Masa magangku telah berakhir. Meski Ayahku tak begitu puas namun setidaknya aku menyelesaikannya tanpa masalah. Aku mulai terbiasa mengerjakan tugas-tugasku meski berada dibawah tekanan. Baik itu tekanan pekerjaan, atau tekanan karenamu. Kini aku harus menyelesaikan tugas akhirku secepatnya. Selain karena Ayah, aku menjadikannya alasan agar kau mau menemaniku sesering mungkin.
Karena kau bersedih berhari-hari. Kau tak bicara lebih dulu jika aku tak mengajakmu bicara. Kau hanya tersenyum dengan paksa meski aku berusaha menghiburmu. Aku paham kau sedang patah hati, namun aku tak suka melihat kau bersedih karena lelaki lain.
“Rein… kau baik-baik saja?” Tanyaku padamu ketika kau melihat keluar jendela perpustakaan seperti biasa. Kau memeluk tubuhmu sendiri, pandangan matamu masih kosong. Kau menoleh kearahku, berusahan tersenyum sebisamu kemudian mengangguk.
“Aku baik-baik saja Zar.” Matamu melirik tumpukan buku di meja perpustakaan yang baru saja kuambil dari raknya.
“Kau harus menyelesaikan Skripsimu tepat waktu. Jangan pikirkan aku.” Lanjutmu lagi.
“Kalau begitu tersenyumlah. Aku gak bisa berfikir kalau kamu cemberut.” Aku menatapnya yang sedang berdiri ditepi jendela besar kesukaanmu. Sambil membalas tatapanku bibirmu tersenyum kemudian mengangguk. Aku menggandeng tanganmu dan membimbingmu untuk duduk di sisiku. Perpustakaan tak terlalu ramai siang itu, di lorong kami, hanya ada kami berdua.
Aku menggenggam jemarimu dan tak melepasnya. Sebaliknya kaupun seperti membiasakan diri dan tak lagi menghindari semua sentuhanku. Kau menurut dan duduk disisiku. Tanganmu yang satunya menopang dagumu dan memperhatikanku yang berpura-pura sibuk membuka-buka buku meski hanya dengan tangan satu.
Aku tak pernah lagi bertanya atau menyinggung masalah Dokter itu padamu. Aku percaya kau sedang menyembuhkan dirimu dan aku merasa tak perlu menyentuh lukamu lagi. Meski aku penasaran, aku ingin tahu, sejauh mana Dokter itu menyentuhmu, sejauh mana kau menyerahkan dirimu padanya. Apa perasaan Dokter itu sama denganku ketika berdekatan padamu? Entahlah. Aku memilih diam.
Meski kau saat ini begini karena hanya sedang bersedih, aku berharap ini akan menjadi kebiasaan untukmu. Aku ingin kau terbiasa dalam senang atau sedih untuk menggantungkan segalanya padaku. Aku ingin menjadi satu-satunya yang kau butuhkan di dunia ini. Hingga kau tak perlu kemana-mana lagi.
***
Diluar perkiraanku, meski dengan bantuanmu aku tak menyangka akan menyelesaikan sidang 1 skripsiku dalam waktu 3 minggu. Selama 3 minggu itu kau selalu bersamaku dan menemaniku dengan alasan skripsi. Hanya tinggal satu kali sidang akhir hingga aku resmi menjadi alumni di kampus ini.
Sisi baiknya kini kau membiasakan diri denganku. Ketika ku genggam tanganmu, ketika kupeluk bahumu, atau ketika kuminta kau bersandar dibahuku. Justru kau terlihat tenang saat kusentuh. Seakan kau memang membutuhkannya.
“Zar. Kamu memang luar biasa.” Ucapmu ketika aku keluar dari ruang sidang. Kau menungguku tepat didepan pintu ruang sidang.
“Kan kamu yang mengajariku. Aku bahkan bisa menjawab semua yang dipertanyakan oleh dosen.” Jawabku dengan wajah tenang meski dengan maksud menyombongkan diri. Kau hanya menatapku kemudian tersenyum dan diam. Aku tak mengharapkan reaksi itu darimu, aku tadi membayangkan kau akan memukulku dengan manja karena sikap sombongku.
“Kenapa Rein?” Tanyaku setelah kau terdiam.
