Proyek Superkuasa

Bima Kagumi
Chapter #17

Kesepakatan

Pertarungan yang singkat itu berakhir dengan pemenang yang terikat. Radif benar-benar ditahan hingga menyerupai benda mati. Tubuhnya membeku tak bisa bergerak bahkan jiwanya pun berhenti beraktivitas. Dia terkurung dalam kotak transparan yang merupakan udara yang ikut terikat. Formasi pengikat yang sebelumnya gagal bisa berhasil berkat dukungan dari 4 alpha.

“Yap, baguslah.” Tri menambahkan sesuatu pada kekangan Radif. “Bawa hati-hati, orang ini sangat kuat. Kita tidak tahu tapi kemungkinan orang ini bisa melepaskan diri cepat atau lambat.” Tri sebelumnya menghentikan orang-orang yang mengangkut Radif. Dia menaruh rasa curiga dan khawatir.

Nuri tidak merasa aneh dari tindakan Tri. Sambil mendekat, dia mengajak Tri makan-makan sama seperti katanya pada yang lainnya. Namun, berbeda dengan orang-orang yang disela Tri tersebut, mereka tidak bekerja di bawahnya maka wajar salah satu dari mereka bertanya. “Permisi, boleh saya bertanya yang terhormat alpha wilayah Utara, Tri Langgeng. Apakah yang Anda lakukan terhadap formasi ikatan ini? Mohon maaf jika pertanyaan ini menyinggung Anda.”

“Tak usah kuawatir. Aku hanya menambahkan sedikit keamanan. Kalau-kalau ada orang yang merusak kekangan ini aku akan tahu.”

“Begitu ya, terima kasih perhatiannya. Ini sangatlah berguna. Kalau begitu kami melanjutkan tugas ini.” Setelah kalimat tersebut mereka bergegas lalu menghilang.

Tri kembali pada teman seperjuangannya di belakang. Ketiganya mulai berganti topik.

“O, bentar kesampingkan soal makannya. Di gua gak ada apa-apa, kalian?” tanya Sigi.

Yang lainnya tidak tahu yang dimaksud. “Apa? Kalau nanya jangan dipotong ditengah.”

“Monster, apa lagi. Jangan pura-pura itu hiburan yang nyata.”

“Aku mah cuma … jalan-jalan. Kalau mau main game main aja banyak kok,” kata Nuri. Dia tahu yang dimaksud Sigi. Semua perburuan hewan liar sangat berbahaya bagi sebagian besar orang tetapi, ini dianggap permainan oleh mereka karena keabadian mereka.

“Tapi raja hutan masih ada di sana Tri?” tanya Rabun pada Tri Langgeng.

“Cukup menantang sih Slime. Sihir atau fisik enggak ngaruh,” tambah Sigi.

“Slime agak wah gitu.” Nuri ikut berpendapat.

“Masih ada. Janantan biasanya diem doang enggak bakal bikin kacau tiba-tiba.”

Tri Langgeng selalu ada di posnya kecuali keadaan darurat seperti ini. Atasannya selalu menekannya untuk diam di pos karena keberadaan Janantan sang raja hutan tersebut. Sebenarnya makhluk itu tidak menjadi ancaman untuk Tri. Senjata suci yang dipegangnya dan kemampuan yang bisa dilakukan Janantan membuat pertarungan menjadi percuma. Keduanya tidak bisa saling melukai atau bahkan memukul. Serangan fisik atau sihir tak bisa memberikan luka sama sekali untuk kedua monster ini.

“Apa lu bisa bikin dia gerak ke barat?”

Tri berpikir keras. “Mungkin bisa ya,” jawabnya ragu.

Sigi mendekat lalu memukul pundak Tri. “Usakan lah usahakan. Duluan ya.” itu kata terakhirnya. Sigi berpamitan lebih dulu daripada yang lainnya. Setelah Sigi hilang ketiga yang lainnya segera mengosongkan tempat tersebut.

