Jiro bisa kembali ke Arqush menggunakan tubuh atau identitas baru dan menghindari 59 Radif yang ada di sana. Benua Artah sudah lebih dari cukup untuk menampung 8 kerajaan dan 1,5 miliar kehidupan makhluk cerdas didalamnya. Ini juga hanya memakan kurang dari 20 persen luas benua tersebut. Ini tentu menjadi hal kecil bagi Jiro sebagai orang yang memungkinkan benua itu ada.
Jiro kembali ke Arqush masih memakai tubuh dan identitas milik Fikar supaya mudah dikenali setidaknya oleh salah satu diantara mereka. Tujuannya pergi ke sana pun cukup bersahabat sekadar bertanya, meluruskan, dan memastikan bahwa dirinya tidak akan terlibat dengan mereka. Ini mengartikan bahwa Jiro tidak memasalahkan mereka tinggal di Arqush asalkan tidak mengganggu kehidupannya.
“Mereka di bawah?” gumam Jiro setelah sekilas melihat keadaan rumah yang ada dihadapannya.
Jiro dan Elvriesh menapak kakinya di depan rumah yang dicat warna kuning terlihat sederhana dengan banyak ruang udara. Rumah ini tidak dipagari sehingga orang-orang dapat melihat keindahannya. Halamannya ditutupi rumput-rumput yang dijaga tetap rapi, terawat dengan baik. Ada bata-bata memotong bagian rerumputan itu. Tanaman pendek berbunga ditaruh di sekitar juga ada pohon di samping rumah tersebut.
Ketika Jiro mulai melangkahkan kakinya di bata-bata keluarlah seorang pria dari rumah tersebut. Pria ini adalah salah satu dari 59 Radif. Jiro sedikit terkejut karena rupa-rupanya pemilik rumah langsung sadar akan adanya tamu. “Selamat pagi, Kak!” sapa Jiro.
Radif di sana terlihat di usia sekitar 20-an. Dia tidak mengenakan baju hanya celana hitam longgar dan pelindung bahu yang tampaknya terbuat dari baja. Tampak jelas orang ini siap bertarung jika diperlukan. “Selamat pagi. Siapa Anda ini? Ada maksud apa datang kemari?” balasnya tidak terlihat senang.
Jiro tidak bisa langsung mengatakan tujuannya. Orang ini jelas berbeda dengan orang yang dia temui sebelumnya tetapi, dapat dikatakan orang yang sama. Di sisi lain, Radif juga beranggapan sama kepada Jiro. Radif merasakan kehadiran yang tak asing. Namun, keduanya tidak bisa mengatakannya atau setidaknya untuk sekarang.
“Saya Jiro Kawanaga hanya datang untuk bertamu saja.”
Mendengar jawaban Jiro Radif berpikir sejenak. “Jiro Kawanaga, ya. Maaf, sepertinya tidak ada tamu atas nama itu di daftar tamu. Silakan pergi.”
Jiro tidak terima. “Eh? Kenapa? Bukannya orang-orang ini ingin balas budi? Lah, orangnya di depan, loh ini?” gerutu batinnya. Lalu, dia tertawa ringan. “Saya ragu apa daftar tamunya kosong atau bahkan tidak ada sama sekali.”
“Tempat ini tidak menerima tamu jadi memang tidak ada daftar tamu. Sayang sekali, Anda tidak bisa bertamu ke tempat ini bahkan raja sekalipun.” Radif menyilakan Jiro pergi sekali lagi.
Jiro bersikeras. “Aku punya tujuan sendiri. Aku tak bisa pergi sebelum bertemu setidaknya salah satu diantara orang-orang yang ada di dalam.”
Setelah mendengar perkataan itu, Radif mengangguk-angguk seolah memahami sesuatu. “Kamu memang egois.” Segera setelah kalimatnya, Radif bergerak dengan cepat. Jiro beku saat Radif berdiri tepat didepannya dan berkata-kata. “Kira-kira sampai kapan itu bisa bertahan.”
Selanjutnya semua itu berjalan sangat cepat sampai Jiro terlambat meresponsnya. Radif menarik dua jarinya lalu lengannya terputus dan berubah menjadi pedang dengan mata terbuat dari tulang pengumpil dan tulang hasta. Tebasannya yang terlalu kuat membuat Jiro tak berbentuk lagi. Halaman yang dirawat susah payah berubah menjadi jurang yang gelap. Ratusan rumah berserta isinya dipaksa berpindah.