“Kamu bakal jadi orang besar yang luar biasa Zar. Kau orang yang cepat belajar dan tahan banting. Siapapun yang mempertanyakan kemampuanmu, aku akan menjaminmu.” Jawabmu tenang. Aku tidak tahu kau serius atau tidak dengan perkataanmu.
“Aku anak Priambodho lho. Tentu saja aku akan jadi orang luar biasa.” Aku sedikit bercanda.
“Kamu masih mimpi jadi anak pemilik grup Priambodho.? Kamu cuma beruntung karena namamu sama.” Kau menatapku remeh. Aku tersenyum. Benar, kau satu-satunya orang yang tak percaya dengan kekayaan keluargaku. Disaat orang lain mengejarku karena harta keluargaku. Aku justru mengejarmu. Karena kau bilang kau membenci orang-orang kaya. Aku tak bisa menampakan kesombonganku sebagai anak orang paling kaya di kota ini hanya kepadamu.
“Jika aku anak pemilik grup priambodho, apa kamu akan memperlakukanmu sama? Apa kamu juga akan terus menolakku atau kamu akan langsung menerimaku?” Tanyaku terdengar bercanda, namun percayalah, aku serius.
“Hemmm. Aku akan langsung menolakmu” jawabmu sambil mengelus-elus dagumu.
“Why?” Tanyaku heran.
“Just Because.” Kau tersenyum. Sedangkan aku terdiam. Tidak tahu apa salah keluargaku padamu hingga kau memutuskan begitu.
“Sepertinya sudah jam makan siang, dan aku lapar. Kamu harus mentraktirku.” Kau menarik lenganku dan melihat jam yang yang melingkar di pergelanganku. Aku menegakkan punggungku kemudian menarik tanganmu dengan lembut.
“Tuan putri mau makan apa saja, budakmu ini akan menuruti.” Ucapku dengan nada bercanda. Kau memukulku gemas. Kemudian tertawa. Kita berdua berjalan keluar dari gedung kampus menuju parkiran. Aku ingin terus seperti ini. Melihat kau tersenyum sambil kita bergandengan tangan. Seperti sepasang kekasih sebenarnya, yang saling bersandar satu sama lain, yang saling membutuhkan satu sama lain.
***
Saat-saat bersamamu adalah hal yang paling aku suka. Bisa tertawa bersamamu, saling menyandarkan tubuh denganmu, menyentuhmu, membelai rambutmu yang terkadang tergerai atau sekedar mencubit pipimu yang tiba-tiba menggemaskan bagiku.
Kau kini tak lagi menepisku seperti dulu, kau terlihat lebih terbuka denganku. Aku suka senyummu yang semakin lepas. Kurasa aku telah berhasil membuatmu melupakan dukamu. Kini setiap detikku menjadi berharga denganmu.
Apalagi skripsiku yang semakin lancar. Karena minggu depan aku sudah bisa maju untuk sidang terakhir skripsiku. Kurasa kau membawa keberuntungan untukku, semua urusanku menjadi lancar asal kau terus menemaniku. Seperti sekarang ini.
“Zar, apa rencanamu setelah lulus nanti?” Tanyamu sambil menyuapkan es krim kedalam mulutmu. Kita sedang duduk di bawah pohon rindang di bawah gedung perpustakaan, cahaya matahari sesekali menyinari matamu yang kecoklatan.
“Ehm, aku akan bekerja dimanapun Papiku menginginkanku. Tapi kemungkinan juga melanjutkan S2 karena sepertinya Papi akan suka dengan itu.” Jawabku Juga sambil menyuapkan es krim ke mulutku.
“Kamu sayang sekali dengan Ayahmu ya Zar. Beliau pasti orang yang sangat baik dan berwibawa sehingga anaknya benar-benar menghormatinya seperti ini.” Kau tersenyum sambil menatap kearahku. Aku balas menatapmu. Mengelap eskrim yang berantakan disamping bibirmu.
“Ya. Beliau sangat beribawa. Terkadang menakutkan. Tapi sangat penyayang.” Jawabku tenang. Aku masih menatapmu melahap eskrim yang sudah hampir mencair.
“Kamu mau ketemu keluargaku Rein? Kita sudah kenal lama, tapi kurasa kamu tak pernah bertemu keluargaku atau kau sekedar main kerumahku.” Lanjutku lagi. Kau terhenti lalu menatapku.