Mengikuti orang secara diam-diam tidak sesulit yang dipikirkan jika orang yang diikuti ada dikerumunan. Kamu cukup ikuti saja tak perlu berpura-pura atau sembunyi. Kalau dia mulai sadar barulah sembunyi dengan penyamaran. Jika orang yang diikuti ada di tempat sepi cobalah sembunyi secara natural tidak perlu memaksakan diri lama kelamaan dia pasti curiga. Nah, sebelum itu sapalah dia saat mata saling bertemu. Ini tergantung tujuan kamu mengikuti dia untuk apa. Kalau hanya menggali informasi maka tanya saja.
Berikan wajah seramah mungkin. “Hai.” lalu setelah itu kembali sembunyi dan berpura-puralah ada sesuatu hal yang memang harus dikerjakan di dekat mereka. Itu akan menghapus sedikit kecurigaan dibanding memaksa untuk tidak diketahui.
“Hai.” Ya, mereka juga pasti akan membalasnya dengan kata yang sama karena ini memunculkan situasi canggung. “Di sini dingin sekali ya.”
“Ya, tempat ini kurang mendapat sinar matahari agak gelap juga.”
Dari penampilannya dia masih muda 15 tahun dan yang satunya pun sama seumuran seperti yang tertulis dilaporan. Namun, ada kemungkinan juga dia memakai tubuh pengganti atau menjaga tubuhnya agar tetap awet muda. Tidak disangka dia yang akan membalas terlebih dahulu. Mungkin dia pelayannya si perempuan itu? Dia pendiam atau mungkin sebaliknya?
“Di sini juga sepi sekali. Mau mengobrol? Sambil jalan saja, aku tidak mau menjadi penghalang untuk kalian.” Iya terus jalan bisa berabe kalau malah diam. “Ngomong-ngomong kalian mau kemana?”
“Lebih baik kau tidak terlibat,” balas Bos yang memimpin di depan.
“Aku tidak bermaksud begitu.”
Langsung ditolak ya, tak masalah. Kemungkinan mereka juga sudah tahu, saatnya tahap selanjutnya. “Aku bisa bersantai hari ini. Kalian pernah ke sana?”
“Kemana?” balas Jiro.
“Di samping itu, temboknya agak kusam memang tapi, bagian depannya banyak orang yang takjub. 'Bagaimana bisa desain yang begitu sederhana bisa enak dipandang? Mungkin kesannya bisa terus dingat?' Begitu kata orang-orang. Aku mengencani wanita pertamaku di sana, makanannya enak-enak. Di sana sangat pas untuk …, oh ya, apa hubungan kalian berdua?”
“Aku dan dia? Hm, apa ya? Bisa dibilang kakak-adik.”
“Kakakmu tidak banyak bicara.”
“Tidak, aku kakaknya.”
“Maaf.”
Baik, dia menjawab dengan baik. Bisa ditarik kesimpulan sementara si perempuan itu pelayannya. Dari negara mana dia berasal? Apa dia bangsawan di sana? Kita coba serang dia, apa yang akan dia lakukan kira-kira? Sebelum itu kita bisa mengetahui asal mana seseorang dari namanya. Namun, itu juga bisa dipalsukan olehnya. Aku butuh konfirmasi lebih banyak lagi. Mari uji pengetahuannya.
***
“Cik, mau sampai kapan pak tua ini bercerita?” batin sang panglawan sudah sejak awal tidak nyaman. Ada orang asing yang mengikutinya dan kini dia harus mendengar omong kosongnya. “Atau mungkin tujuan dia sejalan?”
“Pangeran sendirilah yang mengusulkan itu. Pada mulanya memang ini sangat ditentang oleh masyarakat. Bagaimana tidak, petani terancam kehilangan mata pencahariannya saat itu. Tapi, pangeran berhasil meyakinkan para petani bahwa mereka tidak perlu khawatir akan kehilangan mata pencaharian mereka. Semua orang bisa mendapat makanan secara gratis, itu semua berkat pangeran pertama. Dengan syarat, tentu saja dengan syarat, mereka sendirilah yang memproduksi makanan tersebut. Itu sistem yang sudah bagus.”
Orang tua yang datangnya entah darimana ini terus bicara panjang lebar dari topik satu ke topik yang lain. Bicara sombong seolah semua hal datang darinya. Dia hanya bangga akan semua hal yang ada di negaranya sendiri.
“Itu sistem yang bagus. Andai saja pangeran tidak menutup matanya tentulah semua orang tidak akan bahagia,” kata Bos dengan nada yang menyindir.
“Pak, kau ini hidup di taman bunga ya?” celetuk salah satu bawahannya.
“Apa yang ingin kau katakan anak muda?” tanyanya balik.
“Tidak, jika kau tidak mengerti. Aku hanya akan berdoa agar kau tidak pernah mengerti.”
