Hari perayaan Sabis selalu dirayakan tanggal 24 April dan hari itu jatuh hari ini, Sabtu. Kemarin dan hari ini ditetapkan sebagai hari libur, tidak sedikit siswa yang meninggalkan sekolah. Besok lusanya terutama bagi para peserta diwajibkan hadir kembali. Ini memang sudah menjadi kebiasaan. Sekolah-sekolah termasuk Harbang akan mengadakan perlombaan antarkelas. Seharusnya perlombaan itu diadakan sehari setelah tanggalnya, tetapi karena hari Minggu juga ditetapkan libur, perlombaan dimulai hari Senin.
Aku sendiri tidak pulang atau ya tepatnya tidak ingin. Sabis artinya sambutan besar ilmu sihir tetapi, sekarang lebih diartikan sebagai hari sambutan berkah ilmu sihir. Jadi, hari ini adalah hari menyambut kembali ilmu sihir yang pernah dilakukan dulu. Singkatnya, ini adalah hari bersyukur. Namun, kupikir semua orang boleh mengutarakan rasa syukurnya dimana saja. Ayah Ibu pasti paham juga. Aku tak perlu pulang. Lagi pula, mereka bisa datang diperlombaan nanti.
“Otousan kiite. Watashi no tomodachi minna koko ni. Inori wa doko demo dekiru. Dakara ie ni kaeru no riyuu wa nai. Jibun o koko ni kitara ii ja nai.”
“Ja raishuu Oto ….”
“Ja kiru wa.”
Meski Ayah menghubungiku dan membujuk pulang, aku tetap tak ingin. Lebih dari sebulan yang lalu saat liburan akhir semester, aku pulang sesuai keingin sendiri juga kedua orang tuaku, tetapi yang namanya liburan hanya berlangsung beberapa hari setelahnya kesepian, tidak ada yang bisa dilakukan. Mungkin, aku sendiri masalahnya. Ya aku memang mudah bosan seperti kata orang.
Kakak dan Ibu bisa diajak senang-senang kala bosan, tetapi Kakak juga punya kehidupannya sendiri. Dia juga jarang di rumah. Teman-temannya selalu datang dan mengajaknya keluar. Sebaliknya, aku hanya diam di rumah. Ayah selalu pulang agak malam. Ibu tak bisa diajak keluar. Dia lebih suka di rumah, baca novel atau lainnya. Saking senangnya, kini dia berkacamata.
Di asrama lebih banyak orang daripada di rumah, mereka juga sependapat denganku. Rasi—teman sekamarku—juga yang lainnya Kan, Lika, dan Lina, sekarang bersamaku ke rumah ibadah pagi sekali. Perkiraanku tempat itu akan penuh sesak dan ternyata itu benar. Sebagian besarnya adalah murid sementara staf atau guru-guru sama sekali tidak terlihat. Mereka sudah pulang, menyampai rasa syukurnya bersama keluarga masing-masing. Ya biasanya itu hanya alasan untuk berlibur.
Tidak ada aturan pasti bagaimana caranya bersyukur, itu yang dikatakan para pengurus rumah ibadah. Mereka juga tidak tahu siapa tepatnya yang disembah. Orang-orang yang ada di sini termasuk aku sendiri hanya memahami satu hal yaitu dia yang menciptakan dunia ini dan dia yang memberi berkah ilmu sihir, Gabriel. Dua keberadaan yang kami sembah dan disebut saat memanjatkan doa.
Aku dan temanku berbaris seperti yang lainnya mengelilingi atap bertiang tanpa dinding. Mengepal kedua tangan, memejam, bersyukur dan berdoa. Setelah itu, seperti yang telah direncanakan, aku pergi ke gelanggang. Itu adalah area rerumputan di Harbang yang boleh digunakan sesuka hati untuk olahraga, berlatih atau lain-lain. Murid yang mewakili kelasnya terdapat banyak di sana tetapi, tidak sampai penuh sesak. Mereka membuat kubah-kubah untuk menandai wilayah nyamannya masing-masing. Pak Ace, pelatih layang rintang juga hadir di sana.
Aku, Rasi, Kan, Lina, dan Lika mengikuti ekstrakurikuler yang sama, layang indah. Namun, yang ikut lomba mewakili kelas hanya aku dan Lina. Boleh dikatakan Lina musuhku, tetapi aku tidak benar-benar mengganggap Lina sebagai musuh. Itu sebabnya kami berlatih bersama. Kami berdua juga berjanji untuk bersaing adil dan serius.
“Aki! Kau tahu seberapa pentingnya informasi di medan tempur, karena itulah jangan sungkan bermain rahasia,” kata Lina. Senyumnya masih terbayang meski itu sudah lama. Ya baru beberapa minggu.
Dia memang tanggap dalam memahami maksud orang lain. Dia begitu menawan secara fisik bahkan hatinya, entah berapa banyak lelaki yang melihatnya berlama-lama atau bahkan canggung di dekatnya. Dia juga tipikal orang yang terbuka saat bicara, mungkin karena dia sendiri kesulitan berkata bohong atau bahkan tidak ingin. Sampai sejauh ini, siapapun yang pernah dekat dengannya tidak akan murung atau membencinya.
