Jalan Tanpa Tepi

Nurul Fajriani
Chapter #7

Negosiasi.

Aku menatap keluar jendela dengan sendu yang sama. Sesekali tenggelam dengan tatapan kosong dalam kerumunan manusia dibawahku. Helaan nafas berat yang kuhembuskan berkali-kali tak kunjung menyadarkanku bahwa hari kian senja.

Sudah enam tahun sejak aku kembali dari Australia. Perusahaan yang diserahkan Papi padaku berkembang dengan cepat. Bahkan melampaui perusahaan Papi dan Kak Zayn. Kini aku terbiasa mendengar orang-orang mulai memujiku karena kerjaku yang dinilai luar biasa..

Setelah kau pergi, aku melupakan ide tentang hubungan. Aku tak mau lagi berkecimpung diperasaan yang sama seperti dulu. Perlahan, sedikit demi sedikit aku mampu melupakanmu dengan tenggelam dalam kesibukanku. Aku ingin terus bekerja hingga tak ada waktu untuk hal-hal remeh seperti itu.

 “Pak Zary?” Suara wanita mengejutkanku. Wanita itu berdiri dia ambang pintu memegang map berwarna biru di tangannya, bibir wanita itu berwarna merah, selalu merah. Sepertimu. Tapi dia hanya Susan, sekretarisku. Aku mengangguk seperti perintah, dia langsung masuk mendekatiku dan mulai menjelaskan beberapa hal yang aku sudah mengerti. Kemudian berhenti setelah aku memberinya isyarat.

“Kamu boleh pulang Susan, jam kerjamu sudah habis dari beberapa jam lalu.” Ucapku dingin. Susan menatapku lalu tersenyum. “ Apa bapak tidak pulang lagi malam ini?” Tanyanya. Aku balik menatapnya. Tidak menjawab.

Sepanjang karir wanita ini bersamaku, aku selalu merepotkannya bahkan untuk hal-hal yang kecil. Seperti kebersihan tempat tinggalku, menu makan siangku, bahkan laudry untuk pakaianku. Aku mengerti arah pertanyaannya. Karena jika aku tidur di kantor pekerjaan wanita ini akan dimulai lebih pagi dari karyawan lain di kantor.

Aku agak ragu untuk memberinya perintah karena itu suaraku tak kunjung keluar. Wanita itu tersenyum menatapku. Bibirnya tersenyum dengan ramah.

“Bapak harus cepat mendapatkan pengganti saya. 2 minggu lagi saya resign lho. Saya segera menikah dan berhenti menjadi sekretaris bapak.” Susan menyandarkan telapak tangannya di mejaku. Kali ini dia lebih santai. Dan ini sudah kesekian kali dia mengatakan bahwa dia akan segera menikah.

“Kamu menikah saja, tidak harus berhenti kerja.” Jawabku pura-pura tidak peduli. Kunyalakan layar komputer didepanku untuk mengalihkan perhatian.. Susan tertawa kecil. Diambilnya map biru yang tadi diletakannya di meja.

“Saya tidak bisa mengurus banyak lelaki di hidup saya. Antara bapak atau suami saya nanti, Saya hanya bisa memilih satu saja.” Susan menunggu reaksi dariku. Namun aku pura-pura tak mendengarnya.

“Kalau bapak setujui usul saya yang sudah berkali-kali saya sampaikan ini, saya akan langsung membuka lowongan untuk posisi pengganti saya. Setidaknya itu saja yang bisa saya lakukan untuk terakhir kali. Karena sekali lagi. Pernikahan saya semakin dekat, jika posisi ini kosong dan tidak ada yang terlatih di posisi ini, apa yang akan bapak lakukan?” Susan lebih mirip berceramah dengan nada bicaranya yang khas.

Aku tahu pada akhirnya aku tetap harus melakukannya. Meski aku tidak siap. Aku sudah begitu nyaman dengan Susan. Bertemu orang baru sama saja dengan memulai hubungan baru. Harus ada banyak sekali yang harus dibangun.

“Baiklah Susan, kamu boleh atur, tapi ingat, kamu tidak boleh resign sebelum kamu melatih penggantimu hingga sepertimu. Aku tidak suka mengulang-ulang perintah.” Ucapku menghadap ke Susan setelah menarik nafas dan menghembusnya dengan berat. Sementara susan tersenyum penuh kemenangan. Kepalanya mengangguk-angguk kecil. Dengan menundukan kepalanya dia pamit dari ruanganku.

Sebenarnya berat jika susan harus meninggalkanku. Aku memang hebat dalam negosiasi, tapi Susanlah yang menyiapkan segala sesuatunya. Masalahnya adalah bukan aku yang merekrut dan melatihnya. Susan adalah hadiah dari Papiku. Dia sudah terlatih bahkan sebelum denganku, meskipun usianya hanya berbeda beberapa tahun dariku. Namun untuk hal yang detail dia lebih hebat dariku.

***

Pintu ruanganku diketuk. Aku terburu buru mengancing kemejaku. Karena ini masih pagi buta, aku yakin Susan yang mengetuk. Aku tidur di kantor berberapa hari ini. Maka sudah pasti dia akan bekerja lebih pagi.

Susan berdiri didepan pintu dengan tangan penuh. sambil menyerahkan pakaian yang harus kupakai hari ini. Kuterima pakaian dari tangan Susan. Dia membawa roti dan kopi Sekaligus untuk sarapan. Ditaruhnya semua barang yang memenuhi tangannya.

 “Kamu sudah membeli sarapan?” Tanyaku padanya. Dia baru saja merapikan berkas yang kuhambur dimeja agar terlihat rapi kembali.

