Jalan Tanpa Tepi

Nurul Fajriani
Chapter #8

Kompromi Hati

Sebentar lagi sore. Kulirik jam tanganku berkali-kali. Kali ini bukan karena aku ingin waktu cepat berlalu. Tapi sebaliknya. Malam ini aku Natasya mengajakku untuk menonton premier. Dia bilang ini akan menjadi langkah awal yang baik untuk hubungan aku dan dia. Namun entah mengapa aku justru merasa takut.

Sudah sangat lama aku tak memulai hubungan baru dengan perempuan manapun. Meski perjodohan adalah pengecualian karena hubungan ini berlandaskan negosiasi. Namun tetap saja aku seakan tak bisa beranjak dari lingkaran yang kubuat sendiri.

Sudah seminggu semenjak pertemuanku dengannya di Hotel Queen dan dia kerap menghubungiku seperti terror. Atau mungkin aku yang berlebihan. Aku hanya tak nyaman dia terus menerus bertanya tentang keadaanku.

Pada akhirnya aku menyetujui ajakan dia malam ini karena aku tahu aku tak bisa selamanya menghindarinya. Aku sudah berjanji padanya untuk mencoba, dan sebagai seorang lelaki yang memegang janji, aku hanya harus berani membuktikannya.

“Pak Zary…” Susan mengetuk pintu. Aku mempersilahkannya masuk. Kali ini dia tak membawa apapun ditangannya.

“Pak, saya akan memundurkan resign saya 1 minggu lebih lama.” Ucap Susan setelah mendekat ke mejaku.

“Bagus. Artinya kau akan resign 2 minggu lagi? Apa sekalian saja kamu tidak usah berhenti?” Jawabku bercanda. Susan mencibir diam-diam. Aku tak melihatnya, tapi aku tahu.

“Saya sudah menemukan calon untuk pengganti saya. Tapi. Saya butuh 1 mingggu lagi untuk melatihnya secara pribadi.” Ucap Susan tegas.

“Aku tahu kamu yang terbaik Susan. Hatiku begitu berat ketika kamu tinggalkan.” Aku tetap menjawabnya dengan candaan. Susan tak menyahut.

“Lalu bagaimana dengan persiapan pernikahanmu?” Tanyaku lagi.

“Memundurkan 1 minggu saya rasa tak akan mengganggu jadwal pernikahan saya pak.” Jawab Susan pasti. Aku mengangguk tanda mengerti. Kali ini masalah sekretaris baru tak lagi mengangguku seperti kemarin-kemarin. Lagipula aku mempercayai kerja Susan, makanya pikiranku bebas terdistraksi oleh hal-hal lain yang tak kalah penting.

“Baiklah Susan. Kupercayakan padamu.” Sahutku sambil tersenyum. Susan mengangguk, kemudian pamit undur diri.

Kulirik jam ditanganku lagi. Waktu menunjukan pukul 5 sore sedangkan aku berjanji menjemput Natasya pukul 7 malam ini. Aku terdiam sebentar sambil memikirkan pengaturan waktu yang tepat. Sudah lama aku tak memasukan jadwal lain selain tidur dan bekerja.

Otakku buntu. Kututup berkas yang belum selesai didepanku. Aku tak bisa mengerjakannya lagi. Kutarik nafas panjang, kakiku melangkah ketepi jendela besar kesukaanku. Kupandangi hiruk pikuk sore persimpangan jalan dibawah gedungku. Kendaraaan saling membunyikan klakson seperti sedang festival.

Mataku terhenti pada sosok perempuan yang sepertinya baru saja keluar dari gedungku. Perempuan itu melangkah membelakangi gedungku. Berhenti dan menoleh kearah  gedung tinggiku dibelakangnya selama beberapa detik, kemudian melanjutkan langkah kembali.

Aku terkesiap, tidak yakin. Aku seperti melihat sosokmu. Kuikuti sosok perempuan itu dengan mataku. Ketika perempuan itu berbelok aku berpindah jendela untuk mengikuti langkah perempuan itu hingga menghilang dari padanganku. Aku menatap kosong pada tempat perempuan itu menghilang. Aku pasti sudah gila. Hanya itu yang bisa kupikirkan.

Matahari sudah makin turun. Aku bergegas meninggalkan kantor dan merasa harus kembali menyegarkan akal sehatku. Aku menyetir mobil kembali ke apartemenku. Sejak Ayah memberiku perusahaan aku sudah meminta untuk tinggal sendiri. Paling tidak apartemen ini satu-satunya tempat dimana aku bisa menyendiri ketika aku butuh sendiri.

