Kisah Tanpa Nama

Dinda Tri Puspita Sari
Chapter #2

Dua

Menjadi anak perempuan memang bukanlah sebuah keinginan, tapi ketika anak perempuan dilahirkan maka jelasnya dia ingin diperlakukan seperti seorang putri raja, begitu pun diriku. Beruntung saja ada seseorang lelaki yang saat memperhatikanku dengan baik dan selalu menjagaku di situasi seperti apapun, ialah Ayah. Beliau menjadi temanku dalam bermain, belajar, dan menghabiskan waktu berlibur. Kedekatan di antara kami memang sulit dipisahkan. Ayah adalah cinta pertama bagiku. Secara bagaimanapun tidak ada laki-laki yang sangat kucintai dari kecil kecuali Ayah. Setelah Ayah, laki-laki cintai adalah kakakku, walaupun ia seringkali bersikap keras dan dingin kepadaku, mungkin ada sebab khusus yang membuatnya seperti itu. Namun, berkali-kali juga Ayah menguatkanku untuk selalu bersabar dalam menanggapinya.

Masa kecilku bersama dengan Ayah memang lebih banyak daripada dengan ibuku. Ibu terlihat lebih fokus pada kakak lelakiku. Hampir setiap hari kuhabiskan waktu, selain dengan teman sekitar atau sendirian, maka aku juga menghabiskannya bersama ayahku. Dia selalu menjadi teman yang asyik untuk diajak bermain, sekedar bersenda gurau, atau berbicara serius. Selain itu aku dan Ayah kerapkali berkeliling desa menaiki sepeda atau bahkan hingga berlari-lari di tepi sungai. Bagiku itu adalah hal yang sangat istimewa dan suatu kegiatan untuk menghabiskan waktu yang tidak ada ruginya. Bagaikan meluangkan waktu untuk sebuah hiburan mahal bagiku, ketika bisa tertawa bersama dengan Ayah.

Ayah juga begitu mengenalku sebagai putrinya, begitupun aku begitu mengenal Ayah sebagai ayahku. Ia hampir tidak pernah memarahiku, tapi ia juga tidak akan pernah sudi membelaku jika aku memang bersalah. Bahkan saking besarnya hati Ayah, dirinya tidak pernah memarahi kakakku jika berbuat salah padaku. Ayahku hanya bisa menebar senyum sambil menasihati dengan kata-kata yang bijak dan tegas. Walau pernah suatu ketika, Ayah marah besar hingga ia memarahi aku dan Kakak dengan lantang sampai terdengar keluar rumah. Itu pun karena kami sudah kelewatan, meski sebenarnya kegaduhan di antara kami itu penyebabnya dalah sifat kakak lelakiku yang cukup keras.

Di suatu hari aku pernah jatuh sakit. Penyakitku ini cukup parah, walau hanya sekadar pusing dan muntah-muntah. Hingga tiga hari aku terus berada di dalam kamar tidak bersekolah, tidak bermain diluar, bahkan makan saja harus dibantu. Rasanya sangat tidak mengenakkan setiap kali aku memakan sesuatu atau meminum sesuatu. Makanan dan minuman itu keluar lagi dari mulutku. Tidak adanya selera makan, ditambah dengan diharuskannya aku meminum obat, membuatku sedikit kesal. Apalagi setiap saat Ibu menyodorkanku air minum dan obat yang sangat pahit. Selain itu, setiap saat aku disuruh makan lalu aku disuruh istirahat. Rasanya 3 hari tersebut seperti penjara ada di dalam rumahku. Namun, sebelum memasuki hari keempat aku sakit, Ayah yang melihatku sudah tampak lebih baik dari hari sebelumnya pun mengajakku jalan keluar rumah dengan motor tuanya. Aku dibonceng di belakangnya, tentu saja semua itu dilakukan Ayah tanpa sepengetahuan Ibu, karena jika Ibu tahu, pasti ia akan marah besar dan tidak akan mengizinkan aku keluar di kondisiku yang masih sakit.