Pelatih berkata latihan harus dimulai. Kutarik seragam dari ruang penyimpanan dan menggantinya dengan baju yang kupakai. Yang lainnya juga melakukan hal sama tanpa mengulur-ulur. Seragam ini disebut pakaian bebas generasi kedua yang dibuat khusus untuk para atlet layang rintang ataupun layang indah. Pakaiannya memang ketat dan lentur, tetapi ini untuk kemudahan bergerak. Tonjolan-tonjolan atau gelang-gelang yang tersebar di dekat setiap sendi gerak berfungsi sebagai pengontrol arah saat terbang. Helm yang menutup kepala sampai leher berfungsi untuk menahan benturan dan melindungi kesadaran meski tubuh sudah tidak ada.
“Hari ini yang terakhir. Akina masih ingat latihan kemarin, bukan? Semangat!”
Dia selalu memanggilku dengan nama itu tetapi, sebenarnya hubunganku tidak dekat. Tentu saja, statusku hanya murid. Setelah cukup berkata, pelatih duduk lalu mengobrol dengan pembimbing yang baru saja datang. Rasanya aku tak pernah melihat kesibukan mereka.
Latihan masih sama seperti hari sebelumnya. Kami melewati celah sempit, balok-balok, tekanan, dan puing-puing sambil tetap terbang secepat mungkin. Rintangannya tampak banyak dan begitu panjang, tetapi itu hanyalah pengulangan dengan bentuk yang berbeda atau penambahan unsur lain. Semisalnya, celah sempit yang pertama dan beberapa yang di tengah perbedaannya ada pada volume air, tekanan udara atau ditambah bilah, asam atau racun. Tujuannya adalah menguatkan pancaindra untuk menghidar dalam segala macam situasi.
Rintangan yang ada diperlombaan nanti sebenarnya tidak akan sepanjang itu. Hanya saja, rintangannya masih belum jelas bentuknya dan ini hanyalah latihan. Karena itu, catatan latihan dihitung dari cepatnya menyelesaikan satu per satu rintangan.
Catatan terbaikku kemarin 2 detik dan 3 min. Rata-rata dari semua rintangan 3 detik dan hasil akhirnya 1 menit 25 detik 2 min. Catatan terbaiknya Lina 1 menit 29 detik 0 min. Itu berbeda sedikit. Sebetulnya, itu membuatku kecewa karena kulihat dia bermain lebih hati-hati dari sebelumnya. Itu jelas sekali dia mencoba menyembunyikan kemampuannya. Atau mungkin, dia tidak mau kehilangan lengan atau sarapan paginya. Namun, kukira itu tak masalah, tak ada pengaruhnya juga di lomba nanti.
Aku sendiri mencoba semaksimal mungkin karena hari ini latihan yang terakhir di bawah pengawasan pelatih. Aku bahkan sampai memutus dua kaki dan kehilangan cukup banyak darah. Munurut aturan perlombaan, peserta tidak akan diberhentikan selama bagian tubuh tidak hilang sepenuhnya atau leher pesertanya masih tersambung. Rintangan untuk latihan atau lomba tidak merusak sirkuit sihir. Itu luka yang mudah disembuhkan.
Catatanku sekarang 1 menit 23 detik dan 1 min, tidak buruk. Lina juga tidak berbeda jauh. Sepertinya, dia lebih serius kali ini. Dia memang satu level di bawahku, level 3. Namun, semua orang paham itu bukan masalah. Perbedaan satu tingkat tidak akan jauh berbeda. Dan di perlombaan nanti, level tidak akan dipandang karena yang diuji adalah ketangkasan.
Perlombaan dilakukan sampai tiga babak dalam perlombaan layang rintang. Yang pertama babak percobaan. Babak kedua penyisihan dan yang terakhir pemilihan siapa yang cepat dan tangkas atau boleh dikatakan pemilihan siapa yang juara antarkelas. Selanjutnya, juara-juara itu berhak mengikuti perlombaan antarblok atau boleh juga mengundurkan diri.
Tujuanku mengikuti lomba bukan untuk pamer—ya untuk pamer ada—tetapi, lebih ke menikmati masa muda, merawat sirkuit sihir dan mengembangkannya lalu untuk cerita masa dewasa nanti. Hari ini pun ada untuk itu. Serius, menjadi yang tercepat dan melihat wajah kagum orang-orang adalah hal yang luar biasa meskipun aku benci kalimat pujian. Itu seperti ejekan yang dalam.
Latihan tidak berlangsung lama, hanya satu jam lebih. Sebetulnya, waktu latihannya kurang dari itu. Meski tubuhku bisa disembuhkan dengan mudah, batasan tetap ada. Ini tentang pemakaian sihir. Jika terlalu lama memakai sihir atau terlalu banyak, bagian tubuh yang menerima asupan energi sihir dari batu sihir atau akas akan menghitam. Butuh fokus dan waktu untuk memulihkan bagian itu. Pada waktu itulah, latihannya tertunda dan sisanya dipakai istirahat yang agaknya diulur-ulur. Ya itu tergantung yang lainnya. Aku bahkan sampai melepas helm dan membuat kursi santai.
“Oh, Akina kah kukira siapa. Ya siapa lagi yang bisa secepat itu. Kenapa tidak bermain seperti yang lainnya?”