Tok… tok…. tok…..
Aku perlahan membuka mata, mengedip-kedipkan mataku. Pandanganku masih terasa buram, sedikit pusing aku rasakan. Perlahan aku menyadari suara ketukan pintu kamar yang membangunkanku dari tidurku.
“Bang … gue berangkat kerja dulu ya ! Kalo mau makan masak indomi sendiri ya, kesiangan bangun gue… bye !” seru Anton dari balik pintu kamarku.
“Oh….” Gumamku
Tak ada jawaban dariku, hanya ucapan lirih yang menyadarkanku jika aku sudah kembali tidur di kamarku.
“Iya ya, aku udah ga dalem sel lagi” gumamku lagi sembari memastikan aku benar-benar sudah berada di rumah.
Sejenak ini semua masih belum terasa nyata. Malam kemarin aku masih tidur dalam sesaknya kamar tahanan yang menemaniku selama hampir lima tahun. Kini, tak ada lagi suara gaduh saat aku terbangun di pagi hari. Tak ada lagi teriakan buka keong dari para sipir penjara dan segala kebisingan hiruk pikuk lain di penjara. Yang ada hanya suara televisi yang dari semalam sengaja tidak aku matikan. Tenang.
Kurebahkan lagi badanku sejenak, hanya untuk kembali merasakan empuknya kasur kamarku. Ya, bukan kasur keras dan sempit karena berdesak-desakan dengan tahanan lainnya dalam sel yang berisi 12 orang tahanan itu.
Entah jam berapa aku jatuh tertidur, aku tidak tahu. Yang aku ingat siang hari kemarin setelah menutup laptop aku keluar kamar dan menghabiskan waktu sekedar ngobrol dengan Anton dan Intan, mereka merayakan kebebasanku, walaupun seadanya, itu sudah sangat menghiburku dan membuatku terharu.
Kuambil hp yang ada di sampingku. Mati.
“Oh iya, sama sekali belum aku cas dari kemarin siang.” gumamku sambal berdiri mencari charger.
Ku charge hp itu sembari aku membuka jendela kamarku. Sejenak aku mengintip keluar, melihat hiruk pikuk keadaan pagi hari di sekitar rumahku yang sudah sangat lama tidak aku lihat. Aku tersenyum, masih tidak percaya akhirnya bisa merasakan kebebasan ini setelah sekian lama.
Kuturuni tangga rumahku, menuju dapur untuk sekedar menyeduh secangkir kopi. Sekilas kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 08.23 pagi.
“Pantas saja Anton buru-buru, pasti terlambat dia.” Gumamku.
Di dapur terlihat masih ada beberapa potong pizza sisa semalam. Aku bergegas mengambil gelas dan menyeduh satu bungkus kopi.
Kunikmati sesapan kopi di tanganku sambil membayangkan keadaan pagi di penjara yang pada jam seperti ini sudah mulai mengantri untuk mengambil makan cadong.
“Haha…. Bye nasi cadong yang keras.” gumamku lagi
Kuhabiskan secuil pagi hari itu dengan memasak indomi dan menghabiskan kopiku. Ditemani suara anchor berita di tv yang sebenarnya tidak terlalu aku perhatikan.
Selesai makan aku kembali ke kamar. Ku ambil gitarku dan mulai memainkan melodi asal. Sembari jariku memainkan senar gitar, pikiranku mulai menerawang jauh tentang apa yang akan aku lakukan selanjutnya.
“Terus aku harus ngapain ini ?” sebuah pertanyaan dalam gumamku terlontar.
Aku sendiri bingung mau memulai langkahku dari mana.
Mau kerja ? ngelamar ke mana ?
Minta tolong teman ? Teman cuma ada berapa, itu juga kebanyakan teman-teman komunitas musik, kalo teman kuliah, atau sekolah apalagi, sudah ga tau kemana, ga pernah ada kontak semenjak di penjara.
Mau kuliah lagi ? biaya dari mana ?
Atau mau pergi main aja tanpa mikirin semuanya ? malah makin jadi sampah masyarakat jadinya.
Sejenak kupandangi gitarku…
“Apa ngamen beneran aja ya ? Cuma ini yang aku punya” pikirku
“Ah… jangan pesimis ! opsi terakhir aja itu” bantah pikiranku lagi.
“Mending sekarang jangan buang-buang waktu, cari kerjaan serabutan kek, part time kek, supir kek, yang cuma butuh ijazah SMA, Pasti ada !” pikirku..
Akupun mulai bersemangat, kubuka laptopku dan berselancar di dunia maya, mencari-cari lowongan pekerjaan yang ada. Aku tak mau membuang-buang waktu lagi, sudah terlalu lama aku buang waktuku di dalam sel penjara, aku tak ingin ada waktu yang terbuang percuma lagi.
Bergegas aku membongkar berkas-berkas lama di kamarku, mencari ijazah dan apapun yang diperlukan. Fotocopy, scan berkas, bahkan hari ini aku menyempatkan diri ke barbershop, merapikan penampilan hanya untuk mengambil pas foto yang bagus.