Di sore yang sejuk itu, aku cukup merasa kedinginan, yang kemudian Ayah pun melepas jaketnya, lalu ia pakaikan di badanku yang kurus. Kami berdua pun berhenti di suatu warung yang berada di pinggir jalan raya, tepatnya di perbatasan wilayah kota dan desa. Dimana warung tersebut menjual berbagai macam minuman, termasuk es kelapa. Ayah seperti tahu apa yang aku inginkan ia memesan dua minuman kelapa, yang satu tidak pakai es untuk diriku dan satu lagi memakai es, tentunya untuk ayahku sendiri.

Begitu minuman siap aku langsung meneguknya dengan tidak sabar. Rasanya sangat segar saat air kelapa itu meluncur di tenggorokanku, walau sebenarnya di lidah agak sedikit terasa hambar dan asin. Ayah dan aku duduk di luar warung, tepatnya di atas motor, sambil melihat kendaraan yang lalu-lalang di jalan besar. Saking senangnya disertai wajah semringah, aku menggoyangkan kakiku maju dan mundur antara kanan dan kiri saling bergantian. Diriku terlihat lucu saat itu, bagaimana tidak, jaket ukuran besar di badan kurusku, jadi terlihat seperti orang-orangan sawah saja. Ditambah lagi dengan rok berwarna merah jambu sepanjang bawah lutut yang ujungnya terdapat renda putih, serta dengan rambut yang dikuncir dua. Tampilanku berbanding terbalik dengan Ayah. Ayah terlihat gagah dengan gaya berpakaiannya saat itu. Ia mengenakan celana jeans berukuran longgar dengan kemeja lengan pendek bermotif kotak-kotak, dimana tiga kancing dari atas yang terbuka membuat Ayah terlihat lebih muda dari usianya.

Ketika hari sudah mulai gelap, Ayah mengajakku pulang ke rumah. Hari ini aku merasa senang, sebab sepertinya penyakit yang ada di dalam tubuhku perlahan sudah mulai hilang. Badanku sudah merasa lebih baik. Bahkan semenjak minum air kelapa tadi, aku tidak muntah lagi, dan angin Sore membuat kepalaku sedikit ringan tidak pusing seperti sebelumnya.

Namun sesampainya di rumah, benar saja dugaanku, kalau Ibu telah menunggu kami. Ia duduk di bangku kecil di depan pintu rumah. Begitu motor Ayah sampai dan berhenti tepat di depan Ibu, maka ibuku langsung berdiri. Wajahnya menampakkan raut tidak suka. Sepertinya Ibu akan marah pada Ayah, disebabkan Ayah membawaku pergi tanpa izinnya, dimana kondisiku masih sakit seperti ini. Lalu aku langsung diperintahkan oleh Ayah untuk masuk ke kamar, yang artinya akan timbul perdebatan kecil antara Ibu dan ayahku. Ternyata benar, saat aku di dalam kamar, terdengar Ibu berkata agak keras pada Ayah.

"Kenapa bawa anakmu jalan-jalan? 'Kan dia masih sakit."

"Mungkin dia tidak sembuh-sembuh karena dia bosan di rumah, lagipula dia tidak aku berikan dia makan atau minum yang aneh-aneh."

"Sudah cukup, lain kali jangan pernah bawa putri kita itu bermain jauh-jauh. Khawatir dia keterusan nantinya, ayahnya-lah yang akan menanggung akibatnya. Dan coba kau perhatikan sedikit, kenapa anak itu bisa sakit seperti itu, lama pula sembuhnya. Mungkin dia sakit hati dengan perbuatan kakaknya yang begitu keras."

Ayah sepertinya hanya diam saja, ia hanya memasukan omongan Ibu dari telinga kanan lalu ia keluarkan melalui telinga kirinya. Entah mengapa aku sering mendengar ibuku berkata seperti itu pada Ayah. Mengangkat pembahasan soal diriku nantinya. Ibu menghawatirkan sebuah akibat yang sampai saat ini aku tidak mengerti apa maksudnya yang akan terjadi nanti itu. Ibu khawatir kalau sampai aku sering bermain ke kota akan berdampak bahaya bagiku, tapi mengapa Ayah sendiri tidak pernah melarangnya. Lagipula dalam hal ini Ayah tidak bersalah, ia hanya membawaku berkeliling desa, lalu ke perbatasan kota. Aku sendiri tidak mengerti mengapa Ibu terlalu khawatir akan sikap kakakku padaku saat ini.

Lihat selengkapnya