“Pihak keluarga dan kerabat korban tak kuasa menahan tangis ketika mengetahui jenazah Fana, anak berusia 16 tahun yang sebelumnya dilaporkan hilang ….”
Dalam sepekan berita-berita semacam itu selalu tersiar. Korbannya yang tidak sedikit membuat resah orang-orang ditambah pelaku dan motifnya masih belum diketahui. Hari perayaan Sabis yang seharusnya meriah dan menjadi penghibur kini bercampur sedih sebab banyak peserta yang dinyatakan hilang.
Jiro tidak terlalu memerhatikan berita itu, tetapi dia tahu kearah mana pembawa berita bicara. Ketika itu Jiro sedang sangat sibuk menangani siswa-siswa yang berdatangan meski tangannya tidak selincah Senior Nia.
“Kukira di sini akan sepi karena perlombaan sudah dimulai,” katanya,
Nia tidak membalas keluhnya. Sambil tetap menerima lembaran kertas, dia memulai pembicaraan baru. “Kebanyakan yang hilang disekitar sekolah. Fikar rumahmu cukup dekat, bukan?”
“Ya, tapi tempat mainku jauh. Diluar kerajaan loh. Yang semestinya dikhawatirkan itu Senior. Ditambah kebanyakan korbannya perempuan.”
Nia terkekeh. Dia tidak ingin dirinya lebih dikhawatirkan. Namun, yang terjadi selanjutnya bukanlah sesuatu yang dia inginkan. “Bicara apa kau. Aku pernah kerja di BAPKAT. Tak sembangan orang bisa mendekat.”
Jiro baru mendengarnya. Dia duduk dikursinya setelah memberikan pesanan kepada pemilik antrian terakhir. “Oh, Senior pernah jadi pramubakti? Baru dengar.”
Nia pun ikut duduk sama seperti Jiro. Perkataan Jiro benar-benar tepat. Semua orang pasti berpikir begitu. Nia membuat kesalahan. “Enggak, dipelayanan.” Perempuan itu berubah pikiran.
“Itu mah ….”
“Apa? Syaratnya tinggi juga loh.”
Di samping percakapannya, selembar cahaya di sudut tetap bersuara. Mereka masih memerhatikan pembawa berita didalamnya. “Beralih ke berita selanjutnya. Erni seorang siswa yang bersekolah di SEPAS, Sekolah Eksplorasi Pengetahuan Alam dan Sumberdaya, ditemukan tak bernyawa tanpa busana di Sungai Mas.”
“Miris mengetahui pelaku adalah gurunya sendiri.”
Nia lebih dulu mengeluarkan isi pikirannya. “Bejat, bejat …, gurunya sendiri loh.”
Jiro berperasaan sama walau tidak sekuat Nia. Dia tersenyum sinis. “Itulah yang namanya memanfaatkan keadaan.”
“Tapi, Erni itu nama cewek ya.”
Nia beralih topik. Dia tidak bisa menutup kebingungannya ketika mendengar nama itu. “Kenapa pembawa berita mengatakan ‘siswa’ bukannya ‘siswi’?” begitu pikirnya.
“Itu kesesatan yang disebabkan perspektif umum. Siswa itu bisa bermakna laki-laki dan perempuan. Dia tidak salah. Itu seperti berkata jujur untuk menutupi kebohongan.”
Jiro mengatakan sesuatu yang tidak ada. Bicara sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya. Tujuannya adalah terus bicara.
“Apa maksudmu? Kalau jujur berarti mengungkap kebohongan, bukan?”
“Tidak seperti itu Senior. Aku bicara sepatah dua patah kata bukan berarti mengatakan semuanya.”
Nia kembali bingung. “Lantas, apa hubungannya dengan yang tadi?”
“Tidak ada. (Lah?) Ah, kesampingkan itu ada rombongan lagi.”
Jiro kembali berdiri sedang Nia tidak. Rombongan yang dia maksud hanya tiga orang. Salah satu diantaranya adalah seseorang yang dia kenal.
