Proyek Superkuasa

Bima Kagumi
Chapter #13

Egois dan Elegan

“Sabis-an mau kemana kamu?”

Itulah yang dikatakan orang-orang dari tahun ke tahun. Baris kalimat yang selalu didengar Fikar saat perayaan Sabis sudah dekat. Kali ini kalimat tersebut datang dari Gawan.

“Enggak ada. Enggak mau kemana-mana aku. Setiap tahun sih sekeluarga besar sering kumpul pas Sabis-an. Untuk makan-makan terus lihat lomba. Aku pernah bilang juga, kan? Tapi untuk sekarang aku tak mau. Lagi nyari alasan ini. Apa yang bagus kira-kira?”

Satri tertawa terdengar menyindir juga malas. Wajahnya tidak melihat kearahnya. Dirinya menyibukan diri di hadapan gambar dua dimensi yang menampilkan dirinya sendiri.

“Apa kau se-mager itu? Fikar?” katanya.

Gawan terbawa suasana. “Kenapa enggak pergi ke rumah sakit?”

“Banyak ranjang nganggur di sana.”

“Iya coba ulang yang kemarin.”

“Oh, Fikar. Kamu kena seruduk ya. Maaf, aku tak datang. Tahu lah malas. Lagi pula tak apa, kan? Gawan bilang kau bahkan langsung keluyuran seperti tak pernah sakit,” kata Zahri membuat suasana yang baru.

“Tak usah dipikirkan. Lihat sendiri kan, tak apa, tak apa.”

Mereka sedang kumpul santai ditengah latihan rutin seminggu sekali seperti biasanya, tetapi yang menjawab ajakan hanya tiga Satri, Gawan, dan Zahri. Ketiganya sebaya dengan Fikar. Satri Gawan ada di kiri dan kanannya sedikit jauh terkesan menjauhkan diri. Zahri ada di dekat Satri. Dia berkulit putih berwajah lebih muda dari usianya. Rambutnya hitam gondrong bergelombang. Dia diposisi tiduran memandang ke atas dengan pakaiannya yang lusuh. Gawan bertubuh paling tinggi di antara mereka. Rambutnya di belah dua berwajah oval dengan rahang feminin. Tubuhnya dilapis kaos ungu polos dan jaket hijau kebesaran. Satri wajahnya lonjong terlihat kecil jika rambutnya tidak lebat. Walaupun tingginya tidak jauh di antara yang lainnya, dia kurus sehingga tampak lebih pendek dan semua yang dipakainya seperti kebesaran. Jiro sendiri masih dengan kemeja putih hitam bergaris merah dan bawahan hitam.

Jiro mengubah posisinya menjadi lebih santai. Tangannya menopang setengah tubuhnya. Sekarang dia balik bertanya, “Jadi, Riri kau mau ke Kawah Mas? Masuknya bayar lagi ya, kan?”

Gawan membalasnya alih-alih Zahri, “Kalau tidak salah sekarang tak perlu bayar. Tahun kemarin udah pada gulung tikar. Tak tahu untuk tahun sekarang.”

Satri mengingat-ingat. “Ada sedikit masalah ya waktu itu. Tak lama juga sih selesainya. Kau tidak tahu Fikar?”

“Oh yah, ada invasi ya. Hampir tidak ada kabar lagi setelahnya, lupa aku.”

“Ya sekarang enggak ada yang isi, enggak ada yang jualan, enggak ada yang merawat tempat itu. Berhubung ada banyak yang mau ke sana juga. Jadi, rencananya aku sekeluarga ikut bersih-bersih sekalian liburan daripada cuma lihat lomba iya, kan.” Nadanya malas diawal tetapi, dia mulai sombong diakhir. “Oh, begitu mulyanya aku, melestarikan alam. Kalian mau ikut? Jangan lah, jadi baik setahun sekali sama saja bohong.”

“Itu sih eullluh?”

Jiro menekankan katanya tetapi, tidak ada yang mengerti ucapannya. Dia lepas kendali mendengar kesombongan Zahri walaupun hanya dibuat-buat.

“Siapa Luh?” Dia tahu kalimat Jiro terarah padanya. “Sembarangan saja ganti nama orang. Padahal tadi masih pakai Riri. Apa artinya Luh?”

“Itu sudah lama. Kenapa baru sekarang? Kecuali, tempat itu mau dibangun kembali.”

Gawan melepas ketertarikannya lalu melanjutkan topik. “Kalau pun sekarang tanam pohon tetap saja …, ya, ditunggu saja jerih payah Luh 10 tahun ke depan.”

“Satri kau mau kemana? Masih yang biasa?” tanya Jiro.

Satri tertawa. “Ikut mayoritas aku.”

“Kudengar pemenangnya enggak rubah lima tahu terakhir ini. Apa enggak bosan dia menang terus ya?” kata Zahri.

“Ouw, keluar juga pikiran out of the box-nya,” kata Jiro lagi-lagi dirinya lepas. Namun, kata itu masih dimengerti. Teman-temannya menyoraki sama seperti Jiro.

“Begini kalau orang yang tak tertarik olahraga diajak omong,” kata Gawan diiringi teriakan tak jelas Satri. “Perak permata keluar juga.”

