Ketika pertama kali dia berada di rumah Fikar, dia tidak berani bicara keluar rumah, jalan-jalan atau bepergian atau bermain, nongkrong bersama teman-temannya. Namun, itu tidak berarti Fikar hanya diam dan patuh begitu saja. Jiro harus memenuhi perannya sebagai Fikar walaupun hasil akhir sudah terbaca sejak awal. Jiro harus menahan diri dan mematuhi Liran setelah perdebatan. Mungkin, ini akibat dari perkataan dokter, tetapi kekhawatiran dan kalimatnya sedikit berlebihan.
“Hm …. Sebenarnya ini diluar kemampuan saya tetapi, jika dilihat dari proses penyembuhannya dan beberapa hasil pengecekan, saya sarankan beristirahat dulu satu hari dua hari dan jangan terlalu banyak menggunakan sihir.”
Itu kalimat dokter dan ini kalimat Liran. “Tidak, tidak, kau di rumah saja Adi. Jika ada kesalahan penyembuhan kau bisa pingsan di mana saja.”
Di hari kedua ini, keluarga Fikar menerima surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Fikar sudah sembuh total. Itu bukan karangan yang dibuat-buat, tetapi hasil analisa dokter lewat gelang hijau yang dipakai Fikar.
Kedua orang tuanya jelas dalam rasa syukur saat menerima surat itu. Namun, hari-hari yang biasa dilalui Fikar kebanyakan dihabiskan membaca teori untuk menguatkan tubuh dan kemudian dipraktikan. Kabar dari pihak sekolah atau lain-lain yang memberitahukan cidera yang sulit disembuhkan datang tak terhitung jumlahnya. Terkadang, Rini menganggap kabar itu adalah hal biasa tetapi, sekarang benar-benar berbeda. Rini tidak akan pernah menganggap biasa kabar-kabar buruk mengenai anaknya lagi.
“Latihan lagi?” tanya Rini.
Dia melompat dari sofa khawatir. Saat ini, media dalam keadaan mati. Putri dan Liran sudah berangkat, tidak ada di rumah. Keadaan sunyi.
“Ya.” Jiro mengalihkan pandangannya asal. “Tubuhku kaku seharian di rumah. Dan, aku harus berolahraga atau pergi … ke suatu tempatlah.”
Rini beranjak dari sofa ruang tengah lalu membalikan tangannya yang sedang memegang kotak tipis warna biru. “Kamu sebaiknya pergi ke rumah sehat. Di sana bisa sekalian latian juga. Bawa uang?”
Benda biru itu diberi nama resmi akas singkatan dari akar fonemis. Isi dan konsepnya sama dengan media masa. Semua anggota keluarga Fikar dan semua orang di Arqush memilikinya. Alat itu biasa dibawa orang-orang untuk memudahkan kebutuhan sehari-hari atau menyihir, komunikasi jauh dan jika sudah memiliki izin, akas bisa dipakai sebagai kendaraan.
Jiro sudah menjauh ke arah pintu. “Aku masih punya simpanan.”
“Mau ke mana Adi?” Rini sedikit mengeraskan suaranya.
“Ke Pugaran,” balasnya spontan lalu keluar meninggalkan ibunya yang masih berkata-kata. “Jangan terlalu banyak pakai sihir,” katanya.
Pugaran adalah singkatan dari pusat kebugaran. Jiro sebenarnya tidak berencana ke sana, tetapi dia berharap kata itu dapat menghentikan kekhawatiran Rini. Tempat tujuan Jiro adalah tempat latihan yang biasa menjadi tongkrongan Fikar dan teman-temannya setelah lulus dari sekolah. Tempat itu bernama Taranhein, sebuah pulau buatan yang lokasinya sangat jauh di luar wilayah Kerajaan. Jiro tidak memiliki pilihan lain selain pergi ke sana karena pihak kerajaan melarang tempat latihan jenis apapun mengenai praktek sihir kecuali, milik sekolah atau tempat kursus.
Jiro berjalan mengikuti gang yang diapit pagar dan dinding sampai ke jalan besar di ujungnya. Sebuah bangunan yang diberi nama Stasiun Kota Lideran dapat terlihat dari sana. Bangunan itulah yang memberikan kesempatan bagi orang-orang yang belum memiliki izin penggunaan trayek untuk meluncur melebihi kecepatan suara.