Sesampainya di Apartemen aku langsung merebahkan diriku dikasur. Sudah 3 hari aku tak pulang, ingin rasanya istirahat sebentar. Kupandangi layar Hp ku yang tak berhenti berbunyi menerima pesan dari Natasya. Aku mengabaikannya, mataku terasa berat dan aku tertidur.

Aku terbangun pukul setengah 7 malam. Kurang 30 menit dari waktu yang dijanjikan, dan aku tetap tak ingin terburu-buru. Aku bersiap tanpa tergesa. Kupandangi diriku di cermin. Jarang sekali aku memakai pakaian kasual seperti ini. Kutelpon Natasya untuk memintanya duluan ke bioskop dan ternyata dia sudah menunggu disana. Kulirik jam ditanganku, tidak. Aku tidak terlambat, Natasya datang terlalu cepat.

Bioskop cukup ramai. Mungkin karena ini hari sabtu. Muda mudi berseliweran saling bergandengan tangan. Natasnya disebelahku mulai gelisah, aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Kami duduk di café bioskop sambil menunggu film yang akan dimulai setengah jam lagi. Aku memesan minum dan cemilan dan Natasya hanya memesan minum.

“Zar, kamu banyak diam.” Ujar Natasya sambil menyedot minumannya.

“Begitu?” Jawabku seadanya.

“Hem, bagaimana pekerjaanmu? Lancarkah?” Natasya basa-basi. Aku tahu dia sedang berusahan mencari bahan obrolan.

“Kerjaanku baik. Tapi sepertinya aku harus mengganti asisten pribadiku.” Jawabku. Aku merasa harus menghargai usahanya.

“Kenapa? Apa yang lama tidak cukup baik?” Natasya bertanya polos.

“Yang lama sangat baik sekali. Tapi karena dia akan menikah, dia ingin berhenti bekerja.” Natasya terdiam.

“Pernikahan memang luar biasa ya. Bisa mengentikan banyak hal yang bahkan sudah dilakukan sejak lama.” Ucap natasnya setelah beberapa lama terdiam. Aku sendiri tak menjawab. Hanya mengangguk.

“Kamu menginginkan pernikahan seperti apa Zar?” Tanya Natasya lagi. Aku tak langsung menjawab. Kupasang wajah berfikir.

“Aku mengagumi pernikahan Orang tuaku.” Jawabku kemudian.

“Semua orang mengagumi pernikahan orang tuamu zar. Mereka selalu terlihat kompak dan harmonis.” Natasya mengembalikan gelasnya dimeja. “ Tapi apa yang paling kamu ingin contoh dari pernikahan mereka ?” Sambung Natasya lagi.

“Mereka saling mencintai. Pertengkaran mereka tidak pernah besar dan lama. Mereka akan terus saling memaafkan dan tak pernah ingin saling meninggalkan.” Jawabku. Natasya mendengarkan dengan seksama.

“Meskipun awal pertemuan kita tak seperti mereka, tapi kurasa kita bisa saling jatuh cinta secara alami Zar. Kita hanya butuh waktu.” Bibir natasnya menyunggingkan senyum. Kali ini matanya berubah sendu.

“Kelak kita menikah, akan kuusahakan pernikahan kita seperti pernikahan orang tuamu.” Sambungnya lagi. Kupandangi perempuan dihadapanku. Aku tak bisa langsung menjawabnya, aku masih tidak bisa membayangkan kehidupanku nanti dengan seseorang yang baru.

 “Seperti katamu Zar. Kita harus mencobanya. Berikan diri kita kesempatan agar bisa menjadi yang terbaik untuk satu sama lain.” Aku diam. Perkataan perempuan ini menyadarkanku. Dirinya telah siap untuk mencintai dan dicintai. Sebuah hubungan yang ideal, dan tak akan merugikan perasaan lainnya. Tidak seperti cintaku padamu yang terus-terusan kau tolak.

“Kamu benar. Aku akan mencoba yang terbaik. Aku memang tidak begitu baik dalam menjalin hubungan, tapi mungkin saat ini yang bisa kulakukan adalah tidak menjauh darimu.” Aku jujur pada Natasya sejauh apa saat ini aku bisa berjuang. Saat ini, hanya itu. Natasya tersenyum.

“Itupun cukup Zar. Jangan menjauh dariku. Sisanya, biarkan aku yang berjuang untukmu. Aku tahu cinta tidak bisa tumbuh begitu saja. Tapi memberi kesempatan sudah cukup bijak.” Natasnya menyentuh jemariku diatas meja. Hampir saja aku menariknya. Tapi mengingat obrolan kita barusan, kurasa aku harus membiarkannya.

Lihat selengkapnya