Jalan Tanpa Tepi

Nurul Fajriani
Chapter #12

Sebuah Cahaya

Pesta pertunanganku dengan natasya dilaksanakan dengan mewah di Hotel Queen dan mengundang hampir sebagian besar pengusaha dan para elit. Sebelum ini aku meminta maaf dan pengertianmu karena tidak sempat membicarakan ini dengan Papi. Aku tidak bisa begitu saja tiba-tiba membatalkan pertunangan ini sehari sebelumnya atau pada hari H. Keluarga kami dikenal hampir diseluruh kota. Sangat penting menjaga nama keluarga.

 Aku melihatmu di seberang ruangan, mata kita sedari tadi bertemu. Kali ini kau tampak cantik dengan gaun putih dan rambut yang dibiarkan terurai. Aku tersenyum melihat wajah cemburumu yang berdampingan dengan Natasya. Kau mungkin sudah terlatih melihatku dengan Natasya, tapi kali ini memang terlihat berbeda. Mungkin karena kita sudah saling mengakui perasaan masing-masing, maka tak ada lagi yang perlu ditahan.

Natasya terlihat bahagia. Tanpa kau ketahui, aku merasa bersalah pada perempuan ini. Rasa iba yang selama ini selalu ada jika aku berdekatan dengan Natasya semakin membesar hari ini. Aku tidak berpikir panjang ketika berjanji denganmu untuk meninggalkan Natasya nantinya. Perempuan ini sama posisinya denganku pada saat dulu, hanya saja. Aku benar-benar tidak bisa menumbuhkan rasa selain iba dan simpati padanya.

Posesi tukar cincin telah selesai. Selanjutnya adalah acara bebas. Keluarga pak surya tidak terlalu banyak dan keluargaku hanya kami saja dan beberapa sepupu dari Mami. Papi dan Pak surya mengobrol dengan Papi seputar bisnis dan perusahaan. Mami dan Bu surya, entahlah membicarakan apa. Sedangkan Natasya dikerumuni teman-temannya.  Kau berdiri di sudut ruangan ditemani segelas jus jeruk ditanganmu.

Aku berusaha mendatangimu tapi begitu aku mendekat, kau langsung menjauh. Aku mengerti posisimu yang tidak menguntungkan. Tapi aku tak bisa tahan melihatmu jauh dariku, rasanya ingin cepat kudekap dirimu. Aku dan kau terus begitu hingga pesta berakhir.

Aku memintamu menungguku di Hotel Queen karena Mami memintaku mengantar Natasya pulang kerumahnya. Meski menolak pada akhirnya kau tetap menungguku kembali.

 “Bagaimana Rasanya menunggu?” Aku mengagetkanmu dari belakang. Kau yang sedang mengemasi beberapa barang terkejut kemudian menghadapku sambil memajukan bibirmu yang merah.

“Jahat sekali pertanyaannya.” Ucapmu masih cemberut.

“Kamu lebih jahat. Aku menunggumu lebih dari 10 tahun lho.” Aku mencium keningmu. Kau buru-buru mendorongku sambil menoleh kekiri dan kanan.

“Nanti ada yang lihat.” Ucapmu khawatir.

“Cuma karyawan.” Ucapku terus mendekat.

“Iya… karyawan Ibumu.” Kau masih mendorongku. Aku berhenti. Kemudian menarik lenganmu agar mengikutiku. Ada satu kamar yang khusus untuk anggota keluarga kami saja, dan aku membawamu kesana. Kututup pintu, kusandarkan kau dibelakang pintu dan kuciumi bibirmu dengan rindu.

“Zar… aku merasa ini tidak benar.” Ucapmu lirih. Aku berhenti, kemudian menatapmu.

“Iya, ini tidak benar, ini kesalahanmu. Seharusnya kamu menerimaku sejak dulu.” Aku mendekatkan wajahku ke wajahmu, menatap matamu dari jarak yang dekat sekali. Kau membalas tatapanku.

“Maaf…” suaramu masih lirih seperti tadi. Aku tidak tahu kau sengaja atau tidak, tapi darahku berdesir setiap kau bersuara begitu. Kelaki-lakianku seperti diuji, rasanya ingin meremasmu sekarang juga.

“Kamu nakal sekali.” Ucapku menjauh darimu. Aku takut tak bisa mengendalikan diri.

“Kalau begitu saya permisi dulu.” Kau menundukan kepalamu seperti biasanya kemudian menarik gagang pintu disebelahmu. Aku menarikmu lagi dengan gemas.

