Menjemput Maut dengan Hati Tenang
Kematian, adalah keniscayaan … tidak satu jiwa pun mampu menghindarinya. Sedikit sekali yang mau menerimanya—kalau enggan berkata bahwa semua orang merasa sangat berat meninggalkan hidup ini. Semua berkata dalam hatinya seperti ucapan Chairil Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Al-Quran pun menggunakan kalimat serupa, Setiap seorang di antara mereka menginginkan seandainya dia diberi umur seribu tahun … (QS Al-Baqarah [2]: 96). Bahkan bukan hanya seribu tahun. Yang diinginkan adalah kekekalan selama-lamanya. Keinginan itulah yang digunakan Iblis untuk menipu Adam dan pasangannya sehingga mereka berdua memakan buah pohon yang dinamai sang penggoda Syajarat Al-khuld (Pohon Kekekalan), (QS Thâ Ha [20]: 120).
Keinginan hidup kekal itu, antara lain disebabkan umur manusia tidak sepanjang harapan dan cita-citanya. “Semua orang mati membawa keinginannya karena keinginan manusia tidak pernah berakhir. Kalau ini terpenuhi, muncul yang lain yang lebih mendesak.”
Maut menjadi bahasan filsafat dan uraian agama. Bahkan, filsuf Amerika kontemporer, Will Durant, menegaskan bahwa maut adalah asal-usul semua agama. “Boleh jadi kalau tak ada maut, Tuhan tidak akan wujud dalam benak kita,” begitu tulisnya dalam The Story of Civilization.
Fenomena maut adalah salah satu fenomena yang paling jelas dan kuat bagi makhluk hidup. Semuanya ingin mempertahankan hidupnya. Semut kecil yang diremehkan manusia pun melawan jika hidupnya terancam.
Para filsuf memiliki dua pandangan yang bertolak belakang tentang hidup. Ada yang pesimis sehingga memandang hidup ini sebagai sesuatu yang berat, penuh kesedihan, dan kesulitan lalu berakhir dengan maut yang berarti kepunahan. Ada juga yang optimis menilai hidup sebagai penghormatan dan tanggung jawab yang dapat berakhir dengan kebahagiaan dan kekekalan yang baru diperoleh melalui maut.
Sebagian yang pesimis, menganut paham aji mumpung, “Selama Anda masih memiliki hidup maka lakukan apa saja yang menyenangkan hati Anda sekaligus mewujudkan eksistensi Anda .… Jangan hiraukan apa pun … karena pada akhirnya suka atau tak suka Anda pasti berakhir. Jangan hiraukan kesedihan atau kepedihan karena menghiraukannya pun tak bermanfaat.” Begitu lebih kurang logika sebagian mereka. Sebagian lainnya memandang hidup ini berupa rangkaian dari kepedihan, kesedihan, penyakit, dan semacamnya. Golongan ini berusaha menghibur diri dengan berkata, “Alam raya terus berubah ... kelahiran disusul oleh kematian, kehidupan diakhiri oleh ketiadaan, dan kepunahan, demikian silih berganti. Oleh karena itu, jangan menolak kematian ... sambutlah ia karena pada akhirnya suka atau tak suka Anda akan punah.”
Sebagian yang berpandangan demikian menghibur dirinya dengan berkata, “Kehidupan ini memang sesuatu yang sangat berat ... manusia memang diciptakan untuk menderita. Oleh karena itu, sambutlah kematian dengan sukacita karena ia mengakhiri penderitaan Anda. Jangan takut pada kematian karena kedatangannya adalah keniscayaan ... dan jangan juga takut dengan kepunahan karena Anda masih akan hidup lagi, hidup serupa dengan kehidupan Anda yang lalu.” Begitu lebih kurang pandangan Nietzsche (1844-1900), filsuf Jerman yang menyatakan bahwa Tuhan telah mati. Bagi yang pesimis dan takut menghadapi pedihnya kematian dihibur oleh filsuf Schopenhauer (1788-1860) dengan berkata, “Mengantuk nyaman, tetapi mati lebih nyaman, dan yang lebih nyaman dari segala yang nyaman adalah ketiadaan hidup.” Tokoh filsafat eksistensialisme J.P. Sartre (1905-1980) menghibur dengan mengingatkan bahwa semua manusia mati. Manusia tidak berkata “saya mati”, tetapi “kita mati”. Kekitaan ini mengurangi kesedihan menghadapi kepunahan karena makin banyak yang bersedih, makin terasa ringan penyebab kesedihan dan makin banyak yang bergembira makin besar pula kegembiraan. Dia juga mengingatkan bahwa mati adalah risiko hidup. Oleh karena itu, jangan terlalu memikirkannya, jangan juga terbuai oleh pandangan yang menyatakan masih ada hidup setelah kematian.