Proyek Superkuasa Part 2

Bima Kagumi
Chapter #2

Kait Menjerat

Ada 8 kerajaan di benua Artah, ini seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Walaupun ditinggali banyak ras setiap kerajaan pasti memiliki satu mayoritas populasi. Kerajaan Lesjaya cobtohnya, mayoritas populasinya adalah Manusia atau kerajaan lain menyebutnya ras Sulsukian. Di negara lain, Kerajaan Tengoku memiliki mayoritas penduduk ras Tsurajin atau penduduk Lesjaya menyebutnya keturunan suku Maraja. Kerajaan Dogabi berpenduduk mayoritas ras Purum atau Citus. Kerajaan Pandas berpenduduk mayoritas ras Elf. Kerajaan Eastpark berpenduduk mayoritas ras Wearbeast. Kerajaan Coexistia berpenduduk mayoritas ras Vampire. Kerajaan Zoda berpenduduk mayoritas ras Pesuh atau Pessah. Kerajaan Patri berpenduduk mayoritas ras Alv.

Oleh karena ras yang menghuni setiap kerajaan berbeda-beda, mereka tidak memandang ras lain begitu berharga jika dibanding ras sendiri, kaumnya sendiri. Ini bisa dianggap wajar tetapi, di sana terdapat penekanan tak tertulis. Peraturan yang berkenaan dengan perlakuan yang jelas menyudutkan ras lain tidak diatur sama sekali. Selama masa damai ini setiap kerajaan saling memanfaatkan satu sama lain tanpa memandang bahwa ras yang dimanfaatkan memang bermanfaat. Masing-masingnya merasa lebih kuat dalam hal kemiliteran. Jika saja satu kerajaan tidak mau memberikan manfaat sumberdayanya untuk kerajaan lain maka kerajaan lain akan mencari cara untuk mengolah sendiri sumber daya tersebut bahkan jika harus melakukan invasi.

Hal itu menciptakan perang dingin yang berkepanjangan. Masing-masing negara selalu unjuk prestasi seolah ingin menunjukan bahwa negaranya lebih unggul dari yang lainnya. Mereka juga selalu bersikap ramah kepada pengunjung dari negeri luar dengan niat bukan memperlihatkan keramahan tetapi, sikap yang menunjukan bahwa orang asing tidak perlu benar-benar diwaspadai padahal mereka bersikap sebaliknya. “Kamu mata-mata? Silakan masuk, tetapi jika terbukti aku bisa menghentikan kerja sama diantara kita. Mau ribut? Ayo! Kamu kalah aku ambil semuanya.” Itu kira-kira yang mereka katakan.

Di Kerajaan Lesjaya sikap ramah-tamah itu bisa ditemui di banyak tempat termasuk sekolah. Kerajaan Lesjaya menerima warga asing sebagai wisatawan dan untuk menetap secara permanen tetapi, tetap tertulis sebagai warga asing dalam kartu identitasnya. Sekolah-sekolah biasanya melakukan pertukaran siswa antar negara atau menerima warga asing untuk bersekolah sampai selesai dengan kartu identitas sementara. Selama proses itu mereka warga asing akan dijaga dengan ketat.

Sikap-sikap antar negara itu sebetulnya sudah disadari oleh masing-masing negara sebagai sikap yang tidak dibutuhkan. Namun, kewaspadaan dan sikap perlindungan bangsa sendiri tidak bisa dilonggarkan atau dihilangkan. Maka dari itu setiap negara sesungguhnya tidak pernah berniat untuk memata-matai sampai Jiro Kawanaga mendatangi Kerajaan Lesjaya tanpa identitas yang jelas dan dengan polosnya menyebut namanya. Ini membuat warga sekitar waspada meski tidak sampai mengakibatkan kepanikan tetapi, berita tersebut sampai juga kepada Sang Raja sendiri.

Di depan meja bundar dan didengar para mentri, Raja tentu tidak tinggal diam, tetapi dia punya pemikirannya sendiri. Untuk melakukan itu raja tidak bisa begitu saja menunjuk satu pihak hanya karena Jiro menyebut namanya yang berhubungan dengan bangsa Maraja. Bagaimanapun bukti-bukti dibutuhkan. Dia menyebar orang-orangnya. “Selidiki orang ini,” titahnya yang tentu saja secara langsung dipatuhi bawahannya.

Di ruangan kerjanya selama menunggu sambil mengurus dokumen-dokumen yang berdatangan padanya, dia menemukan laporan dari perkembangan perintahnya tersebut. Di sana ada pelayan yang membantu raja merapikan dokumen dan membantu membukakan pintu untuk siapa saja yang ingin masuk. Di depan meja kerjanya terdapat sofa dan di atasnya duduklah Radif di posisi yang malas.

“Panggil Penasihat Lamar,” katanya pada pelayan di belakangnya.

“Baik, Baginda.” Pelayan itu pun pergi.

“Kenapa? Biasanya kau memanggilnya kalau mau diskusi,” kata Radif yang tiba-tiba bersemangat di sofanya.

“Ya, aku mau diskusi. Kuharap kamu bisa meninggalkan tempat ini.”

“Itu tidak bisa. Aku sudah menyukai tempat ini.” Nada Radif keluar seolah mengejek. Raja tampak tidak bisa berbuat banyak hanya menghela napas.

Mulut masih basah, Penasihat Lamar sudah mengetuk pintu. Kedatangannya tidak menghasilkan sesuatu hal yang istimewa, keduanya hanya berbisik. Raja meminta pendapat sebelum keputusannya ditetapkan. Radif tidak tertarik sama sekali selama bisik-bisik itu berlangsung. Namun, kalimat terakhirnya terdengar cukup jelas. Kalimat yang tanpa disadari menyimpulkan hampir seluruh isi percakan barusan. Sebuah kebiasaan yang buruk.

“Begitukah? Baik, baik,” kata si raja.

“Apa itu? Kalau mau berbagi aku bisa membantu, mungkin. Orang-orangku lambat sekali.”

Lihat selengkapnya