“Zary. Jangan lupa malam ini kita bertemu di Queen. Papi sudah mengatur janji dengan keluarga Pak Surya.” Ucap Papi dari telepon. Aku melirik kalender kecil di mejaku.
“Malam ini Pi?” Tanyaku.
“Ya. Jam 8 Malam.” Sahut Papi lagi. Tanpa sempat aku membalas ucapan Papi, terdengar suara telepon yang dimatikan. Kuhela nafas dengan keras. Aku benar-benar lupa dengan janji bertemu keluarga Natasya. Lagipula biasanya Susan yang akan mengingatkanku. Namun kini setiap akan memanggil Susan, aku harus memanggilmu.
Aku menggaruk rambutku hingga kusut. Pikiranku lebih kacau dari sebelumnya. Ini sudah hari ketiga sejak kau bekerja denganku. Tapi aku masih enggan memanggilmu kecuali sangat terpaksa. Kurasa aku semakin tak bisa fokus bekerja. Aku tidak bisa biasa saja. Kuharap aku bisa melakukan sesuatu dengan perasaan ini.
Pintu ruanganku diketuk. Kau membuka pintu dari luar setelah kupersilahkan masuk. Seperti kemarin-kemarin aku tak banyak bicara padamu. Aku bahkan menghindari bertatapan denganmu.
“Ini adalah dokumen dari King centre, saya sudah meninjaunya dan butuh konfirmasi dari bapak.” Kau menyodorkan beberapa dokumen ke hadapanku. Aku mengangguk kecil.
“Malam ini bapak ada janji dengan keluarga di Hotel Queen.” Kau masih berdiri disebelahku. Nada bicara dan sikapmu sudah seperti Susan. Aku tersenyum sendiri, kau benar-benar luar biasa baru 3 hari dan seakan kau menghadirkan Susan disini.
“Reina, jam makan siang ini, apa saya ada agenda?” Tanyaku tanpa menatapmu. Kau terdiam sebentar sambil mengingat sesuatu.
“Tidak ada pak. Apa anda ingin mengatur jadwal makan siang?” Suaramu kali ini benar-benar terdengar familiar dan asing sekaligus.
“Ya. Saya ingin mengatur jadwal makan siang.” Jawabku tegas. Kau mengeluarkan smartphone dari sakumu.
“Baik pak. Dengan siapa bapak ingin makan siang.” Kau bersiap dengan Smartphone mu.
“Denganmu.” Jawabku lagi.
***
Aku dan kau duduk berhadapan di satu meja. Aku memilih restoran jepang dekat kantor agar bisa berjalan kaki. Setelah memesan menu, kau di hadapanku tak menatapku. Kau lebih memilih menatap permukaan meja didepan kita.
“Apa kabar Rein?” Tanyaku setelah lama menatapmu. Kau mengangkat dagumu pelan.
“Saya baik-baik saja Pak Zary.” Ucapmu sambil tersenyum kecil.
“Ehm, Kita sedang diluar kantor. Panggil saja Zary, seperti dulu.” Aku masih menatapmu tenang. Meskipun perasaanku berkecamuk, jantungku masih berdebar. Namun aku harus mengatasinya. Aku tak bisa membiarkanmu terus membuat kerjaku terganggu.
“Baik.” Kau mengangguk kecil. Kemudian diam dan menundukan lagi pandanganmu. Aku ikut terdiam, banyak pertanyaan yang menyeruak dalam kepalaku, namun semua adalah pertanyaan-pertanyaan nostalgia yang tak ingin kutanyakan.
“Bagaimana bisa kamu mendaftar di perusahaanku?” Tanyaku pada akhirnya. Kau menatapku.
“Saya hanya tertarik pada Priambodho Group.” Ucapmu setelah menghela nafas panjang. Aku mengangguk.
“Jadi pada akhirnya kau tertarik pada Priambodho Group? Padahal dulu kamu selalu meremehkanku Rein.” Ucapku tersenyum sinis. Kau menatapku dan ikut tersenyum. Namun tak ada jawaban keluar dari bibirmu.
Kita terus diam sampai makanan kita diantar ke meja kita. Bahkan sampai selesai jam makan pun kau tak mengucapkan sepatah katapun sampai sesampainya kita dikantor. Pada akhirnya percakapan ini menggantung tanpa penyelesaian yang berarti. Kemudian kita kembali pada rutinitas kita masing-masing. Aku pada kesibukanku, kau pada kesibukanmu.
***
Meja makan telah tersusun rapi didalam ruangan VIP restoran Queen yang khusus dipesan keluargaku untuk pertemuan ini. Padahal dulu Kak Zayn tidak sampai harus melakukan hal-hal seperti ini, karena Kak Zayn membawa sendiri Mira kehadapan Papi.