“Sudah Pak, tapi belum saya makan. Belum sempat.” Susan menghela nafas panjang kemudian kepalanya menoleh ke kanan kiri, memeriksa apakah ada lagi yang harus dia bereskan.

“Kamu mungkin masih mengantuk, lihat mata pandamu.” Aku berusaha bercanda dengannya. Dia tampak tidak terpengaruh oleh candaanku.

“Kita sarapan bersama. Ambil sarapanmu.” Kataku sambil mengambil piring untuknya. Dia menurut, dan kembali lagi dengan nasi dan teh panas ditangannya.

 “Bagaimana persiapan pernikahanmu?” Tanyaku setelah otakku berputar-putar mencari topik yang menarik untuk dibahas.

“Baik pak. Semakin dekat semakin mendebarkan.” Jawabnya sambil menyuapkan nasi dimulutnya.

“Kamu jangan makan terlalu banyak, nanti pakaian pengantinmu tidak muat.” Aku tertawa kecil, niatku bercanda. Susan meletakan sendoknya sambil menatap jengkel kearahku. Menyadari itu aku meminta maaf.

“Aku minta maaf, cuma mau bercanda, entah mengapa aku buruk sekali dalam membuat candaan.” Aku memasang wajah bersungguh-sungguh. Kini Susan mengambil lagi sendoknya dan kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.

“Saya sudah lama kenal bapak, bapak selalu saja mencela perempuan didekat bapak atau yang mendekati bapak selain Nyonya. Entah disengaja atau tidak. Saya memperhatikan bapak. Jika bapak begini terus bapak akan susah mendapat istri.” Nada Susan terdengar santai. Aku tau tidak ada tekanan disana, dia tulus memikirkanku.

Aku terdiam sebentar sambil menyuapkan roti kedalam mulutku. Mataku menoleh keluar jendela dengan sendirinya.

“ Saya punya standar untuk perempuan dan ya, sepertinya ada satu perempuan selain Ibu saya yang saya suka.” Ucapku masih menatap jendela. Mendengar itu Susan langsung menatapku. Matanya membulat karena penasaran dengan pernyataanku.

“Apa saya pernah bertemu?” Susan penasaran. Aku menggeleng.

“Akupun sudah tak pernah menemuinya.” Jawabku santai sambil meminum kopiku yang sudah tak terlalu panas. Susan terdiam.

“Bapak menyukainya saja, atau mencintainya juga?” Tanyanya lagi.

“Hei untuk apa kamu tahu?” Tanyaku berpura-pura marah. Melihat itu Susan malah tersenyum.

“Saya hanya ingin memastikan bahwa bapak juga manusia yang bisa punya perasaan pada seseorang.” Susan tersenyum dengan santai. Aku diam sejenak.

“Kau benar. Aku tidak menyukainya. Aku mencintainya.” Jawabku. Aku beranjak dari dudukku menuju jendela besar disisiku. Aku melihat lagi kebawah gedung milikku, kesebuah persimpangan yang mulai ramai dengan orang-orang. Seperti kebiasaan, aku berharap bisa menemukanmu di sela-sela orang –orang itu.

“Aw, So sweet. Dimanakah dia sekarang pak?” Tanya Susan masih penasaran. Aku menoleh kearahnya. Mengangkat bahuku. Raut wajah Susan berubah menjadi iba padaku. Melihatnya yang begitu aku naik darah meski pura-pura.

“Sedang apa kamu? Bereskan meja. Saya mau bersiap-siap.” Hardikku main-main. Susan tertawa sambil beranjak dari tempat duduknya. Dirapikannya meja bekas kita sarapan tadi, dan pergi keluar dengan wajah senang.

Sedangkan aku terdiam ditempatku berdiri. Sudah tahunan lamanya aku tak pernah membahasmu dengan siapapun. Meski aku merasa benar-benar telah melupakanmu, tapi kurasa memori dikepalaku tidak setuju dengan itu.

Hari beranjak siang. Aku diberitahu Susan bahwa Papi berkunjung hari ini. Ketika aku bertanya ada agenda apa, Susan juga tidak tahu. Maka dari itu aku mempersiapkan beberapa dokumen terkait perencanaan bisnis yang kuajukan pada Papi. Mungkin saja Papi datang untuk itu.

Susan mengetuk pintu dan mempersilahkan Papi masuk kedalam ruanganku. Sedangkan aku menunggu diatas kursiku tak beranjak sampai aku selesai mempersiapkan dokumen yang mungkin nanti akan kita bahas.

“Letakkan kertas-kertas itu.” Perintah Papi dengan suara beratnya yang khas. Papi langsung duduk di kursi tamu tak jauh dari tempatnya berdiri. Aku menghentikan kegiatanku dan mendatangi Papi.

“Ada apa Pi?” Setelah meminta Susan membuatkan minuman untuk kita berdua aku membuka suara. Papi tampak berusaha menyamankan diri dengan tempat duduknya.

“Ini sudah waktunya Zar.” Sahut Papi sambil masih mencari sandaran yang tepat.

“Waktu apa Pi? Apa ada bisnis kita yang sudah deadline?”

“Bukan Zar, ini waktunya kamu menikah.” Kali ini Papi bersandar diposisi awal. Meski sudah berumur Papi masih tampak gagah. Sayangnya sifat perfeksionisnya membuatnya hampir sama dengan kakek-kakek cerewet pada umumnya.

“Apa? menikah?.” Tanyaku tercengang. Sepanjang usiaku ini pertama kalinya Papi menyinggung pernikahan denganku.

Lihat selengkapnya