Kisah Tanpa Nama

Dinda Tri Puspita Sari
Chapter #1

Satu

Terlahir menjadi seorang anak bukanlah sebuah keinginan atau kuasa manusia itu sendiri. Siapapun itu hanyalah kehendak dari Allah yang Maha Esa kita sebagai makhluk hanya bisa berkeinginan dan mungkin berusaha. Namun bila takdir sudah berkata, bagaimanapun kita harus mengikutinya. Termasuk soal keturunan. Anak adalah anugerah bagi orang tua, bagi keluarga, dan bagi lingkungan disekitarnya. Tidak ada anak yang merugikan, tiada pula anak yang membawa sebuah kesengsaraan di dalam hidup ini. Apa apapun yang terjadi atas kelahiran anak tersebut, itu sudah menjadi kehendak dari Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Perempuan atau laki-laki itu sama saja asalkan mereka dididik dan dibesarkan dengan baik, di tangan yang benar, serta dengan cara yang benar pula, maka keduanya memiliki kelebihan tersendiri. Tidak ada yang namanya anak laki-laki lebih membawa keberuntungan atau anak perempuan hanya bisa tinggal di rumah. Keduanya sudah tentu adalah sebuah Anugerah atau hadiah bagi siapapun orang tuanya.

Anak perempuan identik dekat dengan seorang ayah. Entah mengapa itu terjadi tetapi memang itu adanya diriku. Terlahir sebagai anak perempuan, yang mana aku begitu dekat dengan ayahku. Lain halnya dengan ibuku, aku dan Ayah bukan hanya seperti seorang anak dan orang tua, tapi sudah seperti teman, serta rasanya bagaikan duniaku adalah dunianya dan dunianya adalah duniaku.

Aku terlahir memiliki 1 saudara laki-laki yaitu kakakku usia kami terpaut cukup jauh. Aku lahir ketika ia berulang tahun yang ke-8. Satu hari setelah ia merayakan hari jadinya, maka di waktu itu aku lahir.

Namun ada yang aneh di antara persaudaraan kami. Entah bagaimana rasanya kehadiranku seperti tidak diinginkan oleh kakakku sendiri. Sampai saat ini aku pun tak tahu apa alasannya. Mungkin sebab aku terlahir sebagai anak perempuan, atau mungkin karena aku adalah adik yang tidak diinginkan. Seringkali ia terlihat tidak suka denganku, dengan segala tingkah laku yang kuperbuat, maka dia akan memberikan respon yang kurang baik. Sampai-sampai Ayah selalu mengingatkanku untuk bersabar, mengingatkanku untuk terus berusaha menjadi saudara yang baik baginya. Pernah kupertanyakan, mengapa ia bertingkah seperti itu, apa salahku dan kenapa dia harus membenciku. Bertahun-tahun ini sudah terjadi, namun tetap saja tidak ada yang ingin menjelaskannya kepadaku tentang alasan, mengapa saudaraku bersikap begitu.

Suatu ketika aku pernah bertanya pada Ayah, sebab ayah satu-satunya yang paling dekat dengaku. Maka aku bertanya padanya, tapi apa jawabannya? Ia tidak berkata sedikit pun kecuali Ayah mengingatkanku akan kesabaran, ketabahan, dan usaha agar terus menaruh kepercayaan pada saudaraku itu. Kerap kali antara Aku dan kakakku itu berselisih walau hanya dikarenakan hal sepele, yang mana itu semua berawal dari dirinya. Setiap aku melakukan kesalahan sekecil apapun itu, menjadi terlihat buruk dan besar di matanya. Ketika aku berusaha untuk membuatnya tersenyum, hanya amarah yang keluar dari mulutnya. Saat aku berusaha untuk meyakinkannya agar dia tidak bersedih, justru matanya merah melotot ke arahku.

Pernah suatu hari aku memenangkan sebuah lomba saat aku masih sekolah dasar. Pulang sekolah aku tidak melaporkan kemenanganku tadi pada Ibu atau Ayah lebih dahulu, tapi aku langsung berlari ke kamar kakakku. Sebab aku ingin dia-lah orang pertama yang merasakan kegembiraan atas prestasiku. Maka aku ceritakan semua sambil menjunjung piala dan menyodorkan piagamku padanya. Setelah bercerita panjang lebar tentang kesenanganku mendapatkan juara, namun apa balasannya, justru ia merobek piagam prestasiku. Aku pun langsung keluar kamar tanpa kata-kata apapun, bahkan aku tidak sangup untuk menangis. Bagaimanapun aku sudah merasa terbiasa dengan perlakuannya. Hingga sampai suatu saat aku memeberanikan diri untuk bertanya pada Ibu. Sebenarnya pertanyaan ini bukan pertanyaan yang patut untuk dipertanyakan.

"Bu, aku mau tanya sedikit boleh?"

"Iya tanya apa?"

"Apa Kakak mempunyai gangguan mental? Atau dia sakit? Apa dia punya pengalaman buruk dulunya?"

Setelah itu, Ibu menatapku dengan tajam. Dia berkata pelan namun penuh ketegasan.

"Jangan pernah bertanya seperti itu lagi. Itu tidak pantas kau ucapkan. Kakakmu itu baik-baik saja. Buktinya dia bisa bersekolah dengan baik, dia berkomunikasi dengan Ibu dan Ayah dengan baik. Hanya saja ayahmu dan Ibu sampai sekarang tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruknya itu. Yang mana Ibu juga tidak bisa menjelaskannya kepadamu, mengapa ia berperilaku seperti itu padamu, Nak."

Lihat selengkapnya