Tak ada yang menjelaskan padaku bagaimana rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan aku tak langsung menyadarinya saat pertama kali kulihat dirimu di persimpangan jalan. Angin yang sedari tadi ribut tiba-tiba berubah tenang, suara klakson yang riuh tiba-tiba tak terlalu terdengar. Lalu waktu seakan berhenti.
Kau berdiri disana seperti Oase di tengah panasnya hari yang berasapkan polusi jalanan. Kau menggandeng beberapa anak jalanan dan memberinya makan. Sesuatu yang sulit aku pahami apalagi aku lakukan.
Dari banyak hal yang bisa kuperhatikan, aku justru terfokus pada rambutmu yang ikal tergerai tertiup angin dan terkadang menutupi sebelah matamu yang tak terlalu besar, bibirmu yang merah terlihat dari kejauhan tempat aku mengintipmu dari sebuah mobil dengan kaca sedikit terbuka.
“TIIIINNNN…..! Maju!” Teriakan orang-orang mengejutkanku. Kulihat lampu hijau telah menyala, dan dengan bergegas aku menancap gas meninggalkanmu disana. Aku mengingat, itu adalah pertama kali aku kehilanganmu.
Seringkali dalam benakku baik disengaja ataupun tidak, aku mengulang- ulang adegan yang kulihat darimu berkali-kali. Rasa penasaranku semakin membesar, namun aku tak tahu harus mencari kemana. Ketika aku putuskan untuk kembali ke persimpangan yang sama. Aku tak menemukanmu.
Aku berhenti mencari. Aku bahkan memiliki kekasih baru. Otak dan jiwa mudaku dengan mudah mencari pelarian yang lain. Usiaku baru 17 tahun dan aku ada di akhir masa SMA ku. Aku tidak menampik, aku menggunakan uangku untuk menyenangkan semua orang. Aku tidak tahu benar dan salah. Aku merasa senang, otakku hanya cukup sejauh itu kala itu.
***
Malam ini Aku menyewa sebuah cottage diatas bukit untuk pesta kecil-kecilan meski tak ada yang harus dirayakan. Aku mengundang teman-teman terdekatku untuk membakar daging atau jagung atau apapun yang bisa dibakar dan dimakan. Kekasihku juga berjanji datang, dia bilang akan membawa teman untuk menemani perjalannya kesini.
Di sudut itu, waktu kembali terhenti. Dua orang perempuan berjalan kearahku. Saat tak sengaja menatap sosokmu jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Aku tertegun, Rambut tergerai dan bibir merahmu masih sama seperti ketika aku melihatmu pertama kali.
“Zary Sayang. Kenalkan ini sahabatku Reina.” Yulan, kekasihku menggandengmu kehadapanku. Aku terdiam menatapmu tanpa berkedip, kau mengulurkan tanganmu. “Reina.” Suaramu terdengar menenangkan. Aku masih terdiam, meresapi namamu yang seperti keteduhan hujan, atau seperti udara dingin yang lewat dihidungku ketika badai. Perlahan kusambut jemarimu. “Zary.” Ucapku.
***
Setelah pesta malam itu aku, Yulan dan kau lebih sering bertemu. Entah sengaja atau tidak. Kita tak selalu sempat berbicara banyak namun setiap kata yang keluar dari bibirmu seperti hipnotis alami untukku. Meski hanya sekedar sapaan atau tentang kabarku sehari-hari.