“Ah, itu ubi kapan dipanennya? Udah turun sekarang.”
“Boled mah biasa turun. Eungke sabulan naek dei gera.” Sebuah suara tawa mengisi. “Si Kadrun kamari untung itu. Hanjakal teu meulak engkol ieu mah kalah boled.”
“Kumaha atuh ari kitu?”
“Dahar we kusorangan. Hitut ngaberebet ge kajeun. Arek dahar jeung daging tuh manuk daratang sorangan. Eh, beubeunangan teu?”
“Hese, Pak. Itu burungnya gak mau diem.”
“Heueuh sieuh sieuh we ngarah teu kana pare.”
Itu percakapan terakhir bapak anak yang tak bisa terulang kembali. Sebuah momen dalam kenangan yang terus berputar di kepala Radif saat ini. Dia tidak pernah ingin ingatan ini berlanjut mengalir padanya. Meskipun begitu isi hatinya ternyata berlainan. Dirinya tidak mungkin lagi membalaskan dendam keluarganya. Yang tersisa dalam dirinya sekarang adalah membalas budi kepada orang yang telah membalaskan dendamnya.
Radif masih ingat dengan jelas lautan emosi yang menenggelamkannya di kesempatan hidupnya ini atau setidaknya begitu anggapya. Lautan emosi yang membuatnya tak berdaya dalam kekuasaan orang lain. Radif masih ingat tentang siapa yang menjadi tujuan hidupnya. Hanya dengan mengingat kata-kata itu, emosinya bisa saja meluap-meluap.
“Tidak, aku tak punya dendam hanya saja aku sadar ternyata orang-orang sepertimulah menjadi penopang kehidupan seluruh umat manusia.”
“Aku membakar rumah dan seluruh ladangmu. Aku juga membunuh istri dan anakmu. Apa kau membenciku kerenanya?”
“Seharusnya kamu bersyukur berkatku mereka tidak akan disiksa setelah kematiannya.”
Sebuah suara datang. Matanya yang dipejam terbuka.
“Suan! Mau sampai kapan kamu di sini? Apa kamu tidak berpikir? Begini sebentar lagi perlombaan dimulai. Itu babak akhirnya. Aku harus konsentrasi penuh. Jika kamu ingin bicara ya kita bicara, sekarang. Katakan apa yang mau kamu katakan, sekarang.”
Mendengar suara itu Radif menyadari dari mana asal suara tersebut. Dia adalah Akina Sakaguchi. “Bukan dia yang ingin bicara.”
Radif membalasnya sendiri melalui tubuh Suan. Namun, anak yang baru mencapai usia 18 tahun itu bibirnya tergagap dan mulai kejang. Sosok pria menampakan diri dalam sekejap sebelum tubuh Suan terjatuh. Dia memakai kemeja usang warna biru bergaris yang bagian sampingnya sudah terkoyak tetapi, bersih dari segala noda dan jamur. Radif adalah pria yang menginjak usia 53 tahun berkulit coklat sedikit gelap. Rambutnya sudah memutih dan tubuhnya kurus kira-kira setinggi 170 sentimeter.
Akina tidak terlalu kaget dengan kemunculannya. “Paman. Apa yang Paman mau dari gadis 15 tahun?”
Akina tidak terlalu tinggi sehingga dia sedikit menaikan wajahnya untuk melihat wajah yang sebagiannya ditutupi bulu itu. Sedangkan Radif pandangannya dialihkan ke Suan yang jatuh. Dia tidak cepat-cepat membalas Akina.
“Ah, ini salahmu bicara tiba-tiba. Tubuh anak ini tidak terlatih dengan baik, makannya juga kurang. Oh, ya, aku yang mengambil alih tubuhnya ya karena itulah dia tidak makan. Ya, lupakan saja itu bukan masalah serius. Biarkan dia tidur.”
Akina kelihatannya setuju bahwa itu tidak akan berbahaya untuk Suan dan sekarang bukan waktunya untuk mengkhawatirkan orang lain. Dia membiarkan Radif bicara lurus tanpa ada niatan menimpali. Gadis ini paham situasinya sedang serius. Bahaya ada dihadapannya. Wajahnya menunggu Radif bicara lagi.
“Karena kamu sibuk, kita langsung keintinya saja. Dengar baik-baik, aku tidak mau ada penyesalan.” Radif menegaskan. “Akina kamu tidak berbuat salah tapi …, karena dosa orang lain yang sudah begitu besar …, kamu harus mati untuknya.” Radif memenggal kalimatnya dan setiap dia berhenti kata-katanya ditekan.