Itu merupakan kemenangan mutlak. Kemampuannya merupakan warisan dari kehidupan lamanya. Ini telah diperkuat hingga ribuan kali setelah melalui kematian dan ujian begitu juga dengan Radif yang lainnya. Dia berpikir orang dihadapannya juga akan menerima hal-hal semacamnya. Setelah melihat apa yang terjadi, Radif menilai pemikirannya ini ternyata salah. Semangatnya untuk menguji kekuatan tersebut dilepas percuma. Dia merasa kecewa saat itu. Namun, matanya bertemu dengan Elvriesh yang tampak bergeming di atas jurang.
Serangan pun dilanjutkan. Pedang diayun kembali. Gerakan tangannya yang cepat menciptakan gelombang yang kuat untuk menghancurkan bangunan di sekitar. Namun, itu tidak membuat Elvriesh bereaksi sedikitpun. Posisinya tidak berubah. Gaun ungunya masih bersih. Radif tidak berhenti. Setiap tebasan yang dilancarkan kekuatannya dinaikan. Lingkungan berubah dari perkotaan menjadi tanah lapang menyisakan rumah kuning yang kini terselubung penghalang. Meski begitu, Elvriesh tetap diam dengan wajah datarnya.
“Apa kamu tak ingin membalas?” tanya Radif yang mulai lelah diabaikan. “Baiklah, akan aku kerahkan semuanya.”
Pria itu membuang pedangnya lalu memunculkan pedang lainnya. Kini benda itu terbuat dari energi yang merembes keluar dari tubuhnya. Sebuah pedang warna merah darah dengan aura hitam yang dingin dan mendominasi.
“Sebelumnya aku tak mungkin tahu, tetapi sekarang keabadian ditanganku. Pedang ini adalah perwujudan dari seluruh kekuatanku dan juga nyawaku. Terima kasih, karena kamu, aku bisa melihat kemampuan pedang ini.”
Pedang itu melayang mengikuti arahan tangan pemiliknya. Pengendalian yang bagus dapat terlihat dari gerak pedang yang halus. Namun, sebelum pedang tersebut dilepas seseorang muncul dan menghentikan semua gerakan Radif. Dia pria memakai seragam militer lengkap warna abu.
“Mari cukupkan sampai di sana. Keributan ini sudah memakan korban jiwa yang tidak sedikit,” katanya. Pria ini datang sendiri terlihat cukup nyentrik mencoba menarik banyak perhatian dari caranya mendarat.
Radif menoleh walau sedikit kesulitan. “Siapa kamu?”
“Pertanyaan yang bagus,” jawab pria itu sambil menunjuknya lalu mengangkat baretnya. “Saya Sigi Abdi Adikari, Sang Alpha dari wilayah barat. Saya ditugaskan untuk menangkap Anda atas perusakan dan sebagai orang yang bertanggungjawab atas banyaknya korban jiwa di sini.”
“Omong kosong,” ucap Radif bernapas lelah.
Sebelum mulut Sigi selesai bicara, Jiro menyelesaikan permintaannya dan kembali hadir di sana. Elvriesh segera menghampiri dan bicara memenuhi perintah sebelumnya yang berkenaan dengan orang yang berasal dari Bumi. Jiro tidak mendengarnya bagaimanapun laporan itu sudah terlambat. Pandangannya ditebar ke segala arah. Pikirannya dipenuhi pertanyaan.
“Apa yang terjadi El.”
“Oui, Master. Individu Radif Nasirudin telah mengikis tanah dan rumah-rumah dengan segenap kekuatan dan kemampuannya melalui pedang untuk menciptakan lahan kosong yang luas. Sebuah tindakan baik yang terpuji. Atas jasanya lahan ini dapat menjadi lahan yang cocok untuk ditanami pepohonan.”
Jiro tidak mendapat jawaban yang cukup dari Elvriesh sementara di sisi lain juga mendapat situasi yang kurang lebih sama. Sigi mempertanyakan sikap Radif setelah kelimatnya yang terakhir. Dia menguatkan cengkramannya sebab Radif mulai berontak setelah melihat Jiro kembali. Dia sudah kewalahan menahannya, tetapi wajahnya terlihat mencoba untuk tetap tenang.