Aku sampai lebih dulu di meja yang telah disiapkan untuk kami. Mami sudah ada di Hotel sejak sore namun saat ini sedang bersama manager restoran. Kulihat Mami mondar mandir di sekitar restoran dan Manager mengikutinya. Padahal tak biasanya aku tepat waktu seperti ini, jika saja aku betah dikantor seperti ketika Susan masih menjadi asistenku.
Seorang perempuan dengan wangi yang tercium dari tempatku duduk menghampiriku.
“Selamat Malam Zary.” Natasnya meletakan jemarinya di bahuku. Aku tersenyum, menyentuh jemarinya dan melepasnya dari bahuku dengan pelan.
“Selamat Malam Natasya.” Ucapku masih tersenyum. Natasya duduk tepat disebelahku.
“Aku senang akhirnya keluarga kita akan bertemu.” Natasya masih tersenyum dengan semangat.
“Jam berapa ini?” Tanyaku pada Natasya.
“jam 7.45 PM” Natasya memperhatikan jam tangan yang melekat dipergelangan tangannya. Dia terdiam seakan menyadari sesuatu.
“Astaga Zary. Kamu datang awal sekali, tumben.” Natasya menepuk lenganku manja. Aku ikut tersenyum. Entah mengapa melihat Natasya yang seperti ini didepanku aku tiba-tiba mengingatmu. Tiba-tiba saja senyummu yang kelam terlintas dibenakku.
“Zar? Apa ada masalah.” Natasya menggoyang lenganku. Aku tersadar dan menatap Natasya yang berwajah heran.
“I am Fine.” Ucapku kembali tersenyum. Natasya terus mengajakku bicara, meski aku meladeninya seadanya namun dia benar-benar terlihat semangat. Obrolan kami berhenti karena Papi dan Mami sudah memasuki ruangan. Setelah Natasya memberikan salam pada mereka, kini mereka yang ngobrol dengan Natasya.
Mami tampak semangat dan Papi sesekali bertanya mengenai perkembangan bisnis Natasya. Kulihat Natasya bisa menangani semua pertanyaan orang tuaku dengan baik. Aku terus memperhatikan obrolan mereka tanpa terlibat didalamnya.
Tepat pukul 8 lewat 5 menit orang tua Natasya muncul. Papi dan Pak Surya bersalaman , begitu juga Mami dan istri Pak Surya. Mereka kemudian sibuk mengobrol basa basi. Natasya sesekali menimpali. Aku lagi-lagi hanya memperhatikan. Acara dimulai setelah Papi menyampaikan bahwa Kak Zayn dan Mira tidak bisa hadir karena sedang perjalanan di Luar negeri, kemudian mulai menjelaskan maksud perkumpulan keluarga ini malam ini.
“Ini benar-benar berita baik.” Ucap Pak Surya. Lelaki itu betubuh lebih pendek dari ayah, senyumnya bijak dan rambutnya banyak memutih. Pak Surya tampak sederhana dengan kemeja biasa yang dikenakannya. Sedangkan istrinya yang berpakaian sedikit berlebihan tersenyum disebelahnya.
“Bagaimana Nak Zary ?” Tanya Pak Surya kepadaku. Aku tergagap karena tak begitu siap dengan perhatian Pak Surya padaku.
“Ah… ya....” Hanya kata itu yang keluar. Melihat itu Papi mengambil alih.
“Kita akan mengadakan pertunangan secepatnya. Zary memang sedikit kikuk pak.” Ucap Papi pada Pak Surya sambil terkekeh kecil. Pak Surya ikut tersenyum.
“Kalau begitu kita bisa menentukan tanggalnya saat ini?” Istri Pak Surya bersuara.
“Kita harus tanyakan itu pada Anak-anak.” Mami akhirnya menyahut. Kemudian semua pandangan tertuju padaku dan Natasya. Natasya terlihat senang dengan semua perhatian itu.
“Tasya akan mengikuti kapanpun Zary Siap. Pah, Mah.” Ucap Natasya pada orang tuanya. Kali ini semua mata hanya terfokus padaku. Kugigit bibirku. Aku benar-benar tidak terbiasa dengan situasi ini.
“Saya akan melihat jadwal saya dulu. Kemudian saya akan menyampaikannya lewat Natasya.” Ucapku tenang. Para orang tua saling berpandangan.
“Baiklah. Agaknya Nak Zary benar-benar sibuk ya.” Ucap Pak Surya pada Papi. Papi mengangguk setuju.
“Perusahaan Zary sedang naik-naiknya Pak, saya rasa kita harus menunggu Zary.” Ucap Papi.
“Tapi Nak Zary , paling tidak beri kepastian dalam minggu-minggu ini, agar kami mudah meyiapkan segala sesuatunya.” Istri Pak Surya kembali bersuara.