“Selamat pagi, Master.”
Jiro membuka mata dangan kantuk yang masih menempel. Matanya ingin kembali terlelap, tetapi tekadnya untuk hidup menguat. Dia akhirnya beranjak dari tempat tidur, membuka jendela, melihat rumah-rumah tetangga barunya dan menarik napas panjang.
“Selamat pagi dunia.”
Hari ketiga keberadaannya di dunia semangatnya masih tinggi dan keberadaan Elvriesh masih saja terlupakan. Dia memang tidak menganggap Elvriesh sebagai manusia tetapi, membuatnya berdiri semalaman di samping tempat tidurnya, Jiro bisa dikatakan kekurangan sifat kemanusiaan.
“Pagi yang sungguh indah. Suasana menyejukan dari udara, pemandangan yang sungguh elok, matahari merah yang meninggi dengan keagungannya, langit keunguan yang halus bila dipandang, dan awan-awan kemerahan yang mewujudkan kasih sayang dan perlindungan, sesungguhnya satu-satu dari semuanya adalah sesuatu yang Anda ciptakan. Satu-satu dari semuanya hadir untuk kehormatan Anda, Master.”
Elvriesh masih dengan sikap yang sama, berdiri menghadap ke arah masternya dan berkata-kata. Jiro tidak menghentikannya walaupun kata-katanya merusak suasana.
Evriesh bukan makhluk sosial dan tidak bisa diajak bertukar pikiran. Alasan mengapa Jiro menyuruh Elvriesh menunggu kematiannya di akhirat hanyalah upaya untuk mengusirnya. Dia lelah melihat Elvriesh yang selalu menunggu perintah dan terus-menerus mengekor. Meski demikian, Elvrieshlah yang lebih lama menemani masa kecil Jiro daripada ibunya. Pikiran untuk mengganggap tiada keberadaannya adalah sesuatu yang mengganggu dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itulah, Elvriesh lebih cocok mengambil peran sebagai dirinya sendiri.
“El, kau kan malaikat jadi, jangan biarkan orang lain selain diriku mengetahui wujudmu, kecuali aku yang memintanya. Dan kalau pun wujudmu harus terlihat, sembunyikan sayapmu dan perlihatkan dirimu sebagai manusia, mengerti?”
“Oui, Elvriesh memahami keinginan Anda, Master. Elvriesh sebagai malaikat ketiga mengabdikan segala sesuatu yang menjadi kepemilikkan Elvriesh dan sesungguhnya jiwa dan raga ini adalah milik Anda. Anda memiliki hak atas tubuh ini tanpa adanya izin atau apapun, Master.”
Dari kamarnya, kamar yang di sebelah kiri merupakan kamar Kakaknya si tuan rumah dan ruang di kanannya adalah ruang keluarga. Dua tuan rumah lainnya menempati ruangan di seberang; dekat dapur, meja makan dan ruang keluarga. Dari lorong yang terbentuk dua kamar, melewati meja makan dan ruang keluarga terdapat ruang tamu tepat bersebelahan dengan pintu masuk.
“Oh, Adi kamu sudah bangun? Ibu membuat padupada. Habiskan sarapanmu ya, biar cepat sembuh,” ucap seorang wanita yang hendak mengetuk pintu lalu pergi begitu saja.
Fikar Adi Prima itulah nama tubuh barunya dan wanita itu Ibunya Fikar, Rini Kahani. Jika dilihat dari tampilannya, dia layaknya ibu pada umumnya, perempuan berusia 46 tahun tetapi, tampak lebih muda karena dia sering merawat kulitnya. Setelan semacam gaun tipis warna putih pucat menutupi tubuhnya. Wajahnya terlihat bersemangat kala itu.
“Aku pria besar, Bu. Setidaknya, berat badanku bisa membantuku bangun.”
Jiro pergi ke meja makan. Di sana tersedia enam kursi, Ayahnya tuan rumah, Liran Laklan sudah menempati salah satunya sambil melihat hamparan 2 dimensi dan bicara sendiri. Sementara itu, sang Kakak, Putri Alurea, tiduran di sofa ruang keluarga masih dengan pakaian longgarnya.
Rini kembali dari dapur untuk menyajikan makanan lembek warna putih yang ditaburi bubuk coklat dan hitam. Kemudian, dia duduk sambil berkata, “Entah mengapa sekarang kamu lebih sering membahas timbunan lemak itu. Padahal hampir sebulan tidak ada keluhan.”
“Karena timbunan lemak ini aku sulit menghindar. Yah, ini hanya berarti dipukulan.”
Jiro mewarisi seluruh ingatan dan pengalaman Fikar saat mengambil dan menyembuhkan tubuhnya.
Liran merespons dan tertawa. “Iya juga. 10 kali kecepatan suara, Ayah bahkan tak bisa melihat itu datang, tak heran kau dapat nilai tertinggi dalam ilmu sihir.”
“Kakak, kemari! Habiskan sarapanmu!” Rini memanggil Putri setelah menelan sarapannya.
“Sebentar, aku harus melihatnya. Ada ujian hari ini.”
“Ujian? Padahal baru masuk.”
“Yah …, tidak juga, tapi siapa yang tahu? Terkadang, mereka tak bisa ditebak.”