“Jawab. Kenapa kau melakukan ini? Ada banyak korban jiwa di sini dan kau bilang omong kosong.”
Sigi mengupayakan segalanya setelah tahu ada yang selamat dari perusakan sebelumnya. Sambil menguhubungi atasannya yang memberinya tugas, dia juga mengisyaratkan pada Jiro dan Elvriesh untuk melarikan diri. Sementara itu, Radif mengabaikan Sigi yang mulai berkeringat. Aura merah gelap merembes dari tubuhnya. Dia membakar jiwanya untuk melepas ikatan Sigi. Setelah itu, pedang yang tertahan sebelumnya diarahkan ke Jiro.
“Anak itu terlalu ketakutan sampai tidak bisa bergerak,” pikir Sigi. “AWAS!”
Sigi memekik sembari meluncur ke arah Jiro, benar-benar dengan semua kekuatannya berniat melindungi. Namun, diluar sangkaannya Jiro bergerak menyingkirkan Sigi dengan mudahnya. Sedangkan pedang yang lurus ke arahnya yang bahkan sampai menghacurkan lintasannya tersebut hilang saat mengenai kulitnya.
“Kemampuanku ini termasuk dalam kategori skill aktif. Hati-hati jangan menyerangku secara diam-diam,” kata Jiro mengingatkan Radif dengan nada sarkas. Dia tidak tahu dirinya sudah mati dan dianggap kalah.
Sigi tidak melihat Jiro Kawanaga melainkan Fikar Adi Prima. Dia bisa mengukur sekuat apa Fikar dibanding dirinya. Kesalahan ini disebabkan kesalahan persepsi Sigi. Tubuh Jiro bertumpuk dengan Fikar yang lebih kuat kehadirannya karena Jiro hanya manusia biasa tanpa kemampuannya. Sigi tidak bersalah sama sekali di sana. Apa lagi niatnya memang baik. Hanya saja, ketika orang yang akan dilindunginya malah berniat melindungi, dia tentu saja bingung. Kemarahan bisa saja naik. Bagaimana bisa seseorang bertindak sebodoh itu, pikirnya. Namun, kebingungannya tersebut segera mengecil saat dia melihat benda kecil hitam berbentuk mahkota dan ada yang berputar-putar mengelilinginya.
“Itu crown?” gumam Sigi tampak heran.
Saat Sigi masih memandang Jiro layaknya panutan. Di sisi lain terdengar tawa puas. “Aku kira keroco tapi ternyata kau punya kemampuan juga. Kemari perlihatkan kemampuanmu jika ingin ke bawah saja.” Radif membuat gerakan tangan menaruh sifat sombongnya.
“Aku mengisi posisi sebagai benteng. Jadi aku tak bisa bertarung. Bagaimana kalau kamu saja yang maju. Sampai ada yang kelelahan pemenangnya ditentukan.”
Ini jelas sangat menguntungkan bagi Jiro. Kemampuannya memang bukan untuk bertarung tetapi, lebih ke bertahan dan mengakumulasi energi untuk menyerang. Desain dari kemampuannya tidak memungkinkannya untuk memulai serangan. Radif di seberang sana tahu akan hal ini melalui analisa dan firasatnya. Namun, yang dia inginkan sekarang bukanlah menang atau kalah. Dan kekalahan pun tidak membuatnya rugi malah dia merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk melihat batasannya. Pada akhirnya, Radif tidak bisa menolak tawaran tersebut.
“Baiklah,” balas Radif terlihat sedikit kecawa lalu berpikir dan menunggu sesaat. Dia mengalihkan pandangan ke rumah yang masih utuh. “Ya, mereka juga tidak menghentikanku.”
Sigi yang menyimak sejak dari awal tidak terima pertarungan dilanjutkan. Dia kemudian berteriak. “Jiro Kawanaga!”
Jiro tidak begitu terkejut mengingat Sigi memang berasal dari Bumi. Dia menoleh mempertanyaan teriakan tersebut. “Kamu bukan dari sini. Aku tidak heran kamu mengenalku.”
“Pahlawan nomor 2 dunia memang hebat. Apa Anda datang kemari ….” Sigi masih terengah-engah akibat usahanya yang sebelumnya.
Sambil mendengar Sigi melantur Jiro juga tidak melepas urusannya dengan Radif. Diulurkan tangannya ke depan ia mengisyaratkan Radif memulai serangannya. Di saat yang sama Sigi paham isyarat itu juga mengarah padanya. Segera setelahnya dia berhenti bicara dan menjaga jarak.
