Akhir-akhir ini, Chalissa tampak selalu memikiran Adriano. Entah apa yang terjadi pada dirinya, ia binggung sendiri dengan pikirannya. Ia selalu berusaha mengusir bayang-bayang Adriano tetapi entah kenapa dia selalu muncul kembali.
Tentu saja hal terus itu menganggunya, Chalissa yang selama ini hanya menganggapnya sahabat tidak lebih dari itu. Tapi kepala terus menerus tidak berhenti memikirkan dia. Tidak mau berkompromi dengan logika. Memaksa terus menerus memunculkan bayanganya.
Saat bersekolah, tanpa ba-bi-bu dirinya membuka pintu. Tidak menolehnya Adriano sama sekali. Adriano tampak binggung dengan perubahan sikap Chalissa. Tetapi berbeda dengan dirinya, Chalissa sangat berdebar saat melihat tampangnya. Ia binggung harus bereaksi seperti apa, sedangkan yang membuat ia berdebar seperti tidak ada apa-apa.
“lissa, ada apa denganmu?” tanya Adriano yang tampak binggung.
“tidak apa-apa Adriano” jawab Chalissa sembari menuduk kepala.
Kemudian dia memegang bagian dahi kepalanya, tampak Chalissa serasa menyetrum seluruh suhu tubuhnya, suhu hangat dari tangan yang membuat Chalissa tidak mampu bernapas dengan teratur, ia ingin merasakan lebih lama suhu hangat itu. “apa kamu sakit?” tanya Adriano tampak khawatir.
Chalissa berani memegang tangannya, “Adriano aku tidak apa-apa, aku sehat kok” jawabnya sambil berusaha melihat matanya tapi dirinya tak kuasa dan segera memalingkan wajahnya yang memerah serasa terbakar.
“benaran? Kamu yakin? Tapi wajah mu merah padam lissa? Mau aku antar ke UKS?” tanyanya yang bertubi-tubi tanpa henti.
Bodoh jangan ditanya lagi kenapa batin Chalissa. “aku tidak apa-apa, mungkin cuaca sangat panas harinih” berusaha untuk tertawa padahal hati berdegup kencang serasa mau copot.