Jalan Tanpa Tepi

Nurul Fajriani
Chapter #3

Menanyakan Kembali.

Aku sudah boleh pulang kerumah setelah hampir 4 minggu dirawat dirumah sakit. Selama dirumah sakit Mami selalu menjagaku. Kakakku Zayn sesekali datang sambil mengolok-olokku, Papi hanya datang sekali untuk mengomel padaku. Dan kau sama sekali tak datang. Kau bahkan tak bisa kuhubungi. Seakan-akan menghilang.

Hampir semua bagian kiri tubuhku dibalut perban. Sakitnya sudah tak terlalu terasa seperti hari pertama. Namun bukan itu yang membuatku kesal. Yulan berkali-kali datang kerumahku dan selalu berpura-pura baik didepan Mami, Aku benar-benar tak menyukainya.

Mami mungkin saja melihat gelagatku yang tidak suka dengan Yulan, sehingga Mami berusaha menjaga jarak dengan Yulan. Aku bersyukur Mami begitu mengerti bagaimana Anakknya ini

“Zary, apa Zary tidak suka dengan Yulan? Bukannya Yulan perempuan yang Zary tanyakan tempo hari?” Tanya Mami suatu ketika Yulan sudah pulang dari rumahku. Aku terdiam sebentar dan menggeleng.

“Bukan dia Mi. Sama sekali tidak seperti dia.” Jawabku.

“Perempuan seperti apa dia Zar ?” Mami menggodaku dengan ekspresi marah yang dibuat-buat. Aku tersenyum kecil. Seandainya Mami tahu bahwa kecelakaan ini ada sangkut pautnya denganmu, pasti Mami akan benar-benar marah.

Ketika aku sudah bisa berjalan dan meninggalkan tempat tidurku. Ada bekas jahitan sepanjang 15cm dilenganku karena tulang lengan yang patah dan sebagian kulitku robek.

Aku ingin kau melihat ini, namun kau masih tak kunjung bisa kuhubungi. Aku mencarimu, kemanapun biasanya kau ada. Dan kau tak lagi ada disana. aku berputar-putar di komplek rumahmu dan rumahmu begitu sepi dari kehidupan.

Kemudian, sebagai pilihan terkahir aku bertanya pada Yulan.Yulan malah mengamuk padaku. dia bilang tidak peduli dengan dirimu dan tidak pernah akan mengatakan apa-apa tentangmu. Dia menjengkelkan. Aku tak pernah lagi mau bicara padanya. Meski dia datang kerumah, aku menyuruh keamanan untuk mengusirnya.

Saat kelulusanku tiba beruntung aku bisa lulus meski dengan absen yang begitu banyak. Aku memupuk sedikit harapan menunggumu datang dan mengucapkan selamat padaku. namun sampai waktu aku harus mendaftarkan diri untuk kuliah, kau tak juga datang. Aku ingin sekali membencimu.

Aku meminta pada Papi agar aku melanjutkan kuliah di luar negeri. Rasa kesalku padamu membuatku benar-benar ingin menjauh sekalian. Tapi Papiku tak bisa mengusahakan lebih. Aku diminta mempertimbangkan kesehatan dan kemampuan bahasa asingku yang minim.

Setelah pertimbangan panjang aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas pilihan Papi. Uni International Bussines. Sebuah perguruan tinggi elite dan mahal yang berfokus pada jurusan Bisnis, meskipun terdapat jurusan lain.

 Papi memilihkan jurusan yang berhubungan dengan pembangunan bisnis untukku. Aku tidak peduli dengan akademiku. Yang penting Papi senang, aku sudah cukup.

Aku hampir-hampir tidak berminat pada akademikku. Seperti saat SMA aku menghabiskan waktuku dengan bermain dan menghambur-hamburkan uang. Nilai kuliahku tidak pernah baik, aku selalu mengulang. Papi mulai keras padaku dan aku makin sering berselisih dengan Papi.

Aku tidak menyalahkanmu dalam situasiku. Aku sudah begini bahkan sebelum mengenalmu, aku tahu aku akan jadi anak yang seperti ini bahkan jauh sebelum mengenalmu. Saat itu, aku hanya menjadi diri sendiri.

Berbagai usaha untuk melupakanmu kulakukan. Ku mulai dari tak lagi mencarimu, atau sekedar menyebut namamu pun tak boleh. Aku menekuni hobi game yang tidak begitu berguna itu, dan mulai mencari penggantimu.

