Natasya tidak pernah lagi menelponku. Entah karena benar-benar pasrah dengan keputusanku atau memang marah padaku. Percakapan terakhir kita memang tidak begitu baik, meskipun begitu aku tidak punya firasat apapun tentag apa yang akan terjadi kedepannya.
Sesuai saran Kak Zayn aku harus mengumpulkan bukti agar bisa meyakinkan Papi terkait keputusanku untuk membatalkan pertunanganku. Aku mempekerjakan beberapa orang untuk menyelidiki tentang Natasya. Aku tidak tahu apakah caraku benar tapi inilah cara tercepat untuk bisa mmberikan bukti pada Papi.
Malam ini aku berada diapartemen menikmati kesendirianku karena kau sedang kedatangan orangtuamu. Padahal aku meminta padamu agar aku ikut berkumpul dengan keluargamu namun kau menolaknya dengan alasan yang masuk akal, aku belum benar-benar berpisah dari Natasya. Ah, rasanya tak sabar untuk cepat melepaskan diri dari Natasya.
Pikiranku melayang pada Natasya. Dia mungkin gadis manis pada awalnya. Aku benar-benar menaruh simpati yang besar padanya, bahkan aku sempat ingin membahagiakan dia saat itu. Terlebih dia terlihat tulus saat bilang mencintaiku. Dia tidak pernah marah padaku apapun yang kulakukan, dia rela diduakan kalau aku tidak salah. Aku terdiam dengan pikiranku dan merasa aneh dengan itu.
Jika aku mencintai seseorang, aku akan marah jika dia bersama orang lain selain aku, tapi kenapa bagi Natasya itu tidak terlalu penting, apa dia punya maksud lain denganku? Lagipula aku sudah tidak percaya dia mencintaiku seperti yang sering dikatakannya.
“Trinnnnng!Trinnnnng!” Suara telepon genggamku mengagetkanku. Kulihat namamu ada dilayarnya.
“Halo?” Aku mengangkat panggilanmu.
“Zar… tolong….” Suaramu lirih bergantian dengan tangis.
***
Dirumah sakit aku berlari sebisaku, dengan sedikit menerobos orang-orang aku berada di UGD. Aku tergesa-gesa membuka tirai-tirai untuk mencarimu, dan akhirnya kulihat kau dengan beberapa perban di lenganmu sedang duduk diatas kasur rumah sakit.
“Kamu gak papa?” Tanyaku khawatir sambil memeriksa perban di lenganmu.
“Aku gak papa. Ayahku yang agak parah.” Katamu dengan suara gemetar.
“Dimana Ayahmu?” Tanyaku cepat. Kau menggelengkan kepalamu.
“Ayo kita cari.” Kau menggandeng tanganku dan turun dari tempat tidurmu. Kau berjalan pelan sesdikit menyeret kakimu.
“Kamu gak papa? Kuambilkan kursi roda.”Aku bergegas namun kau menarikku. Kau berhenti pada sebuah kamar dan masuk kedalamnya. Didalamnya ada seorang lelaki paruh baya yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Disebelahnya seorang Perempuan yang lebih muda dari Mami menjaganya sambil menangis.
“Ibu, Ayah gimana?” Kau menyentuh bahu perempuan itu. Kondisi perempuan itu tidak terlalu parah. Tidak ada perban, hanya lecet dan memar yang terlihat sudah diobati.
“Kata dokter Ayahmu gak papa Na, mungkin karena syok dan benturan dikepala itu jadi butuh waktu untuk sadar.” Perempuan itu menghapus air matanya dan berusaha tegar. Kau mengusap bahu ibumu dan memeluknya. Perempuan itu menoleh kearahku.
“Saya Zary, temennya Reina Bu.” Aku mencium tangan Ibu Rein, Rein sendiri tampak terkejut. Ibu Rein tersenyum kecil dan mengangguk.
“Bu. Reina keluar bentar ya, mau urus administrasinya.”Ucap Rein mengusap bahu ibunya. Ibunya mengangguk.
Aku dan kau berjalan menyusuri lorong rumah sakit kebagian administrasi yang tidak terlalu jauh. Aku berkali-kali menawarkan kursi roda padamu tapi kau menolak. Setelah menyelesaikannya aku mengajakmu untuk duduk diruang tunggu rumah sakit.
“Apa yang terjadi Rein?” Tanyaku ketika kau sudah duduk dengan tenang.