Keempatnya ada di lahan kosong yang dibuat Radif tidak ada siapapun lagi selain mereka. Tim penyelamat yang masih merupakan anggota militer kerajaan menyisir pinggiran dari lahan kosong itu. Mereka mencari orang yang selamat dari bencana yang ditimbulkan Radif.

Walaupun keempatnya dipisahkan kewajibannya sebagai alpha di wilayah masing-masing, mereka masih memiliki ikatan pertemanan yang kuat. Di kehidupan sebelumnya mereka tidak saling kenal dan tidak memungkinkan saling mengenal. Kehidupannya yang sekarang terlihat akrab sebagai kawan senasib, sebagai orang yang ditinggalkan atau begitu perasaan mereka yang timbul. Sebuah perasaan yang sudah disangkal pikiran, tetapi tidak pernah bisa hilang.

Di masa lalu dari kehidupan mereka, Bumi mengalami kehancuran sampai tidak bisa dihuni lagi. Semua orang yang selamat mengungsi ke planet terdekat yang lebih layak huni. Namun, berbeda dengan roh-roh orang mati terlebih orang dengan kematian yang tidak wajar. Mereka digolongkan sebagai jiwa-jiwa yang tersesat yang tidak bisa pergi mana-mana. Sigi dan 3 alpha termasuk golongan yang masih tinggal di sana. Sampai Bumi benar-benar hancur roh-roh itupun tersebar kehilangan alasannya untuk menetap kemudian terombang-ambing di luar angkasa. Entah berapa lama waktu yang terlewati hingga orang-orang di Arqush menyadari roh-roh tersebut.

Ketika orang-orang Arqush, para peneliti memanggil mereka, di sana lah perasaan tersebut muncul. Para peneliti beralasan bahwa pemanggilan dari roh-roh tersebut adalah penyelamatan. Namun, nyatanya ini bisa dikatakan terbalik dari kata-kata tersebut. Sigi dan 3 lainnya tentu saja memikirkan bahwa perasaan itu bisa saja hanya emosi palsu yang ditanamkan. Fakta bahwa mereka telah melalui berbagai macam percobaan selayaknya hewan memang benar adanya. Para peneliti ini hanya tertarik pada roh yang benar-benar berbeda dengan roh-roh yang ada di Arqush.

Sebelum Sigi berada di Arqush matanya hanya bisa melihat bintang-bintang sepanjang waktu tanpa merasakan apapun. Yang lainnya pun merasakan hal yang sama. Meski jiwanya diotak-atik sepanjang waktu, dia masih berterima kasih kepada mereka yang sudah memberinya tubuh dan kesempatan hidup kedua.

Kepadanya, Sigi dan 3 alpha lainnya dituntut patuh. Selama itu, tidak ada perintah yang benar-benar memaksa kecuali demi kerajaan. Selama itu kesetiaan mereka terbentuk sebagai bentuk balas budi.

Ketika kesalahan tampak kepadanya, Sigi berpisah dengan teman-temannya lebih dulu untuk menuruti kata hatinya yang merasa bersalah. Sebelumnya dia meremehkan Radif dengan menilai kekuatannya yang terpaut jauh. Dia memilih tidak membawa senjata sucinya hanya untuk memuaskan hasratnya. Dengan keabadian dan kekuatan yang dia miliki wajar saja dia tidak memandang Radif. Namun, ini tetap dinilai sebagai kesalahan yang pasti akan mengecewakan tuan yang dia layani.

“Lapor Kapten, Sigi Abdi Adikari menyelesaikan tugas.”

Seseorang yang dipanggilnya kapten duduk dibalik meja sudah lama menunggu kehadiran Sigi. Kesalahan yang dilakukan Sigi adalah kesalahan murni yang dilakukan olehnya. Kesalahan itu muncul dari keangkuhannya pada kemampuan dan jabatan yang dia miliki. Normalnya hukuman yang pantas diberikan adalah berupa pencabutan pangkat atau pemberhentian. Namun, posisi alpha sayangnya tidak bisa sembarangan diganti. Mereka berada diposisi itu karena kemampuan mereka yang berada jauh di atas rata-rata. Meskipun alpha lebih rendah dari kapten dan ada tiga tingkatan lagi di atasnya, masing-masingnya tidak bisa memberhentikan alpha. Alpha melayani sang raja seperti para bangsawan, hanya raja yang bisa memberhentikan mereka.