Hari ini benar-benar aku habiskan untuk mencoba memperbaiki masa depanku. Satu, dua, tiga, entah berapa banyak lamaran online aku aplly. Aku tak perduli meskipun itu sekedar menjadi waitress di café, OB di kantor, atau supir, selama pekerjaan itu hanya membutuhkan ijazah SMA, aku apply semua. Ini satu langkah kecil untuk kembali menjadi seseorang yang normal, seseorang yang bermartabat, meskipun hanya pekerjaan dengan gaji kecil, paling tidak ini adalah awal langkah untuk menata kehidupanku lagi. Ya, karena kehidupanku benar-benar bisa dibilang mulai dari nol lagi, tak ada gunanya aku menuntut lebih, melangkah dari langkah paling kecil, dari merangkak, berjalan, dan kemudian berusaha untuk berlari.
Tak terasa malam kembali menjelang. Lelah hari ini terbayar dengan rasa puas, meskipun aku tak tahu apakah akan ada salah satu dari lamaranku ini yang akan tembus dan menjadi tempatku mencari rupiah. Usaha sudah mulai dilakukan, tinggal ditambah dengan doa, tidak ada yang tidak mungkin. Optimis !
Kubaringkan tubuhku yang seharian ini cukup banyak beraktifitas. Sejenak aku buka hpku, mnegecek Whatsapp. Sebagian teman-temanku sudah aku kontak sejak tadi malam, sekedar memberi kabar dan memberi tahu nomor baruku.
Ada beberapa pesan masuk yang baru sempat aku baca. Aku mulai balas satu persatu sembari bersantai di atas kasur.
Entah berapa lama aku sibuk dengan layar hpku hingga aku tertidur dan terjaga keesokan harinya.
Aku melihat jam di dinding, jam enam pagi lebih sedikit. Aku terduduk di tempat tidurku, sejenak aku membiasakan mataku dan beranjak mengecek email.
Belum ada satupun email masuk. Ya tidak mungkin juga sih lamaran kemarin langsung mendapat jawaban secepat ini, pikirku. Pasti butuh dua-tiga hari sampai ada salah satu yang menjawab, aku terlalu bersemangat.
“Kalem, tunggu dulu Brian” ujarku menenangkan diri
Kusandarkan badanku ke ujung kasur, mengambil gitarku. Kumainkan beberapa melodi di pagi ini. Di luar tampak hujan gerimis, membuatku semakin tenggelam dalam permainan gitarku. Kupejamkan mataku dan kemudian aku terdiam, kuhentikan permainan gitarku.
Suara gemericik air gerimis samar-samar terdengar di dalam kamarku. Aku berjalan menuju jendela dan membukanya sedikit. Tiupan angin perlahan masuk membelai gorden jendela dan menyapa tubuhku.
Aku terdiam sesaat. Entah pengaruh cuaca yang gerimis atau permainan gitar tadi atau apa, yang jelas aku seperti terbawa suasana. Sejenak aku seperti teringat dan terbawa ke masa lalu….
Teringat padanya…..
“Karen…. Gimana kabarmu ?” tanyaku lirih
Kata orang, hujan seringkali membawa sejuta kerinduan. Mungkin itu benar. Meski aku mencoba acuh tak acuh, meski aku mencoba melupakannya, tapi ingatan tentang dia masih tertempel di salah satu sudut kecil hati ini, yang mungkin hujan ini telah membuatnya merembes dan memenuhi ingatanku lagi.
Ku raih hpku, sejenak aku buka daftar kontakku. Masih ada nomornya di sana. Sempat terbesit pikiran untuk mencoba menyapanya, namun langsung aku coba menepisnya.
“Ngapain juga hubungin dia, malah bakal nambah masalah baru. Lagian kata Anton nomor yang ini sudah ga aktif lagi” lirihku.
Tapi, rasa penasaran masih memenuhi pikiranku. Ya, mungkin gara-gara terbawa suasana pagi ini.
Mungkin…
Namun harus aku akui juga, kemarin, setelah sekian lama aku memimpikannya kembali. Ya, setelah sekian lama Karen datang lagi ke mimpiku. Meskipun aku menganggapnya sebagai angin lalu, namun entah kenapa pagi ini hal itu membuatku semakin terbawa suasana.
Sempat terpikir untuk mencoba menanyakan kabarnya lewat Arin, adik Karen, namun aku urungkan karena aku tidak yakin dia akan senang mendapat sapaan dariku yang telah melukai kakaknya.
“Hmmm… apa aku coba tanya anak-anak aja ya ?” gumamku
Sebuah gumaman yang kemudian aku laksanakan. Aku mencoba menghubungi Nilo, teman satu komunitas kami dulu. Sebenarnya kemarin aku juga sudah chatingan dengan Nilo, tapi dia sama sekali ga ada bahasan tentang Karen.
“Hoy… bro”
“Lagi sibuk ga nih ?”
Aku membuka percakapan
Tak lama balasanpun datang.
“Kaga bro”
“Baru bangun gue malah”
“Bangun-bangun liat luar ujan”
“jadi mager ngapa-ngapain”