“Fikar kenapa kamu ada di sana?” nadanya heran, tetapi sebenarnya hanya menyapa tidak bermaksud menjelekannya atau menghina.
Ada banyak orang-orang yang Fikar kenal di sekolah ini. Mereka adalah teman sekelasnya sewaktu di Sekolah Dasar. Sama seperti gadis ini, sebagian besarnya tidak tahu kecuali lima orang dan yang sudah bertemu langsung. Mereka bergantian terus datang hanya untuk menyapa bahkan sampai akhir jam sore sebelum waktu pulang atau kembali ke asrama.
Jiro tidak mungkin mengelak melihat teman-temannya yang datang. Dia terikat seharian di sana. Meskipun kelihatannya tidak banyak yang bisa dilakukan, Jiro sebenarnya tidak terus menerus melayani. Sama seperti siswa-siswa yang menikmati menu kantin di sana, Jiro juga menonton di arena meski harus terpotong-potong. Inilah alasan mengapa kantin masih ramai meski perlombaan telah dimulai. Itu seperti memiliki avatar atau tubuh kedua atau karakter lain yang bebas pergi kemana saja.
Malam setelah dia pulang dari sekolah, atas dasar keluhan hari pertama, Jiro membuat permintaan untuk menggandakan dirinya. Namun tentu saja hal ini bukanlah hal mudah. Dia disibukan dengan banyak percobaan setelahnya. Hal tersebut membuat kamarnya dipenuhi mayat. Sebuah pemandangan yang mengerikan yang sayangnya harus dilihat oleh keluarganya.
Ibunya yang datang dengan niat mengajaknya makan malam menjerit ketika pintu dibukanya. “A …, Adi?” kata Rini dengan mulut bergetar. Tidak ada kata-kata yang lain dalam pikirannya. Dalam matanya sosok anaknya itu diragukan.
“Ibu? Kanapa kamu tidak mengetuk pintu?” Jiro sangat terkejut.
“Ibu sudah mengetuknya tapi, tidak ada jawaban.” Rini menegaskan dirinya tidak bersalah. “Apa yang sedang kamu lakukan?”
“Aku mencoba menggandakan diriku,” jawab Jiro mengganggap ringan perkataannya.
“Ibu tak mengerti. Singkirkan …, ah …, apa yang hendak kamu lakukan? Singkirkan dan segera ke bawah.” Rini menggeleng dan menunjuk tumpukan mayat di sudut lalu menghela napasnya. Dia tahu semua tumpukan mayat itu adalah hasil dari fungsi penyembuhan akas milik anaknya itu.
Jiro menuruti keinginan Rini supaya dirinya tidak diganggu lagi selelahnya. Makan malam berlangsung cepat tidak ada sesuatu yang penting selain pembicaraan orang tua dan anak. Keduanya hanya menanyakan kabar pekerjaan anaknya di kantin sekolah begitupun hari-hari sebelumnya.
Keesokan harinya Jiro membawa hasil percobaan dan latihan semalam tidak seperti mimpinya yang hilang segera setelah dia bangun. Sebetulnya, semua itu hanyalah hasil pencocokkan kemampuannya yang dulu dan cara kerja sihir di dunia ini. Dia menggabungkan caranya mengubah berbagai energi dengan caranya mengendalikan benda-benda dengan sihir. Hasilnya, Jiro bisa mengendalikan 10 tubuh dalam satu kesadaran.
Di hari kedua perlombaan ini, dia memakai 5 dari 10 tubuh yang dikuasainya. Dia menyebar tubuhnya di gelanggang dan masuk di lima gelembung yang berbeda. Sementara tubuh utamanya bekerja seperti biasanya.
“Apa kau tidak menonton Fikar?” Nia bersikap tak acuh saat bertanya. Tangannya mengambil lembaran kertas pesanan dan meraba-raba isi etalase. Keduanya tidak saling pandang. Mereka begitu sibuk sampai saling berbalas saja harus ada jeda.