“Jadi latihan berabad-abad ini buat apa Riri?”

Zahri tidak membalas. Pikirannya sudah tidak di sana. Namun, ini tidak berarti dia mengabaikan semua itu. “Tahun depan ya. Kukira tidak akan ada masalah asal latihan rutin tetap dilakukan. Kita di level 4 menengah ke akhir, hampir mentok ke level 5, loh.”

Seolah tak pernah terjadi, kalimat Zahri mengakhiri teriakan itu.

“Level 4 saja tak cukup,” balas Satri.

Zahri menengok sepontan seakan ingin mematahkan lehernya. “Itu lebih dari cukup. Minimalnya level 3.”

“Eh, kau pernah dibentak anak kecil level 7? Kita latihan supaya jadi nomor satu di kelas nanti,” kata Jiro.

“Harbang sekolah terbaik. Menurutmu mengapa kakekmu masih memakai peraturan lama dan setara dengan sekolah lain tetapi lulusannya tetap yang terbaik? Itu karena semua pelatih terbaik di kerajaan ada di sana. Level 4 sudah cukup.”

Satri menjulurkan tangan. Dia berusaha menghentikan Zahri tetapi, percuma. Gawan juga tertarik. Matanya terarah ke Jiro sekarang. Namun, Jiro masih meladeni Zahri.

“Terserah sih kalau itu maumu. Tapi pelatih terbaik biasanya lebih melihat level dan usia.”

“Tunggu Fikar, apa maksudmu anak kecil level 7?”

“Kamu mungkin salah tangkap simpati. Citus memang terlihat seperti anak kecil tapi ….”

“Tidak dia memang anak kecil. Apa kau pikir empatiku rusak? Kalian ingat saat aku pergi ke luar kerajaan? Kelompok peladen yang kusewa salah satu anggotanya anak kecil ini, Maya namanya. Kalau tak percaya periksa saja datanya di BAPKAT.”

“Kau tanya dia? Mengenai latihan?” tanya Satri.

Gawan mengakhiri topik. “Sebentar, waktunya sudah …, sebentar lagi peringatan terakhir. Ganti tempat sekalian kuliner. Kita bahas di sana.”

“Enggak, enggak ada yang bisa dibahas. Mereka begitu tertutup soal latihan. Tapi, kita bisa bahas sihir rangkai kuasa.”

Ketiganya termasuk Zahri yang mendengar kalimat awal Jiro serasa menyerah. Namun, sihir tipe pendukung sekaligus puncak ilmu sihir yang diidamkan mereka disebut di akhir. Ekpresi perlahan berubah semangat diakhir. Sayangnya, Jiro malah tidak suka wajah tersebut karena dia tidak sama sekali menunjukan rasa senang dalam ucapannya.

“Tidak, ini kabar buruk. Tadinya aku tak ingin membahasnya tapi …, aku sudah mencoba mengalihkan juga tapi, kalian harus tahu ya.”

***

“Sia-sia…, apa perlu dijelaskan lagi? Semua latihan kita percuma, sia-sia.”

Gawan habis pikir hampir tidak bisa menyanggah. “Tapi, itu tak masuk akal.”

Satri juga menyatakan keraguannya. “Pak Maman bilang kita bisa mulai latihan di level 5.”

“Ya itu sebabnya, dia hanya tak ingin. Kalian sadar selama latihan ini level kita hanya bertambah setengah level dan tak ada kemajuan dua minggu ini?”

“Level 5 itu sulit, semakin dekat tentu akan semakin sulit,” kata Gawan.

Satri sepemikiran. “Ya, anggap saja itu tantangannya, kan?”

Zahri bertanya. “Kalau …. Kenapa Pak Maman minta syarat …, maksudku kenapa tidak ada yang mau mengajari kita sihir ini? Anak kecil juga bisa diajari kalau level tak masalah.”

“Mungkin itu rahasia mereka yang tahu. Tapi setahuku semua prajurit kerajaan dan pramubakti tidak memakai akas dan bahkan mereka menyuruhku menghancurkannya kemarin. Kakekku juga bilang sebaiknya jangan bergantung pada alat ini.”

“Oh pantas saja ganti.”

Gawan teralihkan. Akas adalah benda mahal bagi sebagian orang. Mata tertuju pada tangan Fikar sesaat. Mereka hampir tak menyinggungnya di awal karena mereka tahu Fikar.

“Emang bisa?” tanya Satri.

“Emang ada rahasia ya. Semua guru pakai akas juga,” kata Gawan. Dia beranggapan bahwa guru akan selalu menjadi contoh umum yang semestinya terlihat oleh semua orang.

Jiro meresap minuman coklat gelap sebelum berkata.

“Kalau dipikir-pikir sihir lebih pas dipakai sebagai senjata iya, kan? Di tambah kerajaan melarang keluar semua rakyatnya tanpa menguasai rangkai kuasa. Lalu, tidak boleh ada pelatihan seni sihir tanpa izin.”

Satri memajukan tangan ke meja dan membuat suara. Sebuah kebiasaannya yang timbul dari sifat ingin diperhatikan. “Gi … gimana? Pemerintah memata-matai rakyatnya begitu? Karena ada rumornya juga. Tapi ….”

Lihat selengkapnya