Jalan Tanpa Tepi

Nurul Fajriani
Chapter #10

Keputusan Yang Bimbang.

Natasya menggandeng lenganku menuju aula pernikahan. Bukan, ini bukan pernikahanku. Karena Susan dan Suaminya yang sedang duduk di pelaminan. Hari ini resepsi pernikahan Susan dan seluruh kantor diundang ke acara Susan. Sementara natasya bergelayut dilenganku dan tak melepasnya, aku menggerakan mataku untuk mencarimu.

Aku tak menemukanmu bahkan setelah setengah jam aku berada di gedung pernikahan. Natasya terlihat mulai bosan dan merengek mengajakku keluar. Aku tak punya pilihan lain selain menurutinya.

Ketika kulangkahkan kakiku menuruni tangga aula, kau lewat disebelahku. Kau mengenakan gaun pastel yang sederhana. Rambutmu tergerai, matamu yang lentik balas menatapku.

“Selamat siang pak Zary.” Kau menundukan sedikit kepalamu kepadaku dan natasya sebagai tanda hormat. Aku mengangguk kecil, Natasya menjawab salammu.

“Sendiri saja?” Tanyaku terdengar basa-basi, meski sebenarnya aku memang ingin tahu.

“Iya Pak. Saya sendiri.” Kau tersenyum kepada kami berdua. “Saya masuk dulu Pak, Bu…” Kau kembali menundukan kepalamu dan berlalu tanpa sempat kami berkata apapun. Aku terus menatapmu menjauh jika saja natasya tidak menarik lenganku berkali-kali.

“Reina…!” Baru saja kulangkahkan kembali kakiku, seorang lelaki memanggil namamu dengan keras. Aku menatap lelaki yang menurutku cukup tampan itu. Tubuhnya tinggi dan atletis. kurasa dia blesteran karena rambutnya yang terang dan matanya yang abu-abu. Lelaki itu berlari menaiki tangga mengejarmu, dengan spontan aku menoleh kearahmu.

Kau tersenyum ketika membalas pelukan lelaki itu, kalian bercakap-cakap sebentar lalu memasuki aula bersama-sama. Natasya kembali menarik lenganku dan aku kembali melangkah.

Kurasa pikiranku benar. Aku tak perlu terlalu memikirkanmu. Aku bahkan tak seharusnya merasa kecewa lagi karenamu. Sebab aku telah memutuskan untuk mengabaikanmu, meski tidak semudah yang kuinginkan. Jika saja kau tak selalu hadir dalam benakku belakangan ini, jika saja aku tak melihatmu berpelukan dengan lelaki itu.

***

“Pak Zary. Saya sudah menyusun jadwal kosong bapak selama 2 bulan kedepan. Saya harus menyerahkannya berupa lembaran atau saya hanya harus mendiktenya untuk bapak.” Kau berdiri didepanku sambil memeluk map biru di dadamu.

“Tidak perlu. Kirimkan saja ke Email Natasnya.” Jawabku sambil menatapmu.

“Baiklah pak.” Ucapmu kemudian berlalu. Kupandangi punggungmu yang meninggalkanku. Bayangan lelaki itu memelukmu terngiang lagi dalam kepalaku.

Jam kerja sudah selesai sedari tadi, aku bersiap untuk pulang ke Apartemen. Semenjak kau menjadi asistenku aku tak pernah lagi tidur di kantor. kurasa aku masih tak siap kau akan mengurusku seperti Susan mengurusku dulu.

Saat keluar dari ruanganku, kulemparkan pandanganku ke ruanganmu. Kau tampak sedang merapikan beberapa berkas dan bersiap pulang. Kuhentikan langkahku. Aku tidak siap untuk ini. aku bahkan masih terpana dengan setiap gerakan yang kau buat. Meski sudah berkali-kali kukatakan pada diriku untuk tidak melakukannya.

Kulangkahkan kaki menuju ruanganmu. Kau tidak menyadari kehadiranku hingga aku berada dihadapanmu. Kau menatapku seperti aku menatapmu. Kulepas semua yang kubawa ditanganku hingga terhempas ke lantai. Tanganku menelusuri lehermu dan melepas gulungan rambutmu. Dengan sigap kuraih pinggangmu untuk mendekat ketubuhku, kemudian menempelkan bibirku padamu. Kertas-kertas bertebangan, suara musik mulai mengalun pelan…

“Pak Zary?” Kau berdiri dihadapanku. Aku tersadar dari lamunanku. Masih berdiri ditempatku berdiri dengan jaket dan tas ditanganku. Kulayangkan pandangan kesekitarku tampak beberapa karyawan menatapku dengan heran.

“Apa ada masalah Pak?” Tanyamu menatapku heran. Aku tergagap, lamunan tak senonohku tentangmu membuatku salah tingkah. Tanpa berkata apapun aku berlalu meninggalkanmu. Aku malu sekali meski tak ada yang melihat imajinasiku barusan.

Didalam mobil kubenamkan kepalaku pada setir mobil didepanku. Kutubruk setir mobil dengan dahiku berkali-kali. Dering telepon dari natasya yang akhirnya membuatku berhenti.

Hallo?” ucapku pelan.

Babe, aku sudah terima jadwal darimu dah sudah kuberikan pada Papa dan Mama.” Ucap natasya dari telepon.

Good.” Responku singkat.

“Apa akhir bulan ini kita bisa menyelenggarakannya? Kita bisa ambil weekend karena jadwalmu kosong di tanggal itu.”

“Apa itu 3 minggu lagi?” Tanyaku sambil mengingat-ingat.

No Babe. 2 minggu lagi.” Ucap natasya sambil tertawa. Aku tersenyum menyadari sesuatu dari suara tawa natasya. Aku lupa bahwa selama ini aku memiliki natasya, dan harusnya pada natasyalah aku berlari. Bukan untuk membuatmu cemburu seperti kemarin. Tapi karena aku tak ingin tertarik lagi padamu. Aku akan berlari menuju natasya jika perlu.

“Baiklah. 2 minggu lagi kita akan melaksanakannya. Kamu kirimin aku apa saja yang kamu butuhkan ya.” Ucapku lembut, aku harus memperlakukan natasya sebaik mungkin. hanya dia harapanku.

“Uwh.. Babe, kamu yang terbaik. I love You.” Ucap natasya manja. Aku mematung dengan bimbang jawaban apa yang harus kuberikan.

“Ya…” jawabku. Kemudian dengan cepat mematikan telepon darinya. Meski aku ingin berlari pada natasya, tapi aku belum bisa membalas gombalan klise semacam “I Love You” dari Natasya.

Kuletakan Smartphoneku dan menyalakan mesin mobilku. Baru saja akan kuinjak pedal gas ku, kau keluar dari kantor. Kau melonggarkan pakaian kerjamu yang biasanya rapi dan Rambutmu yang biasanya kau gelung ketika di kantor tergerai hingga pinggang. Sambil berjalan pelan kau memainkan Smartphone di tanganmu. Aku menatapmu dari mobilku yang kujalankan pelan dibelakangmu.

Lihat selengkapnya