JUDUL :
PERFEKSIONIS
Bab 1. Santo
Santo duduk di kelas XIF1. Santo anak yang pintar dan apa-apa yang dilakukannya harus yang perfeksionis. Sempurna. Kalau soal nilai mesti yang sempurna, terbaik tanpa salah setiap ulangan dan ujian. Penampilan harus selalu sempurna. Baju harus selalu rapi, bersih, wangi. Sampai sepatu juga tidak boleh kotor sedikit pun. Jadi kalau kotor sedikit saja Santo akan cepat membersihkannya. Pernah suatu ketika teman sekelasnya iseng menginjak sepatunya, mengotori sepatunya. Santo marah besar, mereka berkelahi. Dan pakaian Santo jadi kotor, tapi Santo menang. Lalu Santo memusuhi murid yang mengotori sepatunya. Santo tidak pernah mau menegurnya. Padahal temannya tadi hanya iseng ingin bercanda dengan Santo.
Kalau ada tugas juga Santo akan membuatnya dengan terbaik. Kalau bisa tanpa cela. Walau pun itu tugas kelompok, Santo akan membuatnya sebaik mungkin. Santo akan diskusi yang alot sampai teman-temannya menerima pendapat Santo. Setelah pekerjaan kelompok selesai, Santo akan meminta pekerjaan itu dan Santo akan membuatnya seperti kata Santo saja, jadi sebenarnya percuma belajar kelompok. Karena akhirnya Santo sendiri yang membuatnya.
Karena ingin selalu yang sempurna, maka teman-teman Santo kurang suka bermain dengannya. Akhirnya Santo merasa kesepian. Santo sering iri melihat teman-temannya bercanda atau sekedar jajan bareng, belum lagi kalau yang sudah punya pacar, terlihat sangat menyenangkan ke kantin bareng atau pulang bareng berboncengan motor. Santo iri dengan teman-temannya. Sementara Santo karena ingin selalu prefeksionis. Kerjaannya belajar dan belajar. Di kelas jam istirahat saja Santo selalu belajar dan bawa bekal dari rumah karena tidak mau jajan ke kantin takut bajunya kotor kusut dicandai teman atau tubuhnya jadi tidak wangi lagi. Belum lagi takut kalau sepatunya terinjak murid-murid yang banyak di kantin.
Jiwa perfeksionisnya mengatakan dia belum sempurna kalau di masa SMA tidak punya cerita cinta. Dan belum punya sekelompok teman dekat. Santo pernah pacaran, tapi cuma bertahan satu bulan. Karena Santo memaksa sang pacar untuk sempurna seperti dia. Penampilan sampai nilai harus sempurna. Sang pacar menolak, akhirnya mereka putus.
Santo sudah beberapa kali ke kelas Tiwi. Dia memperhatikan Tiwi. Dari penampilan sampai nilai pelajaran diperhatikannya, kebiasaannya yang perfeksionis membuatnya suka menilai orang sesuai standar dirinya. Santo ragu apa Tiwi bisa membantu masalahnya. Karena dari penilaian Santo, Tiwi itu seperti murid-murid lain, tidak sempurna. Tapi Santo tahu kalau Tiwi itu memiliki banyak teman dan juga punya teman dekat.
Karena ingin mempunyai masa SMA yang indah, akhirnya Santo menemui Tiwi dan bicara dengan Tiwi. Siang itu selepas jam istirahat pertama, Santo ke kelas Tiwi. Kebetulan Tiwi sedang di kelas bersama Ria. Sambil bercerita-cerita juga dengan beberapa murid yang lain. Mereka tidak makan bekal, hanya bercerita-cerita saja. Santo masuk kelas dan bicara ke Tiwi. “Kak, aku Santo. Bisa bicara sebentar?”
Tiwi menatap ke sumber suara. “O, boleh. Bisa tolong tarik kursi yang itu, lalu bawa ke sini.” Ujar Tiwi. Santo mengangkat kursi yang ditunjuk Tiwi dan duduk dekat Tiwi. Ria memutar badan dari menghadap Tiwi, menghadap ke murid-murid yang lain, agar Tiwi dan Santo bisa bicara.
“Ya, ada apa? tanya Tiwi.
“Kak, aku ini belum sempurna kalau masa SMA aku tu belum punya pacar dan juga belum punya teman dekat. Bisa bantu aku nggak ya untuk mendapatkan kedua hal itu?”
“Kenapa begitu?”
“Karena anak seusia akukan anak SMA kan harus punya dua hal itu. Aku sekarang sudah kelas XI Kak.”
“Apa Santo punya teman dan sekarang lagi berantem? Apa Santo pernah punya pacar?”
Santo agak bingung. “Pertanyaan yang sulit,” ujarnya.
Tiwi tersenyum. “Begini saja, bisa ke rumah Kakak nggak?” Tiwi mengeluarkan kartu nama dan memberikannya ke Santo. “Kalau di rumah Kakak Santo bisa bebas bercerita dan lama juga bisa. Teman-teman Kakak sudah mulai masuk tu, benar lagi jam masuk berbunyi. Di rumah Kakak nanti kamu bisa ceritakan semua hal dengan Kakak. Nanti kakak dengarkan dan kita coba cari solusi untuk masalah kamu. Setuju nggak kalau begitu?”
Santo menganggukan kepala. “Setuju Kak.” Ujar Santo, lalu pamit keluar kelas karena bel masuk sudah berbunyi.