Proyek Superkuasa

Bima Kagumi
Chapter #10

Semangat

Hari dimulai kembali dengan awalan bangun tidur. Suasananya hening. Orang-orang masih mencoba kembali terlelap atau bergegas menyiapkan sarapan, tidak cepat-cepat keluar rumah. Jiro membuka mata hanya memastikan apakah semua yang telah dilaluinya hanya mimpi. Terdengar suara Elvriesh yang mengulang kalimat-kalimat sebelumnya. “Selamat pagi, Master ….” Dia masih berdiri di samping tempat tidur, keberadaannya hampir mengubah kesimpulan.

Jiro menghela napas. “Kupikir kematian tidak bisa dianggap mimpi. El!”

“Seperti yang diharapkan dari pemikiran Anda, Master. Elvriesh tidak sama sekali berpikir demikian. Elvriesh akan mengingat kalimat Anda dan takkan pernah melupakannya selama Anda menghendaki,” ucap Evriesh masih datar.

“Lupakan saja itu tak penting. Anggap tak pernah terjadi.”

Sambil mengeluarkan kalimat itu, Jiro menempatkan diri duduk di sisi ranjang. Kini, dia tidak terlalu sulit bergerak. Badannya sudah lebih kecil setelah 5 hari banyak mengonsumsi lemaknya sendiri.

Oui, Master.”

Suasana kembali hening, dia pun menatap Elvriesh di seberang. Sedang Elvriesh hanya berdiri menunggu perintah. “Apa dia pernah bahagia?” pikir Jiro entah ke berapa kalinya.

“El, setelah aku sarapan tunggu depan pagar. Aku mulai bekerja hari ini.”

Oui, Master. Elvriesh memahami perintah Anda. Elvriesh akan mulai bergerak sesuai perintah. Permintaan Anda akan selalu menjadi prioritas utama.”

Elvriesh berkata-kata sambil menundukan kepala. Lalu setelahnya, dia bergeming, sama sekali tidak bergerak bahkan tidak ada napas di sana.

Jiro yang melihatnya menganggap hal itu sudah biasa. Dia beralih pandang dan berdiri lalu mengambil akas-nya di lemari kecil sebelah kiri ranjang dengan tangan kirinya. Selanjutnya, selimut dan kasur melayang seolah mengatur dirinya sendiri hingga rapi. Yang melakukan itu tentu Jiro. Dengan pengalaman milik Fikar, dia bahkan tak perlu melihat. Kaki-kakinya melangkah ke pintu di sudut ruangan seakan-akan ini kesehariannya.

 Di balik pintu itu terdapat satu ruangan memanjang yang disekat menjadi dua. Yang satu adalah ruang ganti yang diisi pakaian mengggantung berbaris cukup rapat di satu sisi dinding. Di sisi yang lain, pola-pola garis menyilang warna hitam menutupi setangah dinding. Kemudian, satu ruangan lainnya adalah ruang kecil yang difungsikan sebagai tempat pembuangan kotoran atau kakus atau toilet.

Jiro sendiri membenci dua ruang itu. Yang satu menghapus kamar mandi dan juga budaya mandi. Yang satunya lagi walau disebut kakus atau toilet tetapi, di dalamnya tidak tersedia kloset baik itu kloset jongkok ataupun kloset yang berlaku internasional di multisemesta, kloset duduk. Meskipun demikian, dua ruangan itu tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Yang dilakukan Jiro di ruangan itu pun bukan hanya mengganti baju tidurnya tetapi juga, membersihkan diri. Mata-mata kecil pada pola garis akan menyorotkan cahaya keemasan bila tuan rumah melepas helai kain terakhir di ruangan itu.

Itulah aktivitas pagi orang-orang di dunia ini. Jiro tidak berusaha membiasakan diri. Dia memiliki pengalaman Fikar yang bergabung dengan dirinya sehingga terbiasa. Namun, kebencian itu tetap berasal dari dirinya. Dan tentunya dalam kondisi itu, kebenciannya tidak berlebihan. Jiro juga mulai puas karena ia bisa menyegarkan diri tanpa perlu berendam, gosok gigi, mandi sabun, keramas, dan sebagainya.

“Berapa kali pun aku melihatnya ini tetap menakjubkan. Jadi teringat alat …, lensa pembersih ya. Tapi itu cukup berbahaya ke kulit manusia.” Jiro berdecak takjub lalu berubah di kalimat akhir. Tubuhnya bergetar seolah takut. “Hanya mengingatnya saja bikin merinding. Bisa-bisanya alat penguliti masal jadi alat bersih-bersih di rumah.”

Sembari berputar-putar tanpa selehai kain, Jiro berusaha memperlihatkan sela-sela di tubuhnya walau itu tak ada artinya. Tanpa usahanya sekalipun, mata-mata itu akan tetap membuat Jiro bersih total termasuk bagian dalam mulut dan giginya walau hanya sedikit yang terbuka. Mata-mata itu juga akan memberikan nutrisi yang dibutuhkan kulit dan rambut. Setelah keluar dari ruangan itu, Jiro diberi jaminan sudah dalam keadaan fit.