“Sigi andai kamu membawa senjatamu mungkin semua itu akan selesai dengan cepat tanpa melukai 182 orang dari tim penyelemat di sana. Pergi keluar perbatasan dan kelilingi kerajaan ini 30 kali ya.”

Dia bernada kecewa dari kata pertama sampai akhir tetapi, tidak menghilangkan ketegasan pada setiap katanya.

“Siap.”

****

Jiro tidak merasakan rasa sakit dari kematian yang sebelumnya. Dia hanya kehilangan kontrol pernapasan pada saat itu dan merasakan sesak yang panjang. Dirinya cukup tenang setelah mengetahui ini semua.

Dia memanggil Elvriesh untuk mencari tahu apa yang terjadi berikutnya. Dia tidak boleh gegabah. Dalam sudut pandang yang lain ini adalah bencana. Jiro perlu berpikir sejenak untuk merapikan kembali semua ini. Setelah melihat pertarungan Radif dan Tri yang sangat singkat itu, kini dia berpikir ini mungkin saja bisa menjadi sejarah pahit dan media pembelajaran untuk mengembangkan ilmu sihir lebih jauh lagi. Pihak kerajaan pasti menunjuk-nunjuk orang untuk menguatkan pertahanan dan mengembangkan orang-orang di kemiliteran demi keamanan diri sendiri dan rakyat.

“Sebentar, kembali ke permasalah awal.”

Benar. Alasan Jiro bertarung dengan Radif adalah bicara. Jiro harus menemukan celah untuk turun kembali ke sana. “Itu terlihat sangat sulit. Bagaimana pun rumah yang tak hancur itu sangat mencurigakan bagi pihak militer di sana.” Namun, itu hanya anggapan Jiro semata. Nyatanya, area itu kosong setelah Radif dan keempat alpha tidak ada di sana.

Pihak militer masih bersiaga di posnya agak jauh dari lahan kosong yang dibuat Radif. Mereka menganggap bahwa Radif satu-satunya yang menjaga tempat itu sebab tidak ada yang terjadi ketika Radif diikat dan dibawa. Mereka juga memikirkan kemungkinan ada seseorang yang dijaga masih sembunyi di sana. Persiapan yang seharusnya sudah siap dipikirkan ulang. Hasilnya mereka hanya menyiapkan formasi pengepungan untuk beberapa waktu, untuk melacak keberadaan seseorang di rumah tersebut. Sihir ini kurang lebih sama tetapi, ditambahkan deteksi keberadaan lebih lanjut.

Jiro tahu akan hal ini dan tentu Radif, orang-orang yang di sana juga paham. Persembunyian itu tidak akan bertahan lama lagi. Radif juga sudah siap sejak awal. Namun, mereka memutuskan untuk tetap tinggal di sana. Terlihat dalam bintik-bintik cahaya yang dibuat Elvriesh, kelompok Radif masih berkumpul di ruangan yang sama. Mereka sedang menunggu.

Salah satu dari mereka atau lebih tepatnya Radif yang pernah bertatap muka dengan Jiro berinisiatif untuk bicara memberikan informasi. Ini akan menjadi berbincangan yang sederhana. Mereka tidak perlu berkumpul seperti itu sebenarnya, tetapi ini adalah keputusan mereka untuk mendengarnya secara langsung.

Jiro menjadi tamu yang dihormati sekarang. Salah satu Radif menjemputnya di pintu masuk. “Jiro Kawanaga silakan masuk kami sudah menunggu.”

“Oh, akhirnya aku diperlakukan juga.”

“Siapa dia?” Radif menanyakan keberadaan Elvriesh.