Akina sudah tahu arah pembicaraan itu. Ketika tujuan Radif dikonfirmasi Gadis ini sudah memberikan perlawanan. Udara dipecut diarahkan membentuk bilah vertikal dan Akana melontarkan dirinya hingga 30 kilometer jauhnya sebelum bilah mengenai orang tua itu. Dentuman keras tercipta dalam sekejap. Akina mengerahkan seluruh kemampuannya dan mengorbankan bagian perut ke bawah untuk menghubungi pihak keamanan sekolah.
“Aku tak bisa melawannya. Setidaknya saat orang-orang tahu dia pastinya tidak akan melakukan apa-apa.”
Sayangnya semua perlawanan itu tidak berguna. Akina yang semula memandang ke bawah, dalam sekejap tanpa jeda yang disadarinya, kembali ke semula. Dirinya kembali ke tempat dia berdiri sebelumnya. Saat itu juga kebingungan melanda Akina. Namun, gadis ini adalah gadis yang selalu berlatih walaupun malas. Dia dilatih untuk memberikan respons yang cepat. Kata menyerah tidak pernah dipikirkan olehnya. Segala cara dipikirkan olehnya.
“Ini bukan apa-apa, masih belum. Aku hanya perlu jaga jarak.”
Sayangnya, Akina terlalu fokus pada lawannya hingga ia tidak memerhatikan tubuhnya sendiri. Akas yang menopang garis kehidupannya beserta tangan kirinya sudah tidak lagi bersamanya. Rasa sakit lalu menyebar di seluruh tubuhnya. Akina tidak lagi di sana sebelum daging hangus itu terjatuh. Wajahnya beku masih menyimpan kebingungan.
****
“Enggak, enggak …, kamu bisa menggandakan dirimu sendiri menggunakan fitur menyembuhan tapi, itu bakalan jadi beban karena itulah hanya sedikit orang yang menggunakannya. Teknik itu tidak populer. Apa kamu tidak melihatnya? Orang-orang menggunakan tubuh virtual untuk bepergian tanpa pindah tempat. Dan lagi pula, ekstrakurikuler penyiar penyediakan ini. Mereka sudah bekerja keras. Kenapa tidak pakai itu saja?”
“Ya, ya, ya, tapi tubuh virtual bisa diganggu. Ini memang jadi beban juga. Seharusnya aku konsultasi dulu ke Senior. Mungkin ada selusinya?”
“Kamu memang harus memilih diantaranya keduanya sih.”
Sebuah percakapan terdengar tidak jauh dari pintu kantin. Itu terlihat seperti percakapan adik kakak. Keduanya berjalan beriringan. Yang satu lebih pendek berambut gelap berpakaian rapi sejenis kain yang kaku warna biru gelap yang dikancingkan ke samping. Itu adalah setelan rapi yang umum dipakai untuk mereka yang baru lulus sekolah dasar. Satunya lagi seorang gadis yang jauh lebih dewasa darinya. Rambutnya dibelah dua diwarnai coklat memakai kemeja ungu, celana putih, dan baju luar menggantung sampai lutut. Keduanya tidak lain lagi Nia dan Jiro yang kebetulan berpaspasan.
Gadis yang dipanggilnya senior tertawa. “Kamu sudah mencobanya? Kapan?”
“Kemarin,” jawab Jiro.
“Begitu, pantesan kerjamu jadi lambat.” Nia kembali tertawa kecil. “Tapi …, bagus, bagus, itu bagus. Kamu sudah bisa menguasainya. Itu pelajaran tahun kedua di Harbang, bagus, bagus. Kamu bisa melihat teknik ini di pabrik-pabrik, pertanian, tambang, banyak lah. Apa kamu berencana ke sana?”
Jiro membukakan pintu kantin dan keduanya kemudian masuk. “Tidak, aku belum punya gambaran. Tapi, apapun itu asalkan bisa dijalani ya jalani saja,” balas Jiro.
“Ya, terima saja. Mencari pekerjaan itu sulit.”
Jiro paham yang dimaksud Nia. “Yang terakhir sih ini,” candanya mengalihkan pembicaraan. Dia sedang malas mendengar.
Nia menanggapi candaan itu dengan tawa yang ditahan. “Semangat terakhir juga,” balasnya.
Sampailah mereka di depan etalase, keduannya berpisah. Jiro kembali membersihkan etalase itu setelah kemarin cukup dibersihkan. Sedang Nia ke dapur untuk memastikan menu makanan yang sudah siap bisa langsung berada di etalase. Dia juga yang memastikan komunikasi bagian depan dan dapur kantin tetap lancar.
“Ya, semangat penghabisan.” Jiro masih bercanda tetapi, cepat-cepat berhenti. “Eh, jangan terakhir juga. Ini udah kaya mau mati saja.”