Orang asing ini berpikir dan berhenti bertanya sedang yang lainnya pun tidak melanjutkan. Ada kekosongan di antaranya, Jiro mengisi bagian ini. “Apa kebijakan pangeran pertama ini tidak menurunkan motivasi masyarakat untuk bekerja?”
“Orang bekerja untuk mendapatkan uang, tidak bekerja berarti tidak mendapatkan uang. Orang-orang masih memerlukan uang untuk keseharian mereka entah itu untuk pendidikan, sekolah, buku-buku, sihir harian dan lain-lain. Ada juga, hobi, permainan, liburan. Kau pun merasakannya bukan? Uang itu masih dibutuhkan.” Pak tua ini berhenti bicara lalu berpamitan. “Sampai di sini ya, aku lewat sini. Sampai jumpa lagi.” orang asing ini menunjuk gang di sampingnya. Kemudian dia menghentikan langkahnya dan mulai menjauhkan diri sambil berkata seperti itu.
Keempat orang di kelompok Jiro mengakatakan salam perpisahan secara bersamaan sampai suara yang keluar saling tumpang-tindih. Selama dia bicara dengan topik tanpa arah yang pasti Jiro tidak sadar tingkat kewaspadaannya menurun. Sama seperti yang lainnya, tiga orang yang menuntun Jiro yang seharusnya orang paling waspada malah mengantar orang asing itu ke arah tujuannya. Jiro pun hingga akhir tidak merasa memberikan informasi yang penting.
“Sepertinya dia bukan siapa-siapa. Kemana kita?”
“Sepertinya ya, dia tidak mengikuti lagi.” Bos tampak tidak ragu, dari wajahnya pun tidak menunjukkan permusuhan. Jiro sekarang dipandang sebagai klien di matanya. Namun, bawahannya masih belum bisa melepasnya. “Tidak ada kita di sini,” kata salah satu bawahannya. Nadanya terbilang biasa saja tanpa emosi tetapi, tetap menunjukkan permusuhan.
“Baik, baik, santai saja tak perlu emosi. Sudah kubilang uang kalian akan kukembalikan.”
Setelah lama berjalan mengikuti gang yang dibentuk dari rumah-rumah penduduk di sana, mereka akhirnya sampai di sebuah bangunan semacam rumah hunian yang di sampingnya terdapat banyak tanaman dalam rak-rak raksasa transparan. Rumah itu cukup unik. Bangunan utamanya dikelilingi tembok-tembok yang membentuk jalan ke pintu masuk seolah pemiliknya tidak ingin memperlihatkan sesuatu yang lain.
Selama perjalanan Jiro tidak tahu tempat tujuannya seperti apa meski sudah diberi tahu. Yang Jiro tahu dari yang mereka lakukan untuknya adalah mereka menuntunnya untuk keluar dari kerajaan. Namun, dari kelihatannya mereka bertiga malah pergi lebih dalam bukannya keluar atau ke pinggiran kota yang biasanya tersedia fasilitas umum untuk bepergian keluar kerajaan.
Jiro akhirnya bertanya karena merasa ada yang tidak beres. “Kenapa malah lebih dalam bukannya lokasinya di luar wilayah kerajaan?”
Elvriesh dapat dengan mudah membawa Jiro ke tempat yang dia inginkan. Namun, dia lebih memilih mengikuti ketiga orang ini. Bukan tanpa alasan, seperti yang sudah diketahui di Arqush untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya memerlukan sedikit waktu. Ini tidak memunculkan kesan menyenangkan dalam perjalan tersebut. Sementara, Jiro ingin menikmati perjalanan. Dan alasan lainnya, Jiro ingin tahu bagaimana orang-orang ini bisa tinggal di kerajaan tanpa identitas. Ini salah satu wilayah asing bahkan untuk Fikar.
“Kita tidak bisa keluar kerajaan tanpa identitas yang jelas. Mereka pasti menganggap kita sebagai buronan atau narapidana kabur,” jelas Bos.
“Apa tidak bisa buat identitas palsu?” tanya Jiro lagi.
Bos kebingungan. Dahinya mengkerut mendengar pertanyaan tersebut. “Apa kau bisa memalsukan jiwamu sendiri?”
Jiro sama bingunnya. “Tidak, apa maksudnya itu?”
Percakapan itu menggelitik dua bawahan Bos. “Kau terlalu lama bertapa di gua?” kata salah satunya. “Apa kau punya ibu?” sindir yang satunya lagi. “Bayi yang baru lahir pun punya identitas, setidaknya surat dokter yang menyatakan kamu sudah lahir atau siapa saja membawamu lahir ke dunia ini.”
“Meski kami tidak punya identitas di kerajaan ini, kami tetap memegang identitas dari desa kami. Jangan bilang kau tak punya identitas bahkan akta kelahiran?”