Jalan Tanpa Tepi

Nurul Fajriani
Chapter #11

Sesuatu yang akhirnya bertemu.

Aku terlambat tiba di bandara karena semalam insomnia menyerangku. Kulihat kau sudah berdiri di gerbang keberangkatan dengan pakaian kerja. Tidak berbeda seperi hari biasanya. Melihatku menghampirimu kau langsung berdiri tegak dan tersenyum seadanya menyapaku.

“Mari saya bawakan koper bapak.” Kau menarik gagang koperku, dengan gerakan tiba-tiba aku menariknya kembali.

“Jangan, biar saya bawa sendiri.” Ucapku dengan sedikit gugup. Pada susan aku tak merasa keberatan seperti ini, tapi padamu atku tak tega membiarkanmu membawa begitu banyak barang sedangkan aku tak membawa apa-apa ditanganku. Kau mengangguk tanda mengerti kemudian melangkah lebih dulu untuk chek in.

Kita memesan kelas bisnis dan duduk berdampingan. Kau begitu tenang disebelahku, sesekali kau melirik kearah jam tangan. Tak lama kemudian kau mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasmu. Tak ada perbincangan yang berarti selama dalam perjalan, aku justru tertidur karena kantuk yang tak bisa ditahan. Ketika sampai, kamu membangunkanku dengan sopan.

“Pak Zary… kita sudah mendarat.” Kau meletakan jemarimu dibahuku hingga aku membuka mataku. Kulihat kau didepanku dengan wajah tersenyum. Aku terdiam sebentar, rasanya aku masih bermimpi.

Kau menungguku hingga benar-benar sadar dan mempersilahkanku keluar duluan. Sementara kau mengurusi barang-barang yang akan dibawa. Aku menurut, namun koperku tetap kubawa sendiri.

Sesampainya di gerbang kedatangan bandara kau terlihat sibuk menelpon, kali ini justru aku yang mengikuti gerakmu. Seorang lelaki dengan setelan jas menghampirimu, kalian tampak mengobrol dengan akrab dan kemudian kalian berjalan menuju kearahku.

Lelaki itu menyapaku dalam bahasa china kemudian membawa semua barang-barang kecuali tas berisi dokumen yang ada padamu. Kau tersenyum padaku dan mengisyaratkan padaku untuk mengikutimu.

Lelaki itu mengantar kita di Hotel mewah dengan arsitektur eropa klasik. Aku sedikit tertegun dengan pilihanmu. Seorang lelaki dengan setelan lengkap memberi isyarat padaku, tampaknya dia manager di hotel ini, terlihat dari tag nama yang ditempel di jasnya.

Follow me sir.” Lelaki itu mengangguk ke arahku, aku membalas dan mengikutinya. Sedangkan kau masih berbincang dengan beberapa karyawan. Lelaki itu membawaku ke kamar suite yang terlalu berlebihan jika kutempati sendiri. Aku duduk sebentar di sofa mewah buatan itali setelah manager hotel yang mengantarku pergi. Perjalanan 12 jam di pesawat membuatku cukup lelah. Kupejamkan mataku sebentar dan wajahmu tiba-tiba terlintas di pikiranku.

“Pak zary. Anda istirahat?” Kau tiba-tiba datang tanpa mengetuk. Sambil membawa tas yang berisi dokumen kau menghampiriku.

“Maaf, saya tahu bapak lelah, tapi ini penting sekali. Saya melakukan perubahan di beberapa persentasi dan bapak harus tahu lebih cepat.” Kau melangkah kearahku dan aku tak bergeming. Wangi tubuhmu tercium olehku. Namun sebisa mungkin aku menahan apapun yang sedang ada dalam pikiranku saat ini.

“Mengubahnya?” Tanyaku perlahan menatapmu. Kau balas menatapku, jantungku berdebar. Tanpa menjawab kau menyodorkan tablet berisi persentasi untuk malam ini.

Mataku tertuju layar tablet yang kau sodorkan. Format yang kau berikan lebih mudah kupahami dan lebih akurat dalam perhitungan. Bahkan melihat satu slide saja aku sudah paham sejauh mana perkembangan yang akan dilaporkan.

“Saya mengubahnya agar lebih efisien dan mudah disampaikan. Dengan format seperti ini kita bisa menghemat waktu persentasi, artinya akan lebih banyak waktu berfikir untuk investor kita.” Kau menjawab setelah melihat reaksiku.

“Baiklah. Terimakasih.” Aku masih melihat ke layar tablet yang kau berikan padaku. Kau tersenyum, kemudian melangkah ke arah pintu.