“Eh, sembarangan,” timpa Nia spontan.
Kantin di hari terakhir ini dibuka lebih siang. Ini merupakan permintaan kepala sekolah agar siswa-siswanya berkumpul di area perlombaan. Setelah perlombaan selesai kantin akan tetap memiliki waktu sibuk hanya saja sekarang lebih tegas. Kantin akan ditutup pada pukul sebelas siang.
“Kamu mungkin tidak tahu Fikar.” Lanjut Nia.
Jiro penasaran. “Apa?”
“Ini memang yang terakhir. Selanjutnya kamu sendiri di sana.”
Jiro menyayangkan ini harus terjadi. Ini tergambar jelas di wajahnya. “Oh, Senior berarti balik lagi?”
“Ya, aku hanya membimbing anak baru sementara kantin di blok yang agak jauh dari sini ditutup. Jadi jangan buat ini yang terakhir.”
Nia menunjuk Jiro memberikan kabar dan nasihatnya sebelum akhirnya dia masuk ke dapur. Jiro mulai merasa canggung membayangkan hari esok tanpa Nia. Pekerjaannya bersih-bersih terhenti saat itu. Pikirannya dikirim ke lamunan. Namun, ini tidak bertahan lama, kegaduhan datang dari dapur. Tampaknya Nia berselisih dengan seseorang yang kedengarannya bukan anggota staf kantin.
“Senior!” panggil Jiro. Teriakan terdengar setelahnya. Sebuah teriakan yang terhenti seperti terputus. Tidak diragukan lagi ini datang dari Nia.
Jiro dengan cepat menyusul suara itu. Akas dia genggam kuat-kuat. Huruf-huruf melayang di sekitarnya. Pesan darurat siap dikirim ke pihak keamanan sekolah. Suara-suara diubah menjadi penglihatan. Penglihatan pertama paling dekat tidak perlu dipastikan, itu adalah tubuh gadis yang terbelah milik Nia yang sudah tidak di sana. Jiro kemudian melihat lebih luas lagi dan ternyata tidak hanya Nia yang menjadi korban. Ada tiga orang yang tergeletak di dalam sana. Jiro akhirnya tahu seseorang sedang menunggunya.
“Dia menungguku. Dendam atau apa? Enggak, gak kenal.”
Seseorang yang menunggunya adalah seorang pria paruh baya. Pria itu mendengus saat tahu dirinya diketahui. Dinding pemisah dapur hilang seketika saat dia mulai bicara. “Aku memang sudah menyangka kamu berbeda. Aku bisa merasakan nyawa mereka ini, tapi kamu tidak. Seharusnya kamu sudah mati, bukan? Apa tujuanmu sampai mengunci takdir seseorang, sampai mengunci takdir semesta ini?”
“Orang ini tahu Fikar?” gumam Jiro. “Bicara tujuan mungkin mulai dari Bapak dulu baru saya, karena Bapak yang memulainya. Dengan begitu kalau ada yang salah paham saya bisa menjelaskannya.”
Jiro sama sekali tidak mengerti apa yang pria itu bicarakan. Saat ini dia ingin tahu tujuan orang itu dan berusaha meluruskan setelahnya.
“Orang yang bahkan diragukan hidup perlu tahu? Ya, tak apa, tak apa, ya sudah lah …, ini memang tak ada gunanya juga. Yang jelas dirimu ini menghalangiku. Jadi ….” Wajahnya tergores senyum sebelum kalimatnya diucap.
“Musnahlah.”
Pria itu sedikit menggerakan tangannya. Jiro tidak sempat bereaksi, tubuhnya kemudian hancur hingga ke tulang-tulangnya dalam satu kedipan mata. Jelas terlihat pria itu tidak memperdulikan apapun.
“Deriael!” panggil pria itu. “Bersihkan semuanya ya. Kembalikan ke semula.”
“Ya, Tuanku. Perintah telah tuntas.”
Perempuan yang tingginya lebih pendek dari pria itu muncul entah dari mana. Dia memakai gaun putih panjang dan ditutupi kain kuning tembus pandang. Wajahnya yang kurus cantik tidak menunjukan emosi sepikitpun. Ini tidak berbeda dengan Elvriesh.
Kemunculan perempuan itu dibuat tiba-tiba bersamaan dengan hilangnya darah yang mengotori meja kantin. Itu bukan kemampuan untuk memutar waktu tetapi, murni kemampuan fisik seperti halnya menyapu halaman rumah. Kemampuan luar biasa yang bahkan tidak menggeser debu yang sejatinya memang sudah ada di sana. Bau darah dan sisa-sisa makanan baik yang kemarin dan tadi pagi sudah tidak tercium.