Seorang Alpha adalah pelindung di wilayahnya yang dapat bergerak sendiri dan diberikan wewenang untuk menggerakan pasukan atas izin kapten. Tujuan awalnya dia adalah menghentikan pertarungan sementara pasukan yang dia bawa mengamankan warga di sekitar. Namun, seperti kelihatannya, usahanya berakhir gagal. Bilah pedang kembali menggali tanah dan area tanah meluas akibat gelombang serangan yang gagal masuk ke penyimpanan energi Qi milik Jiro.
“Apa yang harus kulakukan? Kapten aku harus apa?”
Sigi mengacak-acak rambutnya sambil membuka lembar cahaya tipis. Dia tidak menghubungi kaptennya. Orang yang dihubunginya berada di bawah kapten. Namun, tampaknya tidak ada jawaban untuk beberapa saat karena kesibukan yang lain. Dia mengerti mengamankan warga juga tidak mudah apa lagi kerusakannya terus bertambah. Di sana pasti banyak dari bawahannya yang melapor.
Tidak lama setelahnya, Sigi yang masih bingung menerima jaring komunikasi dari kapten secara langsung langsung. Lembar cahaya menampilkan sosok pria paruh baya. “Sigi kamu akan menerima bantuan dari para pengungsi, segera selamatkan dua orang itu. Ada 1.200 orang datang ke tempatmu. Dan, selalu bawa senjatamu lain kali.”
Sebelum kalimat Kapten selesai Sigi menerima luapan kekuatan yang berasal dari para pengungsi di SSS Harbang. Level dasar yang ia miliki yang awalnya di level 10 akhir naik ke level 18 awal. Itu adalah penambahan kekuatan 100 persen sebanyak 8 kali. Dia juga mendapat akumulasi kekuatan dan itu membuatnya semakin kuat seiring berjalannya waktu.
Di sisi lain, Radif juga melakukan hal kurang lebih yang sama seperti Sigi dengan memanfaatkan tubuh abadinya. Setiap tebasan yang dia lancarkan semakin kuat. Di sini sangat jelas terlihat dari raut wajahnya, Radif tidak berpikir untuk menang. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah bagaimana melanjutkan serangan demi serangan dengan semua yang dimilikinya. Sedangkan Jiro yang menjadi lawannya hanya diam meniru tingkah Elvriesh sebelumnya.
“Bagaimana caramu mendapatkan semua kekuatan itu?” tanya Jiro dengan tenang.
Radif menghentikan semua serangannya mendengar pertanyaan itu. “Tentu saja Dungeon Master atau …, mungkin, kamu menyebutnya Dewa Matahari, Lucifer, Iblis Bayang …. Kamu converter, ya kan? Dari caramu menahan seranganku.”
Jiro membenarkan anggapan Radif. “Kekuatan ini hanya pinjaman sebelum kami mati dan kamu juga begitukan?” lanjut Radif kembali mengambil kuda-kuda lalu tertawa mengejek.
“Kesampingkan itu …,” ucapnya lagi tetapi dihentikan. Mulutnya yang masih terbuka kehilangan suaranya. Seluruh tubuhnya tiba-tiba terhenti. Sebuah benang-benang tak kasat mata menyelubungi seluruh tubuh Radif.
“Seharusnya kamu tidak boleh memanas-manasi dia lagi. Sekarang serahkan ini pada kami,” kata Sigi.
Ada lebih dari 1000 orang datang ke arah mereka sekarang. Orang-orang itu memakai seragam militer warna hitam bergerak mengepung membentuk lingkaran. Masing-masingnya mendorong lambang-lambang fonem titah. Itu adalah formasi pengikatan yang membuat seseorang kehilangan pikirannya.
Pria itu mengira semuanya sudah selesai melihat bala bantuan sudah datang lalu berkata-kata dengan percaya diri. Nyatanya, Radif masih melihat dan mengamati semuanya hanya saja tubuhnya tidak bisa bergerak. Kemampuannya masih dalam kendali. Sementara, formasi pengikatan masih membutuhkan banyak waktu, dia menunggu dirinya menjadi lebih kuat lagi. Ketika dia kembali bergerak, aura merah terpancar menekan semua orang.