Pertemuanku denganmu seperti titik balik yang baik untuk hidupku. Aku mulai mengurangi jadwal bermain game ku. Bahkan pernah aku tidak main game selama berhari-hari. Kau mengalihkan duniaku hanya kepadamu.
Kau masih seperti dulu, menularkan kebiasaan-kebiasaan baik padaku. Belajar, berlatih, mengerjakan tugas. Bahkan ketika kau mendaftar kursus apapun itu, aku akan ikut. Sejak bertemu denganmu nilai akademiku membaik. Aku menikmati waktu belajarku karena aku bersamamu.
Sore itu ditaman tempat kita pertama kali akhirnya bicara lagi, kau menunjuk sebuah jendela besar.
“Zar, jika nanti kau tidak bisa menemukanku. Tunggu aku di jendela sana.” Kau menunjuk jendela gedung perpustakaan yang terlihat dari taman tempat kita pertama kali akhirnya bicara.
“Kenapa di perpustakaan?” Tanyaku heran. Mataku masih mengikuti arah jendela yang ditunjuknya.
“Karena aku akan kesana?” Jawabmu santai.
“Kapan?” Tanyaku, kali ini mataku berpindah pada wajahmu yang merona karena terik matahari.
“Sesering mungkin.” Jawabmu pasti. Sedang aku masih menatapmu penuh tanda-tanya.
“Tuan Zary Handry. Aku akan memberimu satu rahasiaku yang mungkin banyak orang sudah tahu. Sejak dulu, perpustakaan adalah tempat favoritku dimanapun aku berada. Tempat membaca buku yang paling aku suka adalah ditepi jendela besar seperti disana itu.” Kau menunjuk jendela itu lagi dengan jemarimu yang kecil.
“Kenapa disamping jendela?” Tanyaku lagi. Kau menatapku lagi. Kali ini kau menghadiahiku senyuman manis dari bibirmu.
“Karena aku selalu menemukan hal-hal yang telah hilang disana. Baik itu pikiran, orang-orang, ataupun dunia.” Matamu berubah sendu. Kau memalingkan wajahmu, menghindari bertatapan denganku.
Sejak itu. Meski tanpa menghubungimu sebelumnya, aku menunggumu di samping jendela besar kesukaanmu. Kau selalu datang. Tersenyum, berbicara hanya padaku padaku tentang buku-buku yang kau baca. Aku mengikutimu. Seperti dulu, kau seakan membuka dunia yang tadinya gelap menjadi cerah dimataku.
***
“Rein. Kasih selamat dong. Semester ini aku lulus dengan sempurna.” Kataku padamu. Kuletakan laporan nilai dihadapanmu. Kau tersenyum membacanya.
“Wah… kamu benar-benar seperti seorang jenius sekarang Zar.” Kau mengolokku sambil manggut manggut membaca laporan nilaiku semester ini.
“Iya dong, kan karena kamu ajarin. Sekarang, karena aku sudah selesai semester ini, semester depan aku harus magang untuk persyaratan skripsi.” Kuambil laporan nilai dari tanganmu dan kubaca lagi. Meski sudah kubaca berkali-kali.
“Ya ampun cepet banget…!” Jawabmu pura-pura histeris. Aku menatap tajam kearahmu, kuketuk pelan dahimu, dan kuteruskan jariku menuju rambut dikeningmu.
“Aku tidak cepat honey, teman-temanku sudah hampir semuanya sudah lulus.” Kataku sambil mengusap rambutmu dari depan. Kau terlihat masih tak nyaman dengan itu semua, pelan-pelan kau singkirkan jemariku dari rambutmu.
“Aku tahu, tapi kamu akan lulus lebih cepat dariku. Aku akan sendirian di kampus ini.” Katamu sambil membetulkan rambutmu yang tadi kusentuh. Aku terdiam. Tapi bukan karena ucapanmu.
Aku sendiri tak selalu terbiasa dengan penolakan halus darimu. Ketika kusentuh rambutmu, atau kuletakan jemariku di pipimu. Kau menepisnya dengan sopan. Seperti sudah-sudah, hatiku sedikit sakit jika kau melakukan itu. Namun aku masih bisa tersenyum. Setidaknya, aku masih bisa melihatmu disisiku kali ini.
Aku sudah berkali-kali menyatakan perasaanku. Dan aku tak pernah mendengar kau ingin membalas perasaanku. Meski begitu aku sudah senang menikmatimu dari dekatku. Mencium aromamu, melihat senyummu, atau mengusap coklat yang tertinggal dibibirmu. Selama kau masih disebelahku, aku akan bisa menahan apapun. Seberat apapun itu.
Yang membuatku kagum adalah, kau tidak pernah berubah. Maka dari itu sulit bagiku untuk tidak memiliki perasaan yang sama seperti dulu, bahkan lebih. Kau masih suka berkunjung ke komuitas tempatmu mejadi relawan dulu di kota ini. Sambil membawa bingkisan yang kau kira akan membantu disana.
Kau benar-benar terlihat lebih hidup ketika bermain bersama anak-anak jalanan yang ditampung komunitas. Wajah dan senyummu benar-benar bersinar. Aku melihat ketulusan yang mahal kau berikan pada anak-anak itu. Aku tak bisa menemukan kelebihan seperti itu pada perempuan-perempuan yang datang padaku.
“Zar, ingat Dina gak?” Katamu menunjuk seorang perempuan yang sedang bercengkrama dengan teman-teman lain. Kuikuti jari telunjukmu dan kulihat seorang perempuan yang mungkin sebaya denganmu itu.
