Aku berani menikahimu bukan karena rencana yang matang. Melainkan aku maju untuk meminangmu karena kuyakin Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk kita.
Sebelum kalian tahu bagaimana kisah hidupku dengannya kini, alangkah lebih baiknya aku menceritakan siapa dia sebenarnya. Perempuan yang kukatakan di awal adalah istriku.
Dia, Kinan. Perempuan yang terkadang bisa menjadi adikku, bisa juga seperti sahabat, teman, atau lebih sering terlihat seperti musuh. Aku mengenalnya sudah cukup lama. Sekitar 10 tahun yang lalu. Saat tanpa sengaja kedua orang tua kami bertemu dalam suatu acara pesta.
Yang kuingat di sana Kinan perempuan cengeng dan aneh. Dia yang membuat keributan dalam pesta tersebut, tetapi dia juga yang menangis karena ditatap oleh semua tamu yang datang.
Mungkin hanya itu kisah awal ketika pertama kali aku mulai mengenalnya. Sebelum akhirnya dia kunikahi dua minggu lalu. Tepat tanggal 28 Oktober 2016.
Tak pernah terbesit sedikitpun akan menikahinya. Menikahi perempuan yang usianya berbeda 10 tahun dariku. Menikahi perempuan yang bahkan masih seorang murid di kelas terakhir, sekolah menengah atas.
Anggap saja aku gila. Tapi gila otakku ini semata-mata tidak ingin merusaknya dengan sebuah hubungan yang tidak pernah direstui Allah.
Bukan. Bukan aku sok alim. Atau bahkan bukan karena aku ingin sok-sok mendidiknya dengan baik. Karena memang aku bukanlah seorang ustad. Bukan pula penegak agama yang baik. Aku hanya laki-laki, berusia 28 tahun yang sedang dimasa-masa butuh seorang pendamping hidup. Yang serius tanpa main-main. Untuk itu mungkin aku berani mengambil tindakan menikahi Kinan. Yang sejatinya sudah kukenal cukup baik sejak kecil.
Kuyakin bagi sebagian orang menikah tanpa cinta adalah hal mustahil, membangun biduk rumah tangga tanpa bermodal cinta pasti akan karam tanpa bisa dielakkan. Namun bagiku inilah jalan yang terbaik. Menghalalkannya dengan ijab qobul. Agar aku selalu bisa melindungi dia, perempuan yang diciptakan begitu sempurna oleh Allah.