Mengesampingkan Elvriesh yang masih berdiri di sana, Jiro menyiapkan diri berpakaian rapi, kemeja dilapisi baju semacam jas warna merah gelap garis hitam. Dia merasa siap sepenuhnya. Suara Rini juga sudah terdengar. Dia lalu berjalan keluar untuk sarapan.

***

Liran setiap harinya selalu menjadi yang pertama duduk di ruang makan masih dengan kebiasaannya menatap lembaran cahaya tipis. Rini juga terbiasa bangun pagi untuk mengolah bahan makanan. Sedang Putri Alurea tidak ada di ruang makan, sofa ataupun di kamarnya. Dia bersekolah dan tidur di asrama. Kedatangannya ke rumah hanya untuk melihat kondisi adiknya.

Ketika Jiro mendekati meja makan, Rini datang dari dapur melayangkan tiga mangkuk. Namanya masih sama, isinya tidak berbeda, hanya warnanya yang berubah. Sepertinya, Rini tidak menganggap spesial hari pertama anaknya bekerja.

Rini tersenyum mengabaikan sarapannya dan melihat Fikar. “Anakku ini sudah tumbuh besar saja.” Dia mencoba mengalihkan perhatian Liran yang terlalu fokus ke panel saat Jiro menyiapkan diri.

“Padahal baru kemarin dia nangis,” sahut Liran bersambut tawa kecil Rini.

“Kapan aku nangis?” tukas Jiro.

Liran menyingkirkan panel cahaya dan menunjukkan tangannya. “Ah, semua bayi nangis. Beratmu dulu 3,1 kilogram, sekecil ini.”

Rini mulai menyentuh sendok, tetapi mulutnya masih bersuara. “Jangan dulu cari rumah tinggal sendiri ya nanti kamarmu kosong di sini.”

Seolah terhipnotis, Jiro dan Liran mengikuti Rini. “Hidupku masih panjang, Bu. Itu takkan datang terlalu cepat,” jawab Jiro. “Ya, ini langkah awal supaya nanti aku bisa mandiri.”

Semua orang tua mungkin seperti itu baik di sini ataupun di Bumi. Mereka bangga ketika anaknya menjadi mandiri. Itu mungkin tujuan mereka membesarkan anak atau hanya tanggung jawab atas hubungan keduanya atau hanya mengikuti kebiasaan orang-orang. Jiro gagal memahami itu semua.

Setelah semua sarapannya masuk perut, Jiro buru-buru keluar rumah mengikuti gelagat Liran. Tidak ada barang bawaan ditangan, papan akas memuat apa-apa yang dibutuhkan keduanya. Rini yang ditinggal sepertinya kehilangan apa yang akan dilakukannya. Namun, dia tidak lupa membenarkan kerah yang hanya alasan mendekati Liran untuk ucapan hati-hati.

“Jangan terburu-buru yah, tapi cepat pulang.”

Liran bingung. “Sepi juga di rumah, aku pasti cepat pulang.”

***

Yusa Purnama, Kakek Fikar adalah seorang kepala sekolah di Harbang. Dia memang sudah lama menunggu cucunya itu. Mendengar Fikar akan masuk Harbang, dia langsung banyak bicara. Sayangnya, Fikar malah masuk kantin bukannya kelas. Namun, dia juga cukup senang dengan itu.

Sekarang, Kakek ini melambai tepat saat Jiro turun di terminal blok K milik Harbang. Dia sepertinya punya banyak waktu luang. “Adi, oiiii …,” panggilnya. Suaranya tidak terlalu keras, tetapi Jiro bisa mendengarnya cukup jelas bahkan dalam jarak sangat jauh ini.

Jiro tidak ingin berurusan dengannya. Wajah lelahnya kemudian tampak, “Kakek, bukannya dia sibuk?” katanya.

Suara itu tidak sampai kerena jarak. Fikar perlu usaha lebih untuk menyampaikan suaranya ke Yusa. Namun, tanpa disadarinya, orang tua itu sudah ada di depannya. Dia bersetelan jas warna abu.

Terminal membentuk lingkaran dengan bangunan ditengahnya yang terlihat seperti piring warna putih. Garis-garis mengelilingi sekitar bangunan tersebut dan setiap beberapa langkah ada area merah yang sangat sulit dimasuki bernama jalur keluar. Ada banyak murid berseragam bermunculan di sana, mereka menundukkan kepala saat tahu di hadapannya adalah Yusa. Jiro hanya melihat sementara Yusa harus membalas hormat mereka meski hanya senyum.

“Eh? Kenapa? Tegang kah? Ya tidak aneh. Adi belum pernah kerja jadi pelayan.” kata Yusa.

Lengan Yusa merangkul Jiro dan mengarahkannya untuk berjalan, tetapi pergerakannya hanya sedikit. Yusa tidak bermaksud demikian. Namun, dia tahu akan ada sedikit masalah ketika Jiro pertama kali masuk Harbang di wilayah blok K. Jiro memang sudah resmi menjadi anggota staf di kantin, tetapi keberadaannya masih baru sehingga staf terminal belum tahu. Itulah alasannya. Dia dikeluarkan dari jalur dan dipanggil staf terminal untuk mengisi buku kunjungan. Namun, Jiro hanya perlu memperlihatnya panel status keterangan anggota staf kantin.

Lihat selengkapnya