“Enggak ingat. Kenapa?” Kataku sambil menggeleng.
“Aku, dia dan Yulan dulu sering bareng kemana-mana. Aku dan Dina jadi relawan disini sedangkan Yulan tidak.” Kau duduk di bangku terdekat denganmu.
“Aku bertanya tentang Yulan barusan kepadanya.” Lanjutmu. Aku tertegun sebentar. Aku bahkan hampir melupakan siapa Yulan.
“Memang Yulan kenapa?” Aku bertanya, meski tidak begitu ingin tahu.
“Dia sudah nikah lho. Sekarang anaknya bahkan sudah 2.” Jawabmu dengan ekspresi yang aku tidak tahu. Aku diam, memperhatikanmu lebih lama. Menterjemahkan raut wajahmu.
“Baguslah.” Jawabku. Sambil masih terus memperhatikanmu. Kau hanya tersenyum kecut. Kemudian hening. Kakimu bergerak-gerak mencari pelarian.
“Kamu kenapa?” Tanyaku ketika melihatmu mulai gelisah.
“Aku sedih, aku dan Yulan tidak pernah berhubungan lagi. Aku bahkan meminta Dina merahasiakan pada Yulan bahwa aku kemari bersamamu” Matamu sendu. Agak lama kau menjawab pertanyaanku.
Aku hampir melupakan bahwa hubunganmu dan perempuan itu terakhir kali tidak lah baik. Tapi waktu sudah berlalu. Lagipula perempuan itu sudah menikah.
“Kenapa harus merahasiakannya? Lagipula dia sudah menikah. Dia pasti bahagia sampai-sampai punya anak 2 sekarang.” Aku berniat menenangkannya.
Kau tak kunjung menjawab. Kepalaku menunduk sambil masih menggerak-gerakan kakimu. Aku menunggumu bersuara, masih menatapmu dengan setia.
“Zar, aku mau jujur sama kamu.” Kepalamu mendongak, kali ini menatapku dengan matamu.
“Apa? Sebuah rahasia? Kecil atau besar? ” Tanyaku bercanda. Namun kau tak tersenyum. Kepalamu menggeleng.
“Kamu ingat waktu kamu tanya kenapa aku menghilang setelah kecelakaanmu? Dan kenapa aku merasa bahwa akulah penyebab kecelakaanmu?” Kau masih menatapku. Aku mengingatnya dan hanya anggukan yang kuberikan padamu.
“Setelah kamu masuk kedalam mobilmu, aku merasa bersalah karena bersikap kasar padamu. Tapi kamu terlanjur pergi. Aku mengejarmu dengan mobilku. Tapi kendaraanmu begitu kencang. Mobilku tertinggal cukup jauh sampai akhirnya aku melihat kerumunan orang-orang disekitar mobilmu yang terjungkir. Aku begitu panik saat membawamu kerumah sakit dengan mobilku.” Lanjutmu.
Aku mendengarkanmu dengan diam. Seperti yang kubilang aku tak memikirkan penyebab kecelakaan itu sama sekali. Namun mendengar bahwa kau mengejarku malam itu membuat hatiku sedikit merasa senang.
“Lalu kemana kamu pergi setelah itu Rein.kamu bisa jenguk aku besoknya atau lusanya. Aku hampir satu bulan dirumah sakit dan kamu tak datang sama sekali." Tanyaku padamu, kugunakan nada sebaik mungkin hingga kau tak merasa terpojok.
“Karena aku membuat keributan, makanya aku harus pergi.” Jawabmu.
“Keributan?” Aku mengerutkan dahi.
“Aku tidak tahu harus menghubungi siapa, jadi aku menghubungi Yulan. Siapa tahu dia punya kontak orang terdekatmu. Dan Yulan datang…” Kau terhenti lagi.
“Terus?” Aku penasaran.
“Yulan datang lalu meneriakiku dengan makian. Aku tidak bisa menyalahkannya, dia mengira aku berkencan denganmu malam itu. Aku berusaha membuat pembelaan tapi tak berhasil. Rumah sakit menjadi kerepotan karena kami berdua. Haha.” Kau tertawa sinis, seakan melihat ada kebodohan di kejadian itu.
Sedangkan aku diam dengan takjub. Aku tak pernah menduga kejadian itu sebelumnya ada. Kupandangi dia, meski terlihat tenang aku tahu hal itu pasti terus mengganggunya.
“Selebihnya kau bisa menebak apa yang terjadi Zar, makanya aku memilih pergi.” Kau berusaha tersenyum.
“Karena mengikuti Ayahmu keluar pulau?” Tanyaku lagi.
“Ayahku memang keluar pulau. Tapi kami sebenarnya tak harus pindah. Aku yang memaksa pada Ayah untuk ikut. Dan akhirnya kami sekeluarga pindah. Meskipun begitu, akhirnya aku kembali lagi ke Kota ini. Aku tak bisa menyangkal terus merindukan kota ini.” Kau masih tersenyum, kali ini senyummu lebih tulus.
“Kau dengan Yulan bagaimana?” Aku kali ini mengambil kursi untuk ikut duduk denganmu. Kau tak langsung menjawab, diam beberapa detik.
“Dia bersumpah bahwa kamu tidak akan pernah jadi milikku. Aku sangat ingat teriakannya malam itu. Dan aku membalas dengan sumpah, bahwa aku tidak pernah menginginkanmu.” Kau tak berani menatapku.
“Yulan tak pernah lagi menghubungiku. Dan akupun tak menghubunginya. Kalaupun aku harus memulai lagi, aku tak tahu harus memulai dari mana.” Lanjutmu lagi.