Aku berjalan dengan langkah gontaiku. Air mataku telah mengering. Masih tak bisa aku percaya apa yang barusan terjadi. Yang terasa hanya kesedihan, dan keperihan yang mencabik-cabik dada ini.
Sampai di tempatku memarkir motor, suara yang familiar menyapaku dari kejauhan.
“Kak Brian… Kamu beneran kesini ya ternyata.” Kata suara itu.
Aku menoleh dan melihat mobil terparkir tidak jauh dari motorku. Di sampingnya keluar sesosok wanita yang tadi memanggilku. Cahaya dari lampu di tempat parkir motor menerangi wajahnya, dan kulihat wajah yang aku kenal itu. Arin.
“Arin ?” Tanyaku.
Sempat ingin aku ceritakan apa yang baru saja terjadi, tapi aku urungkan dan aku menggantinya dengan sebuah pertanyaan.
“Karen…. Di mana ?” tanyaku.
“Kak… aku bakal ceritain semua… tapi ga di sini ya. ikutin mobilku ya.” Ajaknya.
Aku mengganguk.
Kami beranjak dari wilayah pantai itu. Motorku mengikuti mobil Arin yang melaju dengan kecepatan sedang. Perlahan gemerlap lampu kota mulai menerangi jalanku, menggantikan pepohonan yang mengitari kami sepanjang perjalanan meninggalkan wilayah pantai.
Mobil Arin berhenti di sebuah café. Kami memarkir kendaraan kami dan masuk ke café itu.
“Duduk dulu kak. Mau pesan makan ?” tanyanya.
“Engga Rin.”jawabku.
“Mau minum apa ?” tanyanya lagi.
“Apa aja boleh” jawabku lagi.
Arin memesan dua buah jus jeruk kepada waitress, dan kemudian memalingkan pandangannya ke wajahku.
“Kak Bri.. aku mau ceritain semuanya. Tapi kakak harus siap ya.” Ujarnya.
“Iya…. Aku siap… aku ingin tahu Karen gimana…” jawabku.
“Awalnya aku minta maaf ga balas WA kakak. Aku bukanya benci kakak, tapi ada sesuatu yang sebenarnya belum bisa aku sampaikan.” Dia membuka cerita.
“Aku yang harusnya minta maaf sama keluarga kalian Rin, terutama sama Karen.” Kataku.
“Kak…. Aku tau kakak masuk penjara karena kakak mau bantu kita… aku tau banget kebaikan kakak. Tapi jujur kak, aku juga ga bisa terima sama sikap kakak yang acuhin Kak Karen. Aku benci sama sikap kakak waktu itu, benci banget, apalagi liat pengorbanan Kak Karen, dan gimana hancurnya Kak Karen setelah kejadian waktu itu.” Ekspresi Arin mulai berubah, Nampak ada kekesalan di wajahnya.
“Maaf…. Waktu itu… aku ga punya pilihan” kataku.
Arin menghela nafas panjang, kebiasaannya ini sangat mirip dengan Karen. Lalu mulai lanjut bercerita.
“Sejak waktu itu, Kak Karen suka merenung sendiri, apalagi dia cerita kalo kamu ga pernah mau nemuin lagi tiap kali Kak Karen datang ke Lapas. Aku masih inget banget gimana dia hancur waktu itu.” Ujarnya.
“Setelah itu, dia nyerah, udah ga mau datang lagi ke Lapas. Hampir setahun lamanya, akhirnya Kak Karen pacaran lagi. Nama pacarnya Doni, dia teman satu kantor Kak Karen. Aku senang sekali waktu itu, aku merasa akhirnya dia bisa move on lagi.” Lanjutnya.
“Tapi ternyata aku salah…. Dia cuma pacaran sama Doni ga lama.cuma sekitar tiga bulan dan dia putus lagi. Sempat aku tanya kenapa, tapi dia cuma bilang udah ga cocok aja. Akupun tanya sama Doni, kenapa dia putus, tapi diapun tidak tahu kenapa tiba-tiba Kak Karen mutusin dia, padahal mereka jarang sekali ribut.” Ujarnya.
“Sejak itu Kak Karen seperti tenggelam dengan pekerjaanya. Dia sering pulang lembur. Saat aku atau mama nasehatin untuk tidak terlalu memaksakan diri, dia selalu hanya tersenyum dan bilang, aku gapapa kok. Sampai…..” Arin berhenti sejenak.
“Hari itu, aku inget banget, dia pulang kerja setelah Isya. Sampai rumah dia pingsan…. Malam itu juga kami bawa dia ke rumah sakit, namun hanya dirawat semalam, lalu dia minta pulang. Sejak saat itu dia drop…. Hingga beberapa hari kemudian masuk Rumah Sakit lagi karena dia menderita sesak nafas parah” ujar Arin dengan mata mulai berkaca-kaca.
“Karen sakit apa Rin ??” Tanyaku gundah.
“Aku pernah baca di website, jika ada anggota keluarga inti kita terkena kanker, resiko kita terkena kanker menjadi lebih besar…. Dan itu yang terjadi pada Kak Karen.” Ratap Arin.
“Karen, kena kanker ??” tanyaku syok.
“Iya, dan ketahuannya udah stadium 3, kanker ganas, paru-parunya kena, persis Papa… padahal dia sama sekali ga ngerokok.” Ujarnya.
“Dan kamu tau ? selama dia sakit, yang dia bicarakan selalu kamu Kak Bri…. Setiap hari dia cuma ceritain kamu. Dia juga bilang berkali-kali pingin ketemu sama kamu, tapi ga bisa. Akhirnya, selama di rumah sakit dia mulai menulis surat, buat kamu.” Ujar Arin, nada suaranya mulai bergetar.
“Tapi…. Tapi…. Aku ga pernah terima surat sama sekali ?!” tanyaku heran.
“Ya, aku tau.. maaf, tapi surat-surat dari Kak Karen ga pernah aku ke kirim ke kamu Kak. Aku saat itu sudah dendam sekali sama kamu, aku menganggap Kak Karen sakit karena dia terlalu mikirin kamu, sampai-sampai dia drop kaya gitu.” Ujarnya mengaku.
“ Hah…..” jawabku.singkat.