“Jangan selalu begitu. Kamu mirip sekali dengan Susan. Aku jadi kesal.” Ucapku sambil menggenggam jemarimu. Kau tersenyum.

“Bukannya kamu yang bilang kalau aku harus seperti Ibu Susan?” Kau mengejek.

“Ya… itu dulu… dan juga urai saja rambutmu jika di kantor, pakailah pakaian yang tidak seperti Susan.” Ucapku tergagap.

“Baiklah Pak Zary.” Kau tertawa kecil sambil mengecup pipiku dan menghilang dari balik pintu. Aku terdiam melihatmu pergi. Kusentuh pipi yang kau kecup. Kau tahu? Rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan.

***

Sementara aku baru saja pertunangan, Papi sudah mulai sibuk memindahkan kepemilikan perusahaan kontraktor yang baru saja dimilikinya kepadaku. Aku merasa harus secepatnya menjelaskan ini kepada Papi. Tapi aku tak menemukan waktu yang tepat.

Kau mengerti hal ini dan tak mendesakku sama sekali. Aku menjalani hari lebih indah dari biasanya dengan adanya dirimu. Aku bahkan bisa melupakan perihal kerjaan jika ada kau disisiku. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Tiada hari tanpamu, tiada hari tanpa memelukmu, atau sesekali kecupan yang selalu ingin kudaratkan di bibirmu.

Kau pun semakin hari semakin manis, sikapmu tak lagi Kaku seperti sebelumnya. Kau masih saja mengolokku tentang aku yang memintamu jadi seperti Susan, dan kau dengan sengaja menduplikat perilaku Susan. Karena hanya ingin menuruti perintahku.

“Kenapa kau tidak pergi saja ketika aku memerintahmu dengan hal yang aneh-aneh begitu?” Tanyaku padamu yang bersandar dibahuku. Jam kantor sudah selesai, semua karyawan sudah pulang dan kita berdua menghabiskan sisa waktu untuk bercerita.

“Awalnya, kamu benar-benar menjengkelkan. Aku takut, kamu sudah jadi orang yang aku benci.” Kau memejamkan mata bergelayut dibahuku.

“Orang seperti apa yang kamu benci?” Tanyaku. Kau menoleh kearahku.

“Orang kaya yang sombong dan mudah merendahkan orang lain.” Jawabmu dengan ekspresi kesal. Aku tertawa memeluk kepalamu.

“Aku memang sedang ingin benar benar merendahkamu saat itu. Aku kesal sekali padamu. Aku sudah susah menata hidup tanpamu, tapi kamu datang tiba-tiba seperti itu.” Aku melepas pelukanku.

“Jadi.. Kamu lebih suka aku datang, apa enggak?” Kau kembali menatapku. Kali ini dengan wajah yang meminta jawaban. Aku memalingkan wajahku, menggantungmu tanpa jawaban.

“Jawaaaaaabbb…” Kau mencubit pinggangku. Aku pura-pura kesakitan. Melihatku begitu kau semakin semangat mencubitku. Ketika aku berhasil menangkap tanganmu, kudekatkan lagi tubuhku padamu.

“Aku gak suka… aku cinta….” Bibirku menempel pada telingamu dengan bisikan. Kau menggeliat menjauh dariku. Wajahmu tampak tersenyum, namun kau menyembunyikannya. Aku gemas sekali melihatmu. Kupeluk tubuhmu sekali lagi.

“Jadi. Kenapa kamu gak meninggalkanku? Belum kamu jawab lho.” Tanyaku lagi. Kau yang tadi meronta dari pelukanku kemudian terdiam dengan pertanyaanku.

“Kamu yang minta Zar.” Jawabmu pelan.

“Apa?” Aku memintamu mengulang lagi perkataanmu.

“Kamu yang mintaaaaaa.” Ucapmu sedikit keras.

“Kapan?” Tanyaku cepat.

“Waktu kamu mabuk, aku yang membawamu. Kamu mengigau banyak sekali.” Jawabmu.

“Apa saja?” Aku baru tahu cerita ini, bisa saja kau mengatakan hal-hal yang memalukan selain itu. Kau malah tertawa terbahak-bahak. Bahkan sambil terbatuk.

“Kamu nyebut-nyebut namaku, Kamu rindu aku, aku gak boleh pergi.” Kau tampak menahan tawamu. Aku mengerutkan dahi.

“Apa yang lucu sih?” Aku menatapmu, tak bisa tersenyum.

“Wajahmu saat itu Zar, suaramu. Kamu benar-benar seperti anak-anak. Aku tidak bisa meninggalkanmu.” Kau tersenyum kali ini.

Lihat selengkapnya