Orang-orang di dunia ini memang menggunakan sihir dalam kesehariannya tetapi, tidak semua orang mahir. Sebagian besar penduduk Kerajaan Lesjaya masih menggunakan alat bantu (akas dan lain-lain) untuk menyihir sesuatu. Ditambah lagi, kerajaan menaruh standar tinggi yang membuat warganya kesulitan mendapat izin penggunaan trayek atau hak berkendara melebihi kecepatan suara. Meskipun demikian, tujuan kerajaan sebenarnya baik. Semua itu hanyalah upaya mengurangi penggunaan batu sihir.
Sebagian besar penduduk mencoba percaya pernyataan itu. Namun, alasan utama mengapa tidak ada yang protes adalah karena mereka lebih memilih jalan kaki atau menunggu di stasiun daripada menjadi mahir atau membeli peralatan mahal. Dan, inilah yang sedang dilakukan Jiro sekarang.
Stasiun pada umumnya memiliki bentuk yang sama atau tidak berbeda jauh. Semuanya memiliki satu bangunan memanjang yang difungsikan sebagai penampung kursi tunggu. Para penumpang yang sudah berurusan dengan petugas resepsionis di pintu masuk akan diberikan nomor lamak atau lingkaran aman akselerasi. Kemudian, satu per satu dari mereka akan dipanggil keluar ruangan dan berbaris menempati lingkaran-lingkaran putih yang tersedia di lantai sesuai nomor. Cahaya biru akan menyelubungi setiap orang saat semuanya siap sampai di tempat tujuan.
Taranhein berada di luar kerajaan maka tempat pertama yang harus disinggahi adalah stasiun internasional. Tidak banyak syarat yang diperlukan, mereka hanya perlu memberikan kartu identitas dan sejumlah uang. Kemudian, pihak stasiun akan memberikan surat kunjungan dan lain-lain yang diperlukan.
“Sederhana tetapi, tanpa surat kunjungan, mereka akan ditangkap dan dianggap buron. Itu berlebihan, kalau hilang gimana? Ya, sebenarnya masuk akal mengingat di luar hanya ada monster.”
Di akhir perjalanan, jaraknya masih 15 km jauhnya dari pulau. Setiap orang akan berhenti sebentar untuk mengurus izin masuk.
“Latihan bebas satu jam,” kata Jiro pada petugas yang berdiri di sana sambil memberikan surat kunjungan.
Petugas itu mengambilnya dan berkata, “Mohon ditunggu sesaat.” Setelahnya, dia tidak banyak bicara tetapi, tetap terlihat ramah dengan senyum di wajahnya selagi mencatat. Setelah beberapa kode disalin, dia kemudian mengukir karakter unik dan kode baru lalu menyerahkannya kembali berikut gelang putih bertuliskan “Area Y-37”.
Jiro menerimanya dan memberikan lembar lain yang merupakan uang bernilai 50 duit. “Terima kasih,” ucapnya.
“Silakan.” Kata itu mempersilakan Jiro dan untuk yang lain, dia melanjut, “Selanjutnya.”
Lingkaran tipis di depannya kembali terbentuk. Jiro sudah sampai dalam ketukan ke-3. Pemandangan bergeser dari laut dengan langit biru keunguan menjadi daratan kosong yang luas dengan langit biru cerah dari tabir keamanan.
Sesampainya di pulau, mata Fikar melirik ke kanan dan muncullah cahaya membentuk “07:59:24.2”. Angka-angka tersebut menunjukan waktu sekarang. “Delapan kurang,” ucapnya tidak pada siapapun. Jiro hanya berpikir untuk mengaktifkan peringatan sebelum waktu kepemilikan area latihan habis.
Berikutnya, dia membuka panel cahaya baru hanya sekilas. Lalu, penampakan seorang pria tiba-tiba muncul. Dia berpakaian tanpa lengan dan bawahan longgar warna hitam. “Hai, jumpa lagi! Sehat selal …,” sapa pria itu tetapi, dihentikan dan gerakannya dipercepat. Pria itu tidak lain hanya sebuah rekaman.
Sambil menyiapkan diri, Jiro melompati kalimat-kalimat lalu berhenti di bagian gerakan pemanasan. Selanjutnya, dia menggerakan lehernya mengikuti pria dalam rekaman itu.
Sebetulnya, untuk melakukan praktek sihir, semua orang di Arqush tahu bahwa gerakan tidak diperlukan dan Jiro pun memahami hal ini. Namun, otak menafsirkan beberapa hal dan melakukan gerakan. Karena itulah, pemanasan diperlukan.