“Dia Elvriesh. Tak usah tanya-tanya. Dia enggak bakal jawab dan agak pusing juga kalau dia jawab. Abaikan saja dia anggap tidak ada.” balas Jiro lalu melihat ekspresi Elvriesh. “Nah, kan, dia diem aja. Anggap saja tidak ada, dia mutlak tidak akan marah.”

Sama seperti Radif yang lainnya, dia juga tidak tahu apa itu malaikat. Tidak seperti Jiro, mereka tidak pernah bertemu dengan malaikat setelah kematian mereka. Ini tidak semuanya memang sebab salah satu dari Radif juga membawa malaikat dari Noirvana. Tindakan Radif yang satu itu merupakan hal yang menjadi penyebab Radif yang lainnya tidak menemui malaikat.

“Baik, saya tidak akan bertanya siapa dia.”

Jiro melupakan topik barusan. “Ngomong-ngomong untuk apa yang tadi? Saya datang secara damai lo, Pak.”

Dia menghela napas lalu mengambil langkah sebagai tanda untuk Jiro mengikutinya. “Untuk yang sebelumnya maklumi saja nomor 31 hanya …, oh ya, kami membagikan kartu nama dan itu diisi nomor untuk menandai satu sama lain. Itu urutan perekrutan. Nomor 31 itu dia yang kamu lawan sedang aku nomor 14.”

Jiro mengangguk-angguk. “Akan sulit kalau enggak dikasih nomor ya. Mirip semua bapak-bapak ini.”

Radif yang mengantarnya ini sangat mirip dengan Radif yang pernah menghancurkannya. Sedikit perbedaan orang ini memakai setelan jas dan terlihat lebih bugar tidak seperti kekurangan gizi. Sepertinya masing-masing Radif menjalani kehidupan yang berbeda di masa lalu.

“Ya sebagian besar mirip semua. Walaupun mereka juga punya ciri khasnya masing-masing tapi tetap saja agak susah dikenali kalau wajahnya sama semua.”

“Bisa salah paham,” kata Jiro lalu tertawa. “Agak malu juga kalau salah orang ya.”

“Kalau salah orang pastinya dimaklum kan sama semua,” Radif tersenyum melihat Jiro yang tidak sungkan sama sekali.

“Hmmm, Yah, kembali topik. Intinya nomor 31 hanya menguji.”

Nomor 31 memang menyerang Jiro habis-habisan sampai cukup berani mengorbankan nyawa dan membunuh. Namun, dia terlihat seakan tahu semuanya. Dia juga secara bertahap meningkatkan kekuatannya bukan secara langsung mengerahkan semuanya dengan niat membunuh terekspos jelas. Jiro memahami hal tersebut sebagai bentuk menahan diri. Omongan Radif ini bisa dipercaya.

“Itu ‘menguji?’.” Jiro tentu saja tidak mudah memberikan kepercayaannya.

Kini Radif berwajah ragu. “Kami punya riwayat hidup benar-benar berbeda satu sama lain dan yah ada juga yang hampir sama. Bagi nomor 31 kamu–Jiro yang lain di dunianya maksudnya–kamu adalah sahabat, teman terdekat satu-satunya atau rival kali ya namanya.”

“Berarti dia cuma bernostalgia. Melihat apa yang bisa kulakukan. Melihat versi rivalnya yang lainnya. Itu bukan menguji namanya.”

Radif bersikeras. “Ya, itu menguji namanya.”

Masih sambil berjalan, setelah kalimat itu Jiro hanya memandangi Radif tidak ingin sama kerasnya. “Oke,” kata Jiro memanjang.

Rumah ini adalah rumah yang sederhana. Ini juga merupakan pertemuan yang pertama. Keduanya tidak saling kenal. Meskipun Jiro tidak sungkan untuk bebas berwajah, tidak malu-malu dan menganggap orang tua di sampingnya ini setara, keduanya tidak bisa langsung akrab. Percakapan itu tidak bertahan lama. Jiro lebih memilih menyimpan pertanyaannya.

Setelah mereka melalui ruang tamu dan ruang tengah, jika terus lurus ketiganya akan sampai ke dapur. Diantara dua ruang tersebut ada tangga yang menghubungkan ruang bawah tanah, lantai tengah dan lantai atas. Ruang luas yang menjadi lokasi pertemuan Radif ada di ruang bawah tanah. Itu adalah tujuan keduanya.

