Setiap area yang dikhususkan untuk latih tanding seperti lomba perburuan yang dilakukan Fikar dan teman-temannya biasanya selalu berakhir memenuhi hal-hal semacam tradisi menunjuk pemenang. Itulah yang dilakukan Fikar dan teman-temannya. Walaupun tujuan utamanya adalah berlatih untuk mengembangkan sihir dan penguatan tubuh, mereka berlima juga perlu menghibur diri.
Fikar berlima berkumpul menghadap ke sebuah panel cahaya yang menampilkan tabel jumlah buruan. Di sana, nama Satri Fadhuli tertulis paling atas dengan angka perolehan 220. Lalu diikuti Deni, Gawan, Awan, dan Fikar dengan perolehan angka berurutan 190, 80, 75, dan 35.
Satri membusungkan dada menujukkan pemenangnya sambil tersenyum gembira. “Yah, itu mudah. Keroco semua di sini.” Namun, ekspresinya berubah tidak lama setelahnya. “Oh ya enggak ada taruhannya ya?”
Deni yang sedang memperbaiki bajunya yang compang-camping segera berekspresi sama. “Ah, sudah keseringan ya kita sampai lupa tradisi.”
“I-ya ya. Sekarang masing-masing saja kalau begitu,” kata Gawan.
“Tidak, tidak, justru karena itu sudah jadi tradisi apa salahnya tradisinya tetap jalan ya, kan?” Satri meyakinkan.
“Dari awal aku sudah tahu tapi aku tak mau mengingatkan karena keuanganku lesu sekarang,” keluh Awan.
Jiro sependapat. “Apa lagi aku baru keluar rumah sakit.”
“Tapi itu tanggungan orang tua kau ya, kan?”
Satri merasa kemenangannya hampa.
“Harusnya yang ditraktir itu yang baru sembuh,” bela Awan juga untuk dirinya sendiri. “Berhubung dia di bawah … ya kalau diulang juga tidak mungkin naik sih.” Dia mengangkat tangan seakan tidak ada lagi yang bisa dilakukan lalu tertawa kecil.
“Aku lagi sial aja. Semuanya abis sama si Satri. Ayok kalau mau ngulang, penasaran?” Jiro meninggikan suaranya. Dia tidak suka kalimat Awan meski niatnya membela.
“Fikar, aku membelamu?” Awan mencoba tenang. “Tidakkah kau melihatnya, semua orang di sini tahu, kau seharusnya tidak di sini.”
“Kelihatannya sih enggak, huh? Satri?”
“Ah enggak asyik.”
Semangat Satri betul-betul hilang. Perhatiannya beralih ke panel berkat kalimat Deni. “Padahal kau bisa lebih cepat dari itu kan, Gawan?” katanya.
“Dia cuma main-main Den,” sahut Satri.
Gawan, yang berhenti mendengar dari awal, mengambil alih panel cahaya di depannya. Gambar yang semula menampilkan tabel sekarang diisi potongan-potongan dari rekaman. Dia berpikir saatnya mengevaluasi latihan.
“Iya itu pemanasan walau akhirnya bikin susah juga sih.” balas Gawan.
“Beruntung kau Gawan. Mangsa pertama Lamba. Lah aku malah nemu keroconya keroco. Lima poin aja terus,” kata Jiro dibalas tawa.
“Coba lihat.” Awan penasaran. Matanya berpapasan singkat dengan Gawan lalu kembali ke panel.
Jiro tahu maksud Awan. Dengan susah payah dia mencoba menghentikan Gawan. Namun, responsnya lambat. Rekaman beralih dan tampak jelas Jiro terhuyung lalu jatuh. Semua mata tertuju padanya kemudian. Tiga pasang diantaranya bingun memilih kata, tetapi Satri langsung bicara. “Sehat ya kan?”
Jiro menyesali eksperimennya saat itu juga. Meski begitu, dia tetap berusaha menjelaskan demi wajahnya. “Salah perhitungan,” ucapnya mendesah lelah. “Sihir penyebuhan berkalanya terlalu agresif dan seharusnya aku bakar lemaknya secara manual.”
“Itu masih persiapan padahal.”
“Sudah kubilang jangan dipaksakan. Untungnya hanya angka 5, serangga kecil.”
Deni dan Gawan jelas sekali cemas.
“Kau juga pilih yang lembut untuk menilaiku, kan? Gawan?”
Gawan bukan orang yang memutuskan segalanya di komplotan ini, tetapi dia adalah teman paling dekat Fikar di antara yang lainnya. Jiro bisa saja berlatih sendiri dan memilih tidak peduli. Namun, Jiro khawatir akan mempermainkan perasaan Gawan dan yang lainnya.
“Pasti. Walau ya itu tidak merubah apa-apa.” Gawan mengakat bahu lalu mengubah arah pembicaraan. “Untuk sekarang apa perlu kita evaluasi? Atau lewat saja? Lagi pula, ini level 2. Orang ini hanya main-main. Si Deni malah maksa banget lawan bosnya, iya kan?”
“Enggak ada yang pakai strategi kah? Ya kita hanya bergerak agar tidak kaku di rumah.” Awan melangkah dan menghadapkan dirinya ke semua orang di sana. “Abis ini kalian mau makan? Aku pulang saja.”
Empat pasang mata yang menaruh perhatiannya ke Awan sebetulnya setuju bergitu saja, tetapi mulut mereka tetap terbuka.
“Eh! entar, entar, entar aja.” Satri merespons spontan.
“Emangnya ada apa sih di rumah,” susul Deni.
“Iya, buru-buru amat,” tambah Gawan.
“Enggak ada. Cuma mau istirahat, rebahan atau apalah bebas,” balas Awan. “Nanti, kumpul lagi malam ya,” lanjutnya.
Setelah kalimatnya, Awan di kelilingi garis kebiruan yang akhirnya membentuk bola dan terbang ke langit. Perpisahan pun usai. keempatnya kembali ke topiknya Gawan seolah Awan memang tak pernah ada.