Rasa marahku membuat aku susah fokus, terutama pada pekerjaanku. Karyawan Ayahku yang tadinya menghormatiku dan tak berani menggangguku, kini mulai komplain dengan kinerjaku. Meski sebenarnya perkejaanku tak terlalu berat, namun tetap saja karena keteledoranku mereka menjadi kerepotan.
Terkadang tergerak keinginan untuk menemuimu atau sekedar melihat wajahmu saja. Namun jika kuingat lagi kejadian saat itu, rasanya aku lebih baik begini saja. Sudah cukup kesempatan yang kuberikan padamu untuk memikirkan hubungan kita dan kau memilih lelaki lain. Aku berniat untuk tak lagi mengusikmu.
suatu malam ketika aku sedang makan sendiri di restoran ayam goreng. Aku bertemu Dina, temanmu yang mengenalkan Dokter itu padamu. Awalnya tak ada niat untuk menyapanya yang juga duduk sedirian. Namun aku benar-benar penasaran dengan beberapa hal.
“Dina ?” Aku menyapanya. Perempuan itu menoleh dan langsung mengenaliku.
‘Zary kan?” Dina menengadahkan kepalanya karena aku masih berdiri.
“Boleh duduk sini?” Tanyaku sambil menunjuk kursi di hadapannya. Perempuan itu mengangguk. Kami terdiam beberapa lama, perempuan itu tampak canggung.
“Aku mau nanya sesuatu tentang Reina.” Ucapku.
“Reina? Tentang apa?” Dina memiringkan kepalanya sambil menatap lurus kearahku.
“Tentang kekasih Reina saat ini. Dokter itu?” Jawabku.
“Kekasih?” Dina mengernyitkan dahinya. Wajahnya kebingungan. Aku hanya diam sambil menatapnya, memohon informasi memuaskan darinya.
“Dokter Tsubaki?” Tanya Dina lagi. Kali ini dia benar-benar kebingungan.
“Iya, Tsubaki. Dokter anak komunitas.” Jawabku cepat.
“Reina dan Dokter Tsubaki berhubungan?” Kali ini Dina benar-benar kebingungan. Raut wajahnya benar-benar bingung. Aku mulai mengerti bahwa Dina mungkin tidak tahu menahu soal ini.
“Dokter Tsubaki sudah menikah, istrinya di Jepang. Meski begitu, tidak mungkin Reina dengan Dokter Tsubaki pacaran. Reina tidak akan berhubungan dengan pria yang sudah menikah, aku kenal Reina sudah lama.” Dina menjelaskan apa yang dipikirannya panjang lebar. Aku tertegun dengan pernyataan Dina. Dokter itu sudah menikah, dan jika Dina benar bahwa kau dan Dokter itu tidak mungkin berhubungan, mengapa Dokter itu mengenalkan dirinya sebagai kekasihmu saat itu?
Aku dan Dina sama-sama terdiam dalam pikiran kita masing-masing. Aku sendiri tahu bahwa kau bukan tipe perempuan yang mau berhubungan dengan pria menikah. Aku mengenalmu selama ini, bahkan kau tidak terlalu tertarik dengan pria manapun. Hanya ada aku yang berkeliaran didekatmu. Tak pernah ada pria lain. Apa yang terjadi padamu kali ini?
Datang perasaan bersalah padamu dalam kepalaku. Aku menyesal meninggalkanmu dan tidak menoleh ketika kau panggil namaku. Bisa saja itu panggilan dimana kau membutuhkanku. Aku terlalu marah saat itu.
Setelah diam yang panjang, aku pamit pada Dina. Kutinggalkan restoran dan Dina dibelakangku. Kuambil Handphone dan kutekan nomormu. Aku berharap maaf darimu dan memberiku kesempatan untuk mendengarkan apa yang ingin kau bicarakan. Tapi sampai hari hampir pagi, aku tak kunjung bisa menghubungimu.
Aku duduk ditepi kasurku. Sambil memegangi Hpku dengan namamu di layarnya, kulirik jam yang ada di meja sebelah kasur. Waktu sudah menunjukan pukul 3.40 dini hari. Aku menimbang-nimbang, kuayun-ayunkan Hp ditanganku. Panggilanku tak kunjung sampai padamu. Kulangkahkan kaki, kuambil jaket dan kunci mobilku. Aku harus segera mendatangimu.
Ketika sampai didepan kostmu, suasa begitu sepi. Wajar karena ini dini hari. Kuperhatikan jendela kamarmu yang tak menyala lampunya. Aku ragu turun dari mobilku, karena ini kost perempuan. Aku tak yakin dijinkan menerobos kedalam. Meskipun tak ada Security yang menjaga, tetap saja akan membuat kehebohan nantinya. Aku menyesali kenapa aku tak memikirkan kemungkinan ini dari tadi. Maka lama sekali aku termagu didalam mobilku sambil memandangi jendela kostmu sambil terus mencoba menelponmu.
Aku hampir menyerah menunggumu. Kulirik jam tanganku yang menunjukan pukul 5.30. Hari tak lagi gelap, kabut-kabut embun menutupi jendela mobilku. Kuhela nafas berat berkali-kali hingga kemudian kunyalakan kembali mesin mobilku.
Kakiku hampir saja menginjak pedal gas hingga kulihat sebuah mobil yang kukenal berhenti di depan mobilku. Kau turun dari dalam mobil tersebut dengan senyum gembira meski wajah dan rambutmu nampak berantakan. Ketika aku hendak keluar untuk mengejarmu, kau berlari masuk kedalam halaman kostmu dengan cepat. Tinggallah mobil itu perlahan bergerak meninggalkanmu. Aku mengubah niatku. Kuikuti mobil yang mengantarmu tadi.
Aku tahu mobil itu adalah mobil yang kulihat menjemputmu di kampus dan mobil yang terparkir didepan kantor komunitas tempo hari. Mobil Dokter anak yang menyebut dirinya kekasihmu itu. Pikiranku menerawang kemana-mana. Memikirkan yang tidak-tidak tentangmu dan Dokter itu. Dari mana kalian berdua? Apa yang kalian lakukan? Apa kalian menginap bersama ? Apa itu sisimu yang aku tidak tahu?
Mobil itu berhenti di parkiran sebuah hotel melati. Aku menunggunya dengan sabar dari mobilku dengan jarak yang tak terlalu jauh. Dokter itu turun dari mobil sambil menempelkan telpon di telinganya, sambil sesekali tertawa dalam panggilan telponnya, dia masuk kedalam hotel.