“Aku gak tau Zar, tapi orang yang melakukan ini terlihat sengaja.” Kau memandang lurus kedepanmu. Ku usap kepalamu dan kau tertunduk.
“Bisa kamu ceritakan detailnya?” Ucapku pelan. Aku mengerti kau mungkin masih syok.
“Aku, Ayah , dan ibu sedang menuju kerestoran untuk makan malam dengan mobil yang aku sewa. Ayah bersikeras ingin mengendarainya, padahal awalnya aku yang seharusnya membawanya. Tapi ketika dipersimpangan, lampu merah menyala. Saat mobil kami berhenti sebuah mobil menabrak belakang mobil kami dengan keras sebanyak 3 kali.” Kau terdiam mengambil nafas panjang.
“Kamu tau Zar, kalau orang tidak sengaja, dia tidak akan melakukannya hingga 3 kali, sekali saja cukup. Sepertinya orang itu ingin memastikan bahwa kami harus benar-benar terluka.” Lanjutmu lagi. Kau tidak terdengar marah, justru terdengar sedih.
“Pelakunya?” Tanyaku.
“Dia melarikan diri cepat sekali. Dan karena tidak banyak kendaraan di tempat kejadian, kurasa tidak ada yang mengejarnya.” Jawabmu.
“Kamu gak mau laporkan kejadian ini ke Polisi”” tanyaku menggenggam tanganmu. Kau menggeleng.
“Aku tidak mau Ayah semakin kerepotan dengan urusan kepolisian. Ayah selama ini sudah bersusah payah hidup tenang. Apalagi sekarang Ayah belum sadar.”
Aku mengusap kepalamu dan menyandarkannya di bahuku. Sambil memikirkan siapa orang yang sengaja melakukan ini padamu. Siapa yang menginginkan keluargamu celaka?
***
Hari ini aku bekerja sendiri karena kau meminta izin untuk menjaga Ayahmu hingga sedikit pulih. Aku berniat memindahkan Ayahmu keruangan VVIP namun kau menolaknya. Tak banyak yang bisa kulakukan kecuali membantumu mencari pelakunya meski tak kau minta. Aku harus melindungimu.
Aku datang kelokasi kejadian dan melihat disekitar, cctv hanya ada di satu sudut dan itupun agak sedikit jauh dari lokasi. Aku menelpon kenalanku di dinas perhubungan dan meminta izin untuk melihat rekaman cctv pada hari itu. Aku sedikit kesusahan pada awalnya karena hari sudah malam dan letak kamera yang cukup jauh.
“Pak, bisa geser agak kesini?” Aku menunjuk ke layar yang memutar kejadian malam itu. Petugas yang mendampingiku tampak mengangguk. Namun aku tak melihat apa-apa selain sebuah mobil yang menabrak mobilmu malam itu. Bahkan plat nomornya telah ditutupi. Kurasa benar ini adalah sebuah kesengajaan.
Selain opini itu, aku kembali ke kantor dengan tangan kosong. Setelah selasai jam kantor aku bergegas menuju rumah sakit dan membawakan makanan untuk keluargamu.kau terlihat senang saat aku datang. Aku langsung menghampiri ibu dan Ayahmu yang sudah terjaga.
“Makasih ya nak Zary.” Ibu Rein tersenyum padaku meski wajahnya masih terlihat khawatir. Aku membalas senyumnya dengan anggukan kecil dikepalaku. Kemudian aku beralih pada Ayahmu.
“Bagaimana keadaan Om?” Tanyaku mendekat kearah kasur.
“Sepertinya sudah mendingan, besok atau lusa sudah boleh pulang.” Ayahmu beringsut dari tidurnya berusaha duduk. Aku membantunya.
“Makasih sudah menjaga anak Om. Rein bilang kamu adalah bos nya?” Ayahmu bersuara lemah. Kuperhatikan wajahnya yang penuh kesederhanaan. Dia mirip sepertimu.
“Iya Om. Tapi saya teman Rein sejak SMA. Jadi…” aku tak meneruskan kalimatku. Kau datang dengan buah-buahan ditanganmu.
“Ayah istirahat saja.” Kau menyandarkan Ayahmu dan menyuapkan sepotong buah kemulutnya. Ayahmu nenurut. Ibumu kemudian mengambil alih. Sedangkan kau menarikku keluar ruangan. Langkahmu sudah terlihat normal daripada sebelumnya.