“El, ini hanya keberuntungan. Jika mereka tidak datang yang bisa kulakukan hanya meminta.”
Jiro melewati gang sempit untuk kembali ke keramaian. Tempat itu terasa lebih gelap karena diapit bangunan yang cukup tinggi.
Elvriesh berjalan seperti manusia pada umumnya tetapi, tidak dengan ekspresinya. “Pemikiran Anda memang sempurna, Master. Elvriesh tidak sama sekali berpikir demikian. Elvriesh akan selalu mematuhi perintah Anda,” katanya sambil berjalan.
“Duit udah ada. Ya, pengennya belanja enggak jalan-jalan doang tapi …, enggak tahu juga mau apa. Jadi kita makan-makan dulu aja terus cari penginapan, besoknya kita cari kerjaan. Sepertinya mereka hanya akan pulang sebulan atau tiap semester.”
“Oui, Elvriesh akan mengikuti rencana dan mematuhi perintah Anda, Master. Permintaan Anda akan selalu menjadi prioritas utama.”
Di ujung gang, dia mengambil arah kiri tanpa pertimbangan. Jiro sudah menargetkan tempat makan di seberang jalan tidak jauh dari gang. Namun, dia harus mengambil arah sebaliknya untuk melewati jembatan penyeberangan. Garis-garis cahaya yang melintas cepat di jalanan merupakan salah satu kendaraan berkecepatan 10 kali kecepatan suara. Area jalan adalah area terlarang untuk pejalan kaki.
Jembatan penyeberangan memiliki tinggi yang setara dengan bangunan enam lantai—bangunan tertinggi di tempat itu. Kaki yang menyangga jembatan dibuat zigzag dan lantainya berjalan searah. Setiap dua atau sepasang jembatan terdapat ruang kecil untuk seseorang berseragam merah yang bertugas menjaga jembatan sampai dengan 1500 meter dari tempat itu. Dialah yang menertibkan lalu lintas dan melaporkan apapun yang terjadi di wilayahnya.
Ketika Jiro tidak mengetahui cahaya-cahaya itu ternyata sebuah kendaraan dan dengan sembarang menyeberang penjaga itulah yang menegurnya dan menyarankan jembatan penyeberangan.
“Hati-hati,” seru penjaga itu marah saat Jiro melewatinya di belakang.
Jiro malu dan sedikit tersentak. “Iya, iya, makasih.”
Tempat makan yang mereka tuju memiliki halaman yang cukup luas. Sebagian garis-garis cahaya berhenti di area itu dan orang-orang bermunculan. Area itu dikenal sebagai area persimpangan umum yang dikhususkan untuk para pengendara sementara untuk pejalan kaki ada dua gang yang mengapit tempat makan itu.
Pemiliknya mengetahui banyak hal untuk menjalankan bisnisnya. Dia sengaja membuat desain bangunan dengan banyak area yang terbuka, area hijau, dan kebersihannya selalu terjaga. Tulisan “Rumah Rasa” dapat dilihat di atap, ujung halaman, daftar menu, dan lain-lain. Setiap orang yang memasukinya akan disambut para pelayan dengan ramah.
“Selamat datang di Rumah Rasa.”
Kalimat itu diwajibkan bagi pelayan walaupun sering diabaikan kebayakan orang yang datang.
“Masih ada meja yang kosong, yang dipojokkan kalau ada?”
Pelayan itu melirik ke sisi kirinya sebelum bisa membalas. “Ya, nomor sembilan dan tiga belas, masih kosong, silakan. Pesanannya?”
Jiro balik bertanya karena dia benar-benar tidak tahu. “Aku baru ke sini. Apa ada saran untukku?”
Pelayan itu tampaknya berpikir keras sesaat.
“Oh …, ya …, Saya ingin menyarankan menu yang akhir-akhir ini banyak dipesan tapi ….”
Jiro memotong. “Itu menu favorit? Ya, yang itu aja, dua porsi.”
“Untuk minumannya?”
“Air putih saja.”
Pelayan itu mencatat semuanya dan setelahnya ia memberikan benda tipis bertuliskan nama rumah makan. “Mohon ditunggu,” katanya.
Meja-meja di sana tertata rapi 4 kali 4 dan ruangannya dikokohkan 4 pilar. Jiro langsung menuju meja nomor sembilan di pojok sebelum meja nomor tiga belas. Jiro menginginkan meja di sudut atau di dekatnya karena pemandangannya lebih luas.
“Sepertinya sihir tidak sepraktis yang kubayangkan bahkan rumah makan ini juga menerapkan strategi pengalihan.”
Sistem sihir dan ilmu sihir yang hadir menggunakan sistem tersebut tidak mampu menciptakan keajaiban tanpa kejelasan. Semuanya membutuhkan proses. Piring berisikan sayuran berbalut tepung hadir di setiap meja untuk mengalihkan rasa lapar dan bosan.
“El, kau sudah mengingat setiap sudut benua ini?”