Tujuan Jiro datang ke Taranhein adalah melatih kekuatan sihirnya. Sejak awal permintaannya terkabul, Jiro tidak bisa menggunakannya karena memang pada awalnya kekuatan itu bukan miliknya. Kekuatan itu tidak bisa digunakan seperti halnya beberapa gerakan yang tidak bisa dilakukan tanpa mengembangkan otot-otot tertentu sebelumnya. Bayi mampu menggerakan kaki tangannya, tetapi dia belum mampu berjalan. Meski pengalaman Fikar sudah cukup membantu, tetapi membutuhkan waktu lebih banyak untuk kebiasaan baru. Fikar memiliki kekuatan sihir tipe umum sementara Jiro bertipe khusus elemen petir.
Jiro memegang erat akas lalu menarik napas. Kemudian, bola cahaya terbentuk membuat udara terbakar dan menghasilkan ledakan. Jiro memunculkan bola kegaduhan sebagai percobaan pertama.
“Tak banyak yang diharapkan ya.”
Dia membuang kata dan kembali mengalihkan pandangannya ke kanan. “Oh, ya, Elvriesh di rumah ya, pantas saja tak ada kata-kata menyebalkan.”
Masih memegang akas, Jiro membuka lebar kedua tangannya yang tanpa disadari secara bersamaan hampir semua ototnya menegang. Seraya dengan apa yang dia lakukan, bola cahaya hilang dan huruf yang cukup besar muncul. Kemudian, huruf yang lebih kecil menyusul asal tempat dengan bentuk yang tidak konsisten seakan-akan riak air mengguncangnya.
Tubuh Fikar mulai melayang. Tanah yang awalnya padat sedikit basah melunak dan memunculkan pasir hitam. Wajahnya penuh harap, perlahan menarik napas berlaku hati-hati. Dia tidak ingin uji cobanya gagal dan tentu dirinya juga tidak berharap sukses di uji coba pertama. Namun, senang tetaplah senang.
“Ohhh, berhasil.”
Satu kata itu mengakhiri semuanya. “Penggunaan sihir dihentikan. Anda mengabaikan beberapa fonem titah yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang-orang disekitar.” Sebuah peringatan muncul tidak lama setelahnya.
“Terima kasil, akas. Aku berhutang.”
Tanah lunak tertutupi pasir hitam yang berjatuhan. Rasa senangnya redup tetapi, tidak lama. Tangannya bergerak kembali mencobanya terus-menerus dan waktu pun berlalu dengan cepat.
Jiro mulai terbiasa di menit-menit akhir waktu yang telah diatur olehnya. Pasir hitam bergerak sesuai dengan keinginannya. Fonem titah pun mulai konsisten meski masih tercecer. Jiro mementingkan penggunaan huruf satu per satu daripada membuat lingkaran sihir utuh.
Ting!
Bunyi nyaring yang datang dari berbagai sudut mengusik Jiro. Api semangat membuatnya lupa batas diri. Tanpa disadari, lengan yang memegang erat akas sampai dengan leher sudah berubah kehitaman dan kering seperti arang. Jiro menggunakan sedikit energi sihir untuk turun ke permukaan.
Menatap tangannya, Jiro mengeluhkan penggunaan sihir. “Cih, seharusnya pemakaian sihir tidak seperti ini. Apa mereka harus menggunakan alat ini?”
Jiro bisa saja pergi mencari tahu sejarahnya di perpustakaan. Namun, kebaradaannya di Taranhein menandakan dia sedang lari. Begitulah sifatnya dari lahir. Dia memilih liburan daripada memecah masalah.
“Dari mana asalnya tambang batu sihir?” gumamnya masih mengeluh.
Setiap orang yang menggunakan batu sihir untuk melakukan praktek sihir mereka akan menerima efek samping berupa rasa sakit yang luar biasa. Dan dalam penggunaan berlebih, tubuh akan menerima dampak kasat mata dari energi sihir yang dipaksa masuk. Jika terus-menerus dipaksakan beberapa bagian tubuh akan menjadi abu.
Jiro tidak merasakan sakitnya berkat fungsi dari akas yaitu, pengabaian kerusakan. Orang-orang yang mencuri darinya juga menggunakan alat bantu yang sama dengan akas. Tidak hanya itu, semua alat bantu juga memiliki fungsi penyembuhan atau lebih tepatnya pembentukan ulang sehingga efek samping dapat diatasi dengan baik. Namun setelah semuanya, orang melakukan penyembuhan memakai sihir harus pergi ke rumah sehat atau rumah sakit. Jika abai 3 sampai 5 hari, bagian yang sembuhkan tersebut akan luluh layu atau cacat.