“Rein…” aku memanggilmu. Kau menoleh dengan segera. “tidak apa-apa. Istirahatlah.” Ucapku menggelengkan kepalaku.

“Baiklah pak. Saya akan kesini 3 jam lagi. Bapak juga… selamat beristirahat.” Kau tersenyum padaku kemudian membalik badanmu menuju pintu. Aku menatapmu sampai menghilang, dengan debar didada yang tak kunjung hilang.

***

Presentasi kali ini berjalan sangat lancar diluar dugaanku. Semua calon investor tampak puas bahkan satu perusahaan langsung menyatakan akan menjalin kerja sama tanpa persyaratan dengan perusahaanku. Tentu saja aku senang sekali, setidaknya perjalanan jauhku kesini tidak sia-sia.

Satu pertemuan kulalui tanpa permasalahan yang berarti. Saat pertemuan selesai kau masih setia mendampingiku hingga kedepan pintu kamarku. Sedikit lama aku terdiam sambil menatapmu yang sedang berdiri tegak dihadapanku. Kau menungguku menutup pintu dan mempersilahkanmu pergi. Aku tepaku pada bibir merah milikmu yang tak pernah kumiliki. Menyadari aku menatapmu demikian, kau berpamitan padaku.

“Saya permisi dulu pak. Besok pagi saya akan datang kembali.” Kau menundukan dagumu dan melangkah. Tanpa kusadari tanganku bergerak menarik lenganmu.

“Mau menemaniku minum sebentar?” Kataku sambil menahan salah tingkah. Kau menatapku sebentar, kemudian tersenyum dan mengangguk. Aku melepas genggaman tanganku. Mempersilahkanmu masuk kedalam kamarku.

Kau memilih duduk di sofa sedangkan aku langsung menuju mini bar dan mengambil sebotol wine dan dua gelas wine yang sudah tersedia. Kau cukup gelisah ketika aku mendekatimu dan duduk disebelahmu. Kutuang minuman untuk kita berdua, kuserahkan satu gelas padamu. Kau menerima dengan tatapan heran. Aku mendesah pelan kemudian mengangkat tinggi gelasku dihadapanmu.

“Untuk keberhasilan kita malam ini.” Ucapku sambil tersenyum. Meski ini hanya sekedar alibi, sebenarnya aku hanya ingin bersamamu lebih lama. Kau seakan bernafas lega dan membalas senyumku.

“untuk malam ini.” Balasmu turut meninggikan gelasmu hingga gelas kita bertemu diudara.

“Kamu tahu Rein. Aku cukup senang awal perjalanan bisnis kita berjalan baik. Biasanya aku tidak sebaik tadi, meskipun tentu saja aku sudah benar-benar baik, maksudku….” Aku terdiam sebentar, aku sadar kata-kataku mulai tak beraturan. “ Rein, terimakasih, kamu membuat pekerjaanku semakin mudah.” Aku menaruh gelasku di meja. Kau hanya membalasku dengan senyuman. Aku memperhatikanmu. Sudah lama aku tak benar-benar melihatmu tersenyum.

Tiba-tiba semua kenangan indah saat dulu aku bersamamu terputar begitu saja dalam benakku. Senyum manis yang dulu kupikir tak akan kutemukan lagi kini sedang terpampang di hadapanku. Waktu seakan berputar pelan saat aku menatapmu. Meskipun senyummu berbeda dengan senyummu saat dulu.

“Rein…” aku memanggilmu dengan pelan dan kau menoleh kearahku. Mata kita bertemu. Kita saling menatap untuk waktu yang cukup lama. Matamu berubah sendu, bibirmu yang merah turut mengambil perhatianku.

“Triiiinggggg…..” Dering handphone mengagetkanku. Kulihat nama Natasya dilayarku. Aku menghela nafas panjang sambil memandangi layar handphone ku. Kau melirik ke layar handphone ku yang terletak diatas meja. Aku menatapmu yang terlihat tidak terlalu nyaman.

“Saya pamit pergi ke kamar saya dulu pak.” Kau meletakan gelasmu dan beranjak dari tempat dudukmu. Tanpa sempat aku menjawab kau sudah berdiri dan melangkah kearah pintu. Aku merasa ragu untuk menahanmu ataupun mengabaikan telepon dari Natasya.

“Halo?” Aku mengangkat telepon dari Natasya setelah melihatmu akhirnya menghilang dari pintuku.

Lihat selengkapnya