Untuk menemukan penggantimu bukanlah hal yang mudah. Semenjak bertemu denganmu ketertarikanku terhadap perempuan tak lagi sama. Aku terobsesi padamu. Aku mengencani perempuan yang hampir menyamaimu. Rambut ikalmu, atau mata kecilmu. Tapi tak membuatku puas, tak ada satupun yang bisa menyamaimu.

Setelah menyerah dengan semua itu, aku memutuskan untuk sendiri. Tak lagi memikirkan untuk menggantikanmu. Aku ingin melupakanmu seadanya. Sebisaku, tanpa bantuan siapapun.

Selama 3 tahun aku menjalani kuliah dengan berantakan. Aku perlahan bisa melupakanmu. Namun hubunganku dengan Papi semakin buruk. Terlebih aku tak bisa lulus tepat waktu dan laporan nilaiku benar-benar mengecewakan. Namun aku tak banyak ambil pusing.

Aku masuk di semester 7 dimana seharusnya aku sudah harus menyusun tugas akhir, namun sayangnya nilaiku tak memenuhi syarat untuk itu. Tanpa harus merasa bersalah aku justru bermain-main dengan teman-temanku.

***

Pagi itu aku ditelepon oleh Seno sahabatku di kampus yang merupakan ketua himpunan jurusanku. Dia mengatakan bahwa akan ada pengenalan mahasiswa baru pagi itu aku harus datang karena itu akan sangat mengasyikan katanya.

“Bos Zary nanti datang ya, seru banget lho nanti kita ngerjain anak baru sekaligus bisa lihat adek-adek MABA yang masih imut-imut.” Seno berkata dari ujung telpon. Teman-teman akrabku dengan senang hari memanggilku bos karena sifat royalku.

“Aku pikir-pikir dulu Sen. Males gerak nih.” Aku masih belum beranjak dari tempat tidurku. Rasa malas dan nganti masih menguasai tubuhku.

“Ayolah Bos. Hitung-hitung cuci mata. Kapan lagi aku bisa menyalahgunakan kekuasaan seperti sekarang. Hahaha.” Seno tertawa senang. Sebagai ketua himpunan harusnya dia tak boleh memasukan orang sembarangan kedalam kepanitiaan, tapi aku menghargaimnya.  mungkin dia hanya ingin berbagi kesenang denganku saja.

“Okelah. Tunggu ditempat biasa ya.” Aku beranjak dari kasur.

“Jangan Bos. Langsung ke auditorium saja. Acaranya sudah mau mulai.” Ujar Seno.

“Oke.” Balasku tanpa panjang lebar.

Sesampainya dikampus Seno memberiku sebuah tag nama dengan namaku sebagai senior. Kuperhatikan anak-anak baru berjajar dengan rapi membentuk barisan dibawah arahan senior lainnya. Mataku hanya menatap mereka seadanya. Aku hanya akan bergerak membantu hanya jika dibutuhkan.

Salah satu sesi acara ini adalah pengenalan diri masing-masing dengan cara maju kedepan. Disini pekerjaan senior tidak terlalu banyak. Kami hanya harus duduk, mempersilakan mereka maju kedepan dan memperkenalkan diri.

Tidak ada yang istimewa dari anak-anak baru tersebut. Aku lebih banyak duduk di sudut paling belakang gedung dan tak terlalu mendekat.

Hingga sebuah suara yang kukenal sampai ketelingaku, aku tidak yakin, namun tubuhku mengenali suara itu. Jantungku berdebar dan seluruh tubuhku rasanya bergetar. Aku mengarahkan mata kedepan secara spontan dan kulihat kau berdiri disana dengan mikropon ditanganmu.

“Nama saya Reina Nourin Hasan. Saya mengambil jurusan Bisnis karena sangat tertarik dengan Bisnis….” Hanya itu yang bisa kudengar selebihnya aku melucutimu dengan pandanganku, berusaha mengenalimu, berharap mata dan telingaku salah.

Namun benar kau yang berdiri disana. dengan rambut ikalmu yang kini pendek dan berwarna coklat. Matamu yangkecil, dan bibir merahmu yang terlihat dari kejauhan. Mulutku benar- benar terdiam. Namun kakiku melangkah kedepan tanpa sadar ingin benar-benar melihatmu dari dekat.

Lihat selengkapnya