BANYAK ADIK
BAB 1. Adam
Wika, Iyut, Bustari, Dadang, Iin, Bono. Adalah adik–adik Adam. Dimulai dari yang paling bungsu itu Wika sampai yang paling tua sesudah Adam itu Bono. Sedang anak tertua yaitu Adam sendiri. Sebenarnya adam menyanyangi semu adik–adiknya. Tapi Adam lelah juga karena Adam jug harus mengurus adik–adiknya. Ayah dan Ibu tidak punya masalah ketika Bu Rohana bertanya ke orang tuanya apakah ada yang bermasalah dan tidak bisa KB. Tapi Ibu Adam menjawab tidak masalah ketika ibu Bidan itu bertanya. Ibu mengatakan bahwa dia dan suaminya memang suka anak banyak. Kata Ibu, orang tuanya dulu mengatakan anak banyak itu banyak rezeki, makanya Ibu mengikuti paham sang Ibunya. Neneknya Adam. Waktu itu Adam tidak sengaja mendengar pembicaraan Bu Bidan ketika Ibu Bidan datang ke rumah dan menanyakan hal itu.
Adam setuju dengan Ibu Bidan, zaman sekarang beda dengan zaman dulu. Menurut Adam sendiri, apa apa zaman sekarang ini pakai duit dan yan pasti dengan banyak adik Adam menjadi sangat sibuk, waktu belajar kurang dan dia lelah mengasuh adik–adiknya. Akibatnya di sekolah Adam sering merasa lelah. Tidak bisa mengikuti pelajaran dengan bak. Ayahnya seorang pedaang dan Ibu juga membantu Ayah berjualan di pasar. Tamat SMA Adam sudah merasa tidak akan bisa kuliah. Menurut Adam tidak ada biaya dan lagi siapa yang akan mengurus adik–adiknya kalau Ayah dan Ibu berjualan di pasar.
Lamunan Adam buyar, Adam terkejut. Ketika sebuah tangan kecil menyentuh tangannya.
“Wika sudah bangun? Tadi Aa Adam nungguin Wika tidur....”
Wika gadis kecil berumur dua tahun itu menatap kakaknya sambil mengucek mata.
“Aa, Wika ngompol....”
“Iya, nanti Aa beresin. Ayo diganti dulu celananya, langsung mandi. Ayo kita ke kamar mandi.”
Lalu Adam membawa adiknya ke kamar mandi.
Bab 2. Kelas Tiwi
Pagi itu murid kelaas XIF1 sedang belajar matematika. Lalu guru meminta murid–murid mengerjakaan soal–soal. Setelah itu dilanjutkan dengan mata pelajaran bahasa indonesia. Bu Guru meminta untuk presentasi kelompok. Mereka akan diskusi kelompok. Diskusi kelompok yang maju kebetulan kelompok Tiwi. Adam berada di kelompok yang lain. Ketika tanya jawab, mereka mulai memanas ketika Adam yang sangat arogan kalau diskusi dan hari–hari Adam juga sangat menyebalkan kata teman–teman Tiwi. Sekelas mengatakan kalau Adam itu arogan. Tidak mau kalah dan tidak mau disalahkan. Teman–teman membenci Adam. Sebenarnya kelompok Tiwi malas sekali untuk menerima atau pun menanggapi pertanyaan Adam. Murid–murid lain pun malas sekali kalau Adam sudah mulai bicara. Adam itu ngeyel sekali walaupun di depan guru, terbayang kalau dibelakang Guru ngeyelnya bagaimana.
Bu guru menengahi diskusi yang sudah memanas itu. Murid–murid meneriaki Adam. Hal seperti itu selalu terjadi kalau Adam mulai bicara. Sekelas tidak suka berteman dengan Adam. Awalnya Tiwi mencoba netral, Tiwi yang bercita–cita ingin menjadi psikolog berusaha memahami Adam dan tidak ikut–ikutan teman–temannya. Tapi karena Tiwi masih muda, Tiwi tidak bisa melawan dirinya sendiri yang tidak suka dengan sikap Adam.
Dalam belajar kelompok pun Adam selalu menyebalkan. Sikap tidak mau kalah dan ngototannya itu selalu membuat belajar kelompok berjalan dengan tidak mulus. Maka kadang teman satu kelompoknya lebih suka Adam tidak ikut belajar kelompok daripada membuat runyam mereka semua.
Padahal dari sisi Adam sendiri, dia melakukan itu agar mengerti pelajaran yang diberikan guru atau pun oleh teman – temannya. Sampai suatu hari Adam merasa satu kelas tidak menyukainya atau tidak menerima keberadaannya.
Suatu hari ketika istirahat, Adam mendekati Tiwi yang lagi membereskan buku–buku pelajarannya yang ke tas. Adam memulai pembicaraan.
“Wi, boleh bicara sebentar ?”
Tiwi menoleh dan melihat ke Adam.
“Eh, Adam. Boleh.”
Setelah buku–bukunya beres, Tiwi mempersilahkan Adam duduk di kursi Ria. Ria sudah ke kantin dari tadi. Adam duduk di kursi Ria. Dia mulai bercerita.
“Wi, apakah teman–teman tidak menyukai aku ya? Perasaan aku iya....”
Tiwi terkejut mendengar pembicaraan Adam. Lalu Tiwi berkata.
“Kenapa bicara begitu ?”
“Tadikan sudah aku bilang Wi. Perasaan aku. Kalau ada yang aku ajak bicara, mereka seperti tidak mau menanggapi. Dan cuek. Tiap aku dekati mereka begitu. Apa teman–teman di kelas ini membenci aku, Wi? Tapi mengapa? Perasaan aku biasa–biasa saja... Apa aku benar, Wi?”
Tiwi diam, Tiwi mau bicara tapi takut salah.
“Jadi benar ya? Wi, kok diam...”
Tiwi menghela nafas perlahan, takut salah omong. Akhirnya Tiwi bicara juga.
“Kamu sabtu sempat tidak main ke rumah aku ? Nanti kita cerita–cerita.”
“Jadi benar, ya? Aku nggak bisa, Aku sibuk. Permisi....”