Sesampainya di ruangan tersebut, Jiro disambut begitu banyak mata. Sebagai pahlawan nomor 2 teratas dia sudah terbiasa melihat banyak mata yang mengarah padanya. Dia memandang ke segala arah menilai segalanya. Saat itu Jiro tidak berkata-kata untuk menyilakan tuan rumah menyapanya lebih dulu.

“Oh, Jiro, kamu menggunakan tubuhmu sendiri sekarang. Kami bisa mengenalimu,” nomor 2 menyapanya.

Jiro tidak menggunakan wajah Fikar dan merelakan indra pengecapnya hilang. Dia mewujudkan kembali tubuh milikinya sendiri identitasnya sendiri sekarang. Dia berniat meninggalkan keluarga Fikar dan membangkitkan kembali Fikar. Dia juga berencana mengembalikan semua korban jiwa pada pertarungan yang sebelumnya.

“Ya aku ingin hidup normal di sini tapi orang-orang di sini sangat berisik soal identitas. Jadi aku ingin identitas baru dan sepertinya kalian punya identitas resmi, anehnya.”

Jiro merubah panggilan untuk dirinya sendiri. Ini sudah dilakukannya beberapa kali. Dia melakukan hal tersebut untuk menanggapi beberapa situasi. Sekarang mata yang tertuju padanya adalah milik sekumpulan orang yang dianggapnya melakukan tindak kriminal atau tindakan yang menyalahi aturan di kerajaan ini. Dia harus menunjukan semua kemampuannya dan kewaspadaan saat ini.

“Ya, kami punya identitas resmi agak sulit dan perlu banyak usaha. Untungnya, sang raja memberikan ini secara percuma beberapa waktu lalu. Sang raja memang sangat murah hati.”

Nomor 2 memberikan rasa senangnya. Jiro tidak tahu apa yang dikatakannya memang benar atau tidak. Namun, Jiro berpikir kata-katanya hanya omong kosong.

“Aku emang bodo sampai enggak mikir gitu ya. Tapi yah mau gimana lagi toh aku ini emang tidak seperti kalian juga. Apa yang kau lakukan padanya? Dia raja loh.”

“Tidak ada. Terus terang itu memalukan tapi ini demi kebaikan banyak orang untuk negeri ini juga saya harus membuang rasa malu itu.”

Nomor 2 pura-pura tidak tahu sama waspadanya. Dia tahu sekuat apa Jiro meskipun dia kalah bertarung sebelumnya. Dia tidak tahu apa masalah Jiro. Dan, dia hanya ingin tahu apakah keinginannya bisa diselesaikan dengan bicara.

Jiro mengikuti sandiwara nomor 2. “Ya bagus-bagus enggak ada pemaksaan ya, kan? Dia orang penting harus diperlakukan dengan baik harus dihormati.”

“Saya tahu itu.” keduanya saling pandang dan menampilkan senyum. “Jadi, untuk kepentingan apa pahlawan nomor 2 ini mendatangi kami. Jujur saja kami sekarang ada kepentingan lain.” Nomor 2 ini mencoba seramah mungkin demi tujuannya juga.

“Oh, ya, kalau begitu kita lupakan saja yang barusan.” Jiro mengeluarkan senyum. “Kalian punya kepentingan aku juga sama punya kepentingan,” kata Jiro mengesampingkan apapun tindakan Radif ini.

“Maafkan saya di sini hanya ada ruangan kosong tidak ada kursi atau meja tapi saya harap kamu bisa memakluminya karena kami pun sama.”

“Tak apa, aku juga tidak akan berlama-lama.” Jiro hanya berkata-kata berbeda dengan pikirannya. “Seperti yang kukatakan di awal, aku hanya ingin hidup normal di sini. Jadi aku tidak ingin terlibat kepentingan kalian.”

“Seperti itu ya.”

Lihat selengkapnya