu seminggu berlalu. Waktu berdiskusi dengan Anton dan pak Reno sudah kulalui. Walau dengan sangat berat hati, aku menuruti apa saran dari kuasa hukumku, aku tau dia lebih paham